NovelToon NovelToon
SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

SISTEM MEMINDAH JIWAKU KE TUBUH GADIS BODOH

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi / Permainan Kematian / Sistem
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: chiisan kasih

Kinara, seorang pejuang akademis yang jiwanya direnggut oleh ambisi, mendapati kematiannya bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah misi mustahil. Terjebak dalam "Sistem Koreksi Generasi: Jalur Fana", ia ditransmigrasikan ke dalam raga Aira Nadine, seorang mahasiswi primadona Universitas Cendekia Nusantara (UCN) yang karier akademis dan reputasinya hancur lebur akibat skandal digital. Dengan ancaman penghapusan jiwa secara permanen, Kinara—kini Aira—dipaksa memainkan peran antagonis yang harus ia tebus. Misinya: meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sempurna dan "menaklukkan" lima pria yang menjadi pilar kekuasaan di UCN.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chiisan kasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Atau… mencari tahu apakah aku bisa memanipulasi mengubah sistem yang sama sekali bukan milikku. Sebuah pertanyaan filosofis tentang intervensi dan takdir yang belum sempat kutuntaskan saat aku bergegas meninggalkan perpustakaan, ponselku bergetar dengan alamat kafe dari Nila, menuju pertemuan yang mungkin menjadi jembatan menuju jawaban, atau justru jurang yang lebih dalam.

Malam itu, kafe yang dijanjikan Nila jauh lebih sepi dari bayanganku. Lampu temaram menerangi beberapa meja kosong, sementara aroma kopi pekat dan roti bakar memenuhi udara.

Nila sudah menunggu di salah satu sudut, tangannya memilin-milin pinggir syalnya. Wajahnya terlihat letih, lebih pucat dari yang kulihat pagi tadi.

Aku melangkah mendekat. “Nila? Udah lama nunggu?” tanyaku, mencoba terdengar seramah mungkin. Amara yang dulu mungkin akan mencibir atau mengabaikannya. Kinara tidak.

Nila mendongak, matanya sedikit membesar. “Amara? Enggak kok, baru sebentar. Aku… aku enggak nyangka kamu beneran mau dateng.” Ada campuran antara lega dan rasa bersalah di suaranya. Wajar. Siapa yang percaya 'Amara yang lama' akan membantu?

Aku menarik kursi di depannya. “Kenapa enggak? Aku kan nawarin bantuan. Mau minum apa? Biar aku pesenin.”

Aku mencoba mengubah atmosfer tegang ini menjadi lebih santai. Kepercayaan itu rapuh, dan aku harus membangunnya.

Nila menggeleng cepat. “Enggak, enggak usah, Amara. Aku udah pesen air putih aja.” Dia menunjuk gelas air putih di depannya. Sebuah isyarat kerendahan hati yang membuatku tersentuh. Anak beasiswa, dia pasti berusaha hemat sekali.

“Ya udah. Kopi buat aku,” kataku sambil melambaikan tangan ke pelayan.

“Oke, Nila. Cerita aja pelan-pelan. Enggak usah tegang. Aku dengerin kok. Kamu bilang tadi soal skripsi kamu… kenapa sama Bu Dosen itu?” Aku memberinya ruang, mengundang dia untuk membuka diri. Strategi paling efektif untuk mengumpulkan data adalah membuat sumber merasa aman.

Nila menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. “Gini, Amara… aku juga bingung mulai dari mana. Sebenarnya, skripsiku ini kan tentang pengaruh literasi lokal terhadap identitas budaya mahasiswa di daerah pinggir kota. Udah tiga kali direvisi. Tapi… tiap kali revisi, komentar Bu Dosen Saraswati itu kok rasanya aneh ya.”

Aku menatapnya. “Aneh gimana?”

“Iya, bukan soal data, bukan soal metodologi. Tapi… lebih kayak kritik personal gitu. Dia bilang, ‘Nila, kamu ini mahasiswa beasiswa. Fokus aja lulus cepat, enggak usah terlalu ambisius bahas hal-hal yang berat kayak identitas budaya.’ Atau, ‘Ini terlalu idealis, Nila.

Kampus butuhnya riset yang relevan sama kebutuhan pasar.’ Padahal kan literasi lokal itu juga relevan, apalagi di zaman gempuran budaya asing gini…” Nila mulai tercekat lagi, matanya berkaca-kaca.

Tanganku refleks mengulurkan tisu dari tempatnya. “Pelan-pelan, Nila. Itu pasti berat. Aku paham.” Hatiku ikut teriris.

Amara yang lama pasti akan merasa koneksi yang kuat. Aku juga. Rasa sakit karena dituduh ‘tidak relevan’ atau ‘terlalu ambisius’ hanya karena status sosial, itu seperti duri tajam yang menusuk ke inti eksistensi.

“Makasih, Amara.” Nila mengambil tisu, menyeka matanya. “Dan ini puncaknya kemarin. Waktu aku ngobrol sama Bu Dosen, aku nyebut soal idenya Pak Arka di mata kuliah Sosiologi Kritis—soal pentingnya reformasi kurikulum yang lebih sensitif budaya dan enggak melulu berorientasi pasar.

Eh, Bu Saraswati langsung sinis banget. Dia bilang, ‘Halah, itu cuma ide-ide idealis Pak Arka yang enggak realistis. Kamu enggak usah ikut-ikutan deh, nanti malah makin susah skripsinya.’ Padahal kan aku cuma bilang usulan.”

Aku meneguk kopiku yang baru datang, otaku berputar cepat. Jadi, kritik sosiologis Pak Arka terhadap sistem juga tidak disukai oleh sebagian faksi dosen.

Ini membentuk koneksi baru, bukan hanya Nila sebagai korban, tetapi juga Pak Arka sebagai pemicu reaksi. Dan fakta bahwa Bu Saraswati, tangan kanan dekan, menekan Nila dengan mengaitkan ke Pak Arka, menunjukkan ada faksi yang saling berseberangan di kampus. Faksi konservatif yang membela status quo.

“Dia ngomong gitu langsung ke kamu? Sambil ngancam bakal persulit skripsi?” tanyaku, mencoba menelaah kedalaman ancaman tersebut.

Nila mengangguk. “Bukan ngancam secara langsung, tapi intinya begitu. Dia bilang, kalau aku masih terus idealis, ‘enggak tahu diri’, ya skripsiku bakal muter terus. Dia bahkan bilang, ‘Coba deh lihat Amara. Dulu dia idealis banget, tapi akhirnya gimana? Berantakan hidupnya.’ Entah kenapa aku disamain sama kamu, padahal aku enggak kenal kamu sebelumnya.” Nila tersenyum tipis, merasa bersalah lagi.

Aku terdiam sejenak. Mendengar nama Amara dipakai sebagai contoh kehancuran untuk menakut-nakuti Nila, rasanya... pedih. Itu adalah bukti nyata bagaimana sistem, melalui orang-orangnya, menyingkirkan siapa pun yang berani kritis. Amara menjadi simbol, bukan sekadar individu. Dan Kinara, di dalam tubuh Amara ini, harus mengubah simbol itu.

“Enggak apa-apa, Nila. Aku paham,” kataku lembut.

“Malah itu berarti kita punya satu persamaan, kan? Dulu aku emang idealis. Tapi salah tempat dan salah cara aja. Sekarang aku belajar dari itu. Tapi… kamu bilang Bu Dosen Saraswati dekat sama dekan. Ada apa emangnya?” Aku berusaha mengarahkan pembicaraan, mencari benang ungu yang terhubung dengan ‘informasi sensitif’ yang kulihat pagi tadi.

Nila memiringkan kepalanya. “Setahu aku, Bu Saraswati itu sekretaris dekan. Dan dia juga di tim pengembang kurikulum yang baru. Jadi dia yang banyak nentuin apa yang masuk atau enggak. Dan aku pernah denger dari temen-temen di BEM lain, kalau proyek pengembangan kurikulum ini… dana-nya lumayan gede. Dari Konglomerat Bapak Surya, yang kemarin kamu menangin debatnya itu, Amara.”

