"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Kok tuman. Kebiasaan." Aira bergumam sambil melirik Zian tajam. Tapi, setelah itu bibirnya justru menyunggingkan senyuman. Apa yang diceritakan oleh pemuda tampan itu tentang peristiwa kemarin malam--menyangkut Dira-- membuatnya kesal sekaligus gemas dengan ulah Zian, yang lagi, dan lagi selalu membuat orang lain salah tingkah.
"Jadi karena itu, Dira malam ini berubