Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Divo Mendekati Sisil
Malam itu butik tempat Azel bekerja masih buka. Sisil, sahabat sekaligus rekan kerjanya, sedang lembur karena menggantikan temannya yang cuti.
Suara bel pintu berbunyi, tanda ada pengunjung masuk. Sisil langsung berdiri dan menyapa ramah.
“Selamat malam, silakan Tuan, ada yang bisa saya bantu?”
Seorang pria dengan pakaian nyentrik masuk. Ia memakai kacamata hitam, meski malam hari, membuatnya tampak sok keren. Saat melepas kacamatanya, Sisil terkejut.
“Mas Divo?” serunya spontan.
“Hm…” Divo hanya bergumam, berlagak cool sambil pura-pura melihat-lihat rak pakaian.
“Mas Divo nyari Kak Azel, ya? Kebetulan Kak Azel udah pulang,” kata Sisil polos.
Divo geleng kepala. “Enggak. Aku kesini cuma mau belanja aja,” jawabnya, padahal jelas-jelas hanya mengacak barang tanpa tujuan.
“Oh, silakan, Mas,” sahut Sisil sambil tersenyum sopan.
Divo menoleh lagi. “Eh, nama kamu siapa? Aku lupa.”
“Oh, nama aku Sisil, Mas.”
Divo mengangguk tipis, lalu melirik nakal. “Kamu cantik juga.”
Sisil kaget, wajahnya memerah. “Terima kasih, Mas."
Mas Divo juga ganteng. Pantes aja Kak Azel dulu bucin banget sama Mas,” sisil bergumam dalam hatinya.
Divo tersenyum miring. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompet, lalu menyerahkannya. “Ini kartu namaku. Aku pemilik kafe di pusat kota.” Nada suaranya jelas ingin pamer.
Sisil menerimanya dengan antusias. “Wah, keren Mas. Nanti aku chat ya.”
“Bagus,” jawab Divo singkat. Ia menyipitkan mata, menatap Sisil seakan sedang menilai. “Kalau ada waktu, besok malam kita ketemu.”
Sisil mengangguk, masih malu-malu, tapi dalam hatinya sedikit berbunga.
Setelah memberikan kartu namanya, Divo melirik Sisil sekali lagi. Senyum miringnya tak pernah lepas sejak tadi.
“Oke, kalau gitu aku jalan dulu. Jangan lupa hubungi aku, ya,” ucapnya pelan, seolah memberi kode.
“Iya, Mas,” jawab Sisil sambil mengangguk cepat, pipinya masih bersemu merah.
Divo kemudian melangkah keluar dari butik dengan gaya santai. Begitu pintu otomatis tertutup di belakangnya, senyumnya berubah licik.
“Hm… ternyata gampang sekali. Kalau aku nggak bisa dapatkan Azel, mungkin yang ini bisa ku nikmatin,” gumamnya pelan sambil memainkan kartu kunci mobil di tangannya.
Ia berjalan menuju mobil sportnya yang terparkir, lalu menyalakan mesin dengan tatapan penuh rencana.
Setelah pulang kerja, Sisil merebahkan tubuhnya di kasur. Ia membuka ponsel, lalu merogoh tasnya, mengambil kartu nama yang Divo berikan. Jari-jarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetik pesan.
Sisil:
Hai Mas, aku Sisil.
Tak lama kemudian, ponselnya bergetar.
Divo:
Oh iya, Sisil. aku save nomormu sekarang.
Biar gampang hubungin kamu kalau kangen. 😏
Sisil kaget membaca balasannya, lalu tersenyum malu-malu.
Sisil:
Mas bisa aja. 😅
Divo:
Hahaha serius, kamu cantik banget tadi. Gimana aku nggak penasaran. 😉
Sisil menggigit bibirnya, jantungnya berdegup kencang.
Sisil:
Makasih Mas, aku jadi malu.
Divo:
Jangan malu dong. Besok jangan lupa datang ke kafe aku ya.
Aku traktir. Anggap aja kencan pertama kita. 😎
Sisil:
Oke Mas…
Sisil menutup ponselnya dengan senyum yang tak bisa ia sembunyikan. Ada rasa bangga, tapi juga rasa bersalah karena sadar Divo adalah masa lalu sahabatnya, Azel.
\=\=\=\=\=
Malam itu, Sisil melangkah masuk ke sebuah kafe mewah yang bernuansa modern. Musik jazz lembut mengalun, lampu gantung kristal menambah kesan elegan. Ia sedikit gugup, mengenakan dress sederhana tapi tetap manis.
Di sudut ruangan, Divo sudah duduk dengan santai. Kemeja putihnya dilipat di bagian lengan, jam tangan mahal melingkar di pergelangan. Begitu melihat Sisil, ia langsung berdiri menyambut.
Divo:
"Wah… ternyata kamu lebih cantik lagi kalau di luar butik."
Sisil:
"Mas bisa aja, aku jadi malu."
Divo tersenyum tipis, lalu menarik kursi untuk Sisil.
Divo:
"Duduk sini. Malam ini aku janji traktir kamu. Apa yang kamu suka, pesan aja."
Pelayan datang membawa menu, tapi Divo lebih dulu menunjuk beberapa hidangan favoritnya tanpa memberi Sisil banyak pilihan. Sisil hanya tersenyum, mengikuti.
Obrolan mengalir ringan. Awalnya tentang pekerjaan di butik, lalu merambat ke hal-hal pribadi.
Divo:
"Jujur, Sisil… dari dulu aku penasaran sama kamu. Tiap kali nganterin Azel ke butik, aku sering ngeliat kamu. Dan sekarang aku seneng banget bisa ngobrol berdua gini." divo mengeluarkan jurus rayuannya.
Sisil terdiam, agak canggung. Hatinya berdebar, tapi ada rasa bersalah yang menyelip.
Sisil:
"Tapi… Mas kan dulu pacarnya kak Azel. Aku takut kak Azel salah paham."
Divo tertawa kecil, mengibaskan tangannya seolah tak peduli.
Divo:
"Ah, udah lah. aku sama Azel udah selesai. Yang penting sekarang aku pengen kenal lebih deket sama kamu."
Sisil menunduk, memainkan sedotan minumannya. Ada rasa senang karena dipuji, tapi juga was-was karena tahu hubungan ini bisa jadi masalah besar.
"Btw, lo udah punya pacar belum?” tanya Divo tiba-tiba, nada suaranya setengah serius.
Sisil kaget, lalu cepat-cepat menunduk menutupi wajahnya yang mulai memerah.
“Ehm… belum, mas. Lagi fokus kerja aja.”
Divo menyunggingkan senyum puas, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Bagus dong. Jadi masih ada kesempatan buat orang lain.”
“Kesempatan buat siapa maksudnya?” Sisil mengerling, pura-pura tak paham.
“Ya… buat gue lah.” Divo menatapnya dengan gaya sok cool, tapi jelas-jelas sedang menggoda.
Sisil tertawa kecil, tapi dalam hatinya ia deg-degan. Ia tak menyangka kalau Divo bisa segampang itu melempar kata-kata yang membuat suasana jadi canggung sekaligus manis.