Jantungku berdesir. Bingo! Ini dia koneksinya! Konglomerat Bapak Surya. Dan proyek pengembangan kurikulum. Ini mungkin titik temu irisan antara sterilisasi narasi BEM tentang ‘transparansi dana’ dan perundungan sistemik terhadap Nila.

Ada kemungkinan dana besar dari Bapak Surya itu punya agenda tersembunyi, dan Bu Saraswati, sebagai bagian dari faksi dekan, melindunginya dengan menekan suara-suara kritis seperti Nila dan ide-ide reformis Pak Arka.

“Pengembangan kurikulum ya… menarik,” kataku, mencoba menjaga ekspresiku tetap datar. “Dan usulan kamu soal literasi lokal itu… dianggap mengganggu proyek kurikulum yang baru itu?”

Nila mengangguk lesu. “Aku enggak tahu juga, Amara. Tapi setelah aku ajukan itu di forum kecil kampus, aku jadi langsung ditekan gini. Padahal usulanku kan cuma mau kurikulum sastra itu enggak melulu mengagungkan fokus ke sastra Barat, tapi juga menghargai kearifan lokal. Malah dibilang ‘enggak relevan’ sama pasar kerja. Terus Bu Saraswati juga ngungkit-ngungkit soal… saham penerbit buku yang jadi partner kampus. Katanya, kalau kurikulumnya diubah, mereka rugi.”

“Penerbit buku yang jadi partner kampus,” ulangku pelan. Sebuah kilasan benang hijau pudar kembali muncul di benakku. ‘Deteksi Pola Sosial’ berkedip-kedip, mengonfirmasi sebuah hipotesis. Sebuah celah baru. Jika ada penerbit yang dirugikan oleh perubahan kurikulum, itu berarti ada kepentingan finansial di baliknya. Dan penerbit itu pasti punya koneksi ke pihak yang lebih besar. Bisa jadi, Konglomerat Bapak Surya.

“Apa kamu punya draf usulan kurikulum itu, Nila? Yang kamu bilang Bu Saraswati jadi sensi?” tanyaku, nadaku berubah lebih serius. Aku melihat ekspresi Nila berubah menjadi sedikit tegang, mungkin merasa terlalu jauh membuka diri.

“Tenang aja, Nila. Aku enggak akan nyebar-nyebarin. Aku cuma mau baca, biar lebih ngerti duduk perkaranya. Siapa tahu aku bisa bantu mikirin gimana cara mengakalinya strateginya.”

Nila ragu-ragu sejenak. Lalu, dengan mata yang menatapku penuh harap, dia berkata, “Ada, Amara. Aku simpan di cloud drive. Tapi… buat apa ya? Aku takut malah bikin kamu ikutan diserang kena masalah.”

“Enggak akan. Tenang aja,” kataku, tersenyum meyakinkan. “Justru kalau kita tahu seluk-beluk masalahnya, kita bisa cari cara menyerangnya mengatasinya. Aku kan punya pengalaman pengetahuan sosiologi sekarang. Bisa lihat pola-pola kayak gitu. Kamu kirim aja ke email aku, ya?” Aku memberikan alamat email Amara yang baru saja kuaktifkan.

Nila mengangguk, masih dengan tatapan khawatir, tapi kini ada sedikit cahaya di matanya.

“Oke, Amara. Nanti aku kirim. Makasih banyak ya. Aku enggak tahu harus cerita ke siapa lagi. Tania di BEM malah bilang aku terlalu sensi baperan.”

“Tania kan tangan kanannya Rendra. Dan dia bilang BEM enggak bisa ikut campur terlalu jauh,” kataku, sengaja mengutip kata-kata Tania.

“Itu namanya mengecilkan masalah mendiskreditkan dengan asumsi. Mereka mau kamu mikir ini masalah pribadi, biar kamu enggak lapor ke siapa-siapa, dan enggak berani teriak.”

