Aerra adalah seorang wanita yang tulus terhadap pasangannya. Namun, sayang sekali pacarnya terlambat untuk melamarnya sehingga dirinya di jodohkan oleh pria yang lebih kaya oleh ibunya. Tapi, apakah Aerra merasakan kebahagiaan di dalam pernikahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakakmu Sudah Jadi Nyonya Besar
Pintu itu terbuka, menampakkan dua sosok yang sudah sangat kukenal. Ibuku, Susi, langsung membelalakkan matanya dengan takjub yang tidak disembunyikan. Sementara di belakangnya, Lika, adikku, menyipitkan mata, tatapannya menyapu interior mewah ruang tamu dengan penilaian kritis yang tajam.
“Selamat datang di rumah kami, Ibu, Lika,” suara Aldo terdengar begitu hangat dan tulus, sebuah pertunjukan yang luar biasa meyakinkan. Tangan yang melingkari pinggangku terasa posesif, jangkar yang menahanku agar tidak lari.
“Ya ampun, Nak Aldo! Aerra! Ini rumah apa istana, sih? Gila, Ibu bisa pingsan lihatnya!” seru Ibu sambil melangkah masuk, kakinya yang beralas sandal mahal tampak ragu menginjak lantai marmer yang berkilauan. Ia mengabaikanku dan langsung menghampiri Aldo, hendak memeluknya.
Dengan gerakan yang sangat halus, Aldo tidak melepaskan rangkulannya dariku. Ia hanya sedikit membungkuk untuk menerima pelukan Ibu. “Hanya rumah biasa, Bu. Yang penting nyaman untuk Aerra.”
Jawaban itu membuat senyum Ibu semakin lebar. “Kamu memang menantu idaman! Aerra, kamu dengar itu? Suamimu memikirkan kamu terus!”
Aku hanya bisa tersenyum kaku. “Iya, Bu.”
Lika akhirnya berjalan mendekat, senyum tipis terpasang di bibirnya. “Selamat ya, Kak. Kelihatannya capek banget. Pasti semalam seru, ya?” katanya dengan nada manis yang dibuat-buat, namun matanya menyorotkan ejekan yang jelas.
Perutku seketika melilit. Sebelum aku bisa menjawab, Aldo tertawa renyah. “Tentu saja. Kami kan pengantin baru. Kamu nanti juga akan merasakannya kalau sudah menikah, Lika.”
Skakmat. Lika langsung terdiam, wajahnya sedikit masam mendengar balasan telak dari Aldo. Suamiku ini, di balik sikap dinginnya padaku, ternyata adalah seorang pemain sandiwara yang ulung.
“Sudah, sudah. Ayo masuk. Makanan sudah siap,” kata Aldo, memandu kami semua menuju ruang makan. “Saya sengaja pesan dari restoran favorit Aerra.”
Aku menatapnya sekilas. Kebohongan lagi. Dia bahkan tidak tahu apa makanan favoritku.
“Aduh, repot-repot sekali, Nak Aldo. Padahal Ibu sudah bilang biar Ibu yang masak,” sahut Ibu, meskipun matanya berbinar melihat deretan hidangan mewah yang tersaji di atas meja.
“Tidak boleh, Bu. Hari ini biar istri saya dan mertua saya yang dilayani,” ujar Aldo sambil menarik kursi untukku, memperlakukanku seperti seorang ratu. Ia kemudian menarik kursi untuk Ibu, baru terakhir ia duduk di kepala meja.
“Lihat, Lika. Kakakmu itu sekarang sudah jadi nyonya besar,” celetuk Ibu sambil mengambil sepotong udang bakar. “Kursi makannya saja kayak singgasana. Ini satu set harganya berapa, Nak Aldo?”
“Saya kurang perhatikan harganya, Bu. Yang penting Aerra suka modelnya,” jawab Aldo enteng, sambil meletakkan sepotong salmon panggang ke piringku. “Makan yang banyak, Sayang. Kamu dari pagi belum makan benar.”
Sentuhan dan panggilan mesranya terasa seperti sengatan listrik. Aku hanya mengangguk dan mulai makan, mencoba mengabaikan tatapan tajam Lika dari seberang meja.
“Kak Aerra kok diam saja dari tadi? Sakit?” tanya Lika, memecah keheningan yang terisi oleh decak kagum Ibu.
“Hanya sedikit lelah, Dek,” jawabku pelan.
“Lelah karena bahagia, kan?” timpal Ibu cepat. “Wajar itu! Kamu juga, jangan tanya yang aneh-aneh! Mending kamu lihat-lihat sekeliling, belajar jadi istri yang baik biar bisa dapat suami kaya kayak kakakmu!”
“Iya, Bu, iya,” balas Lika malas. Ia kemudian menatap Aldo dengan senyum manis. “Mas Aldo perhatian banget, ya, sama Kak Aerra. Aku jadi ikut senang lihatnya. Beda banget sama yang dulu-dulu.”
Jantungku serasa berhenti berdetak. Garpuku membentur piring, menimbulkan suara denting yang nyaring di tengah suasana yang tadinya riuh. Aku merasakan cengkeraman tangan Aldo di pahaku, di bawah meja. Cengkeramannya begitu kuat, sebuah peringatan tanpa suara.
Aku mengangkat kepala dan melihat Aldo tersenyum tenang, seolah komentar Lika barusan hanyalah angin lalu. “Oh ya? Memangnya dulu bagaimana?” tanyanya dengan nada penasaran yang dibuat-buat.