Nila mengangguk membenarkan. “Betul, Amara! Rasanya memang gitu. Kayak aku enggak dianggap dianggap angin lalu.”

“Nah, itu dia masalahnya. Kita harus tunjukin kalau masalah ini bukan cuma masalah kamu. Ini masalah sistemik,” kataku, sedikit lebih bersemangat.

Aku mulai merasa panas. Benang-benang ungu yang mengelilingi Nila, benang hijau informasi sensitif yang mengarah ke kurikulum, benang perak korporat Bapak Surya—semua mulai menyatu, membentuk sebuah simpul raksasa yang bau busuk.

Aku melihat benang kuning keemasan yang melambangkan rumor dan gosip. Beberapa di antaranya mengarah ke Nila, terkait dengan "mahasiswa beasiswa yang sok idealis." Ini adalah salah satu taktik discredit by association yang digunakan BEM: menciptakan narasi negatif tentang seseorang agar suaranya tidak didengar.

“Jadi gini, Nila. Sekarang yang paling penting itu data kamu. Kamu yakin proposal kurikulum itu enggak ada cacat kekurangan? Misalnya, dari sisi anggaran implementasi atau dampaknya ke mahasiswa lain?” tanyaku, ingin memastikan proposalnya cukup solid untuk menjadi pijakan.

“Yakin, Amara. Aku udah riset sampai ke kampus lain, lihat contoh-contoh kurikulum yang lebih adaptif. Soal anggaran juga aku udah pertimbangkan skema subsidi dari pemerintah atau bahkan yayasan nirlaba. Makanya, Bu Saraswati enggak bisa bantah dari sisi akademis, dia nyerangnya dari sisi ‘enggak realistis’ atau ‘merugikan pihak lain’,” jelas Nila, kini suaranya terdengar lebih percaya diri.

Itu artinya proposal Nila adalah amunisi yang valid. “Oke. Kirim ya. Nanti aku baca. Kita bedah analisa. Sekarang, kamu mau coba laporkan kasus ini lagi ke BEM, atau… kita cari jalan lain?”

Nila mengerutkan kening. “Jalan lain? Maksudnya?”

Aku menyeringai. “Maksudnya… jalan yang bisa bikin mereka enggak bisa lagi mendiskreditkan kamu. Mereka kan suka bilang itu masalah pribadi. Gimana kalau kita tunjukin kalau ini masalah orang banyak kita semua? Atau, setidaknya, masalah orang-orang penting yang juga enggak suka peduli sama kondisi kampus.”

Mata Nila membulat. “Maksudmu… kayak Pak Arka? Atau bahkan media kampus?”

Aku mengangguk perlahan. “Bisa jadi. Tapi enggak bisa langsung main serang lapor begitu aja. Kita butuh strategi. Strategi yang enggak cuma bikin kamu selamat, tapi juga bisa bongkar membuka topeng BEM dan dosen-dosen yang kerja sama sama konglomerat kepentingan korporat. Gimana menurutmu, Nila? Kamu mau bantu aku cari kebenarannya?”

Wajah Nila masih terlihat sedikit takut, namun ada percikan api di matanya. Rasa takut itu berpadu dengan harapan yang kini berani menyala.

Aku tahu, ia memegang kunci lain yang lebih dalam daripada sekadar skripsi yang sulit direvisi. Ia adalah suara yang selama ini dibungkam. Dan suaranya akan menjadi salah satu instrumen orkestrasi yang kubutuhkan.

“Tapi… bagaimana caranya, Amara?” tanyanya, suaranya pelan. “Aku enggak punya kekuatan posisi apa-apa. Aku cuma mahasiswa beasiswa.”

Aku tersenyum, senyum tipis yang mungkin lebih cocok untuk Kinara daripada Amara.