Lika tampak terkejut pertanyaannya ditanggapi, tapi ia cepat-cepat melanjutkan. “Ya gitu, deh, Mas. Pacaran lama-lama, diajak jalan paling ke warung bakso. Nggak pernah dikasih hadiah mahal. Untung Kak Aerra cepat sadar dan milih Mas Aldo,” katanya, sengaja tidak menyebut nama Windu tapi aku tahu persis siapa yang ia maksud.
Ibu langsung menimpali, “Hus! Nggak usah bahas gembel itu lagi! Bikin selera makan Ibu hilang saja. Sekarang ini adanya Nak Aldo, yang terbaik buat Aerra.”
Aldo tertawa pelan. Sebuah tawa yang membuat bulu kudukku berdiri. “Tidak apa-apa, Bu. Saya malah senang mendengarnya. Itu artinya, saya harus bekerja lebih keras lagi untuk membuat istri saya bahagia, agar dia bisa melupakan semua kenangan yang kurang menyenangkan di masa lalunya.”
Ia menoleh padaku, tangannya naik dari pahaku untuk mengusap pipiku dengan lembut. Di depan Ibu dan Lika, itu adalah gestur penuh kasih sayang. Tapi aku bisa melihat kobaran api di matanya, sebuah janji ancaman yang hanya ditujukan untukku.
“Benar kan, Sayang?” tanyanya, suaranya dalam dan menuntut jawaban.
Aku menelan ludah yang terasa pahit. “I-iya, Mas. Aku… aku sangat bahagia sekarang.”
“Tuh, dengar! Sudahlah, ayo kita makan lagi! Nanti kita keliling rumah, ya, Nak? Ibu mau lihat kamar kalian!” kata Ibu, mengalihkan pembicaraan kembali ke topik favoritnya: kekayaan.
Sisa waktu makan siang terasa seperti penyiksaan. Setiap suap makanan terasa seperti duri. Setelah selesai, sesuai permintaan Ibu, kami berkeliling rumah. Ibu tidak berhenti berdecak kagum, sementara Lika terus melontarkan sindiran-sindiran halus yang menusuk. Aldo, dengan kesabaran seorang malaikat, menjawab setiap pertanyaan dan menanggapi setiap komentar dengan pesona yang mematikan.
Saat mereka akhirnya pamit pulang, aku merasa seluruh energiku terkuras habis. Aldo mengantar mereka sampai ke pintu depan, memeluk Ibu dan mengangguk sopan pada Lika.
“Hati-hati di jalan, Bu. Nanti kalau ada apa-apa, telepon saya saja,” kata Aldo.
“Pasti, Nak! Kamu memang yang terbaik! Jaga Aerra baik-baik, ya!”
Setelah mobil mereka menghilang di balik gerbang tinggi, Aldo menutup pintu. Suara klik dari kunci yang diputar terdengar seperti bunyi pintu sel penjara yang ditutup.
Aku masih berdiri mematung di ruang tamu, belum berani bergerak. Kehangatan dan senyum di wajah Aldo lenyap dalam sekejap. Ia berbalik, wajahnya kembali dingin dan keras seperti pualam. Ia berjalan melewatiku tanpa sepatah kata pun, menuju tangga.
Aku mengira pertunjukan sudah selesai dan aku bisa bernapas lega. Aku salah besar.
Di tengah anak tangga, ia berhenti. Tanpa menoleh, ia berkata dengan suara rendah yang mematikan.
“Pertunjukan yang bagus. Tapi ada satu kesalahan fatal.”
Aku menahan napas. “Apa maksudmu, Mas?”
Ia akhirnya berbalik, menatapku dari posisi yang lebih tinggi. Tatapannya menusuk tajam, membuatku merasa kecil dan tak berdaya.
“Reaksimu saat adikmu menyinggung masa lalumu. Kamu membeku. Garpu jatuh. Matamu berkaca-kaca,” desisnya, menguliti setiap detail kesalahanku. “Itu bukan reaksi seorang istri yang bahagia.”
“Aku… aku hanya kaget…”
“Kaget?” Ia tertawa sinis. “Jangan bodohi aku, Aerra. Kamu masih memikirkannya. Pria bernama Windu itu.”
Ia menuruni beberapa anak tangga, mendekatiku perlahan seperti predator yang mengintai mangsanya. Aku mundur selangkah demi selangkah hingga punggungku menabrak dinding dingin.
“Aku sudah bilang, tidak ada ruang untuk masa lalu di rumah ini,” katanya, kini berdiri tepat di hadapanku. Jari telunjuknya menyentuh daguku, mengangkat wajahku agar aku menatap lurus ke matanya yang kelam.
“Aku tidak akan membuat kesalahan yang sama dua kali. Aku butuh jaminan bahwa pertunjukan kita selanjutnya akan sempurna.”
“Jaminan apa?” tanyaku dengan suara bergetar.
Ia tersenyum miring, senyum yang sama sekali tidak mencapai matanya. Senyum itu membuat darahku seakan membeku.
“Adikmu, Lika. Sepertinya dia sangat suka bicara,” ujarnya pelan. “Mulai besok, dia akan bekerja di perusahaanku. Tepat di bawah pengawasanku. Sebagai asisten pribadiku.”
Mataku membelalak ngeri. Napasku tercekat di tenggorokan. Ini bukan tawaran pekerjaan. Ini adalah penyanderaan.
“Anggap saja ini motivasi tambahan untukmu,” lanjutnya, suaranya kini hanya bisikan dingin di telingaku. “Satu kesalahan lagi darimu, satu ekspresi yang salah di wajahmu saat nama itu disebut… dan aku akan pastikan karier adik kesayanganmu selesai bahkan sebelum dimulai. Mengerti, istriku?”