“Kita mulai dari sini. Aku butuh kamu cerita semua hal detail yang pernah kamu denger tentang Bu Saraswati, tentang dekan, tentang Rendra. Rumor-rumor kecil, gosip-gosip. Enggak ada yang terlalu kecil untuk aku. Setiap benang kecil bisa jadi awal dari simpul yang besar.”

Aku mengamati reaksi Nila, merasakan ketegangan keraguan yang masih membayangi. “Kita kumpulin amunisi fakta. Kita cari kelemahan mereka di tempat yang enggak terduga. Dan setelah itu…”

Aku sengaja menggantung kalimatku, membiarkan Nila merasakan beratnya janji itu, dan potensi bahaya yang mengikutinya. Detik-detik berlalu dalam keheningan yang tegang, hanya diisi suara gemerincing sendok di dapur kafe dan lalu-lalang kendaraan di luar.

Benang-benang ungu di sekitar Nila, yang melambangkan kerentanannya, masih berkedip-kedip, tapi kini diwarnai merah sedikit jingga, sebuah pertanda potensi kekuatan dan perlawanan. Aku tahu, aku tidak bisa menuntut terlalu banyak darinya, tetapi aku juga tahu bahwa ia memiliki sebuah api yang sudah lama ingin dinyalakan.

“Oke, Amara,” Nila akhirnya berkata, suaranya sedikit gemetar, namun mantap.

“Aku… aku mau bantu. Tapi kamu harus janji, kamu akan hati-hati.”

Aku mengangguk. “Aku janji. Aku enggak akan main-main. Aku punya tujuan yang sama. Membersihkan nama… bukan cuma nama kamu, Nila. Tapi nama semua yang dituduh ‘bermasalah’ hanya karena mencoba untuk kritis.” Kata-kataku sedikit bergetar.

Aku tahu, aku bukan hanya berbicara sebagai Kinara yang strategis, tapi juga sebagai Amara yang merasakan semua luka itu.

Nila menatapku, matanya kini menunjukkan resolusi. “Aku… aku akan kirim email draf kurikulumku sekarang. Dan aku juga ingat beberapa hal yang pernah aku denger dari temen-temen senior soal proyek dana BEM. Aku juga ingat ada diskusi obrolan soal anggaran acara kampus yang tiba-tiba ditutup sepihak sama BEM…”

Aku menyeringai lebar, sebuah senyuman penuh strategi dan kepuasan yang murni. Ini dia. Benang ungu yang kuhubungkan dengan Eros dan dana BEM itu. Ini adalah permulaan dari benang-benang yang akan menjerat kebenaran yang akan kubongkar.

“Bagus, Nila. Bagus sekali. Setiap informasi itu penting. Kita harus kumpulin semua benang kusut itu dan lihat pola apa yang bisa kita bentuk. Dan besok, setelah aku baca draf kamu, kita susun strategi bicara lagi untuk rencana selanjutnya…”

Aku membiarkan Nila terus bercerita, menyerap setiap kata yang keluar dari bibirnya, setiap detail, setiap benang percakapan. Aku mulai membangun jembatan kepercayaan dengannya, jembatan yang akan membawaku lebih dekat ke pusat kekuasaan Rendra.

Tujuh hari itu… kini terasa lebih punya harapan. Sebuah harapan yang muncul dari kesepakatan diam-diam antara dua korban jiwa yang lelah dengan ketidakadilan, di bawah tatapan bintang-bintang yang mulai menghiasi langit malam. Dan besok, aku akan mulai membuat langkah nyata konkret untuk menemukan bukti yang kuharapkan bisa membuka rahasia tentang dana BEM yang disembunyikan itu, mencari tahu apa yang Rendra ketahui, dan apa yang dia sembunyikan… termasuk bagaimana dia terlibat dalam jejaring busuk gelap Eros, si pelaku

1
Tara
ini system kok kaga bantuin. kasih solusi kek bukan cuman ngancam aja🤭😱🫣
Tara: betul betul betul...baru kali ini ada system absurd😱😅🤔🫣
total 2 replies
Deto Opya
keren sekali
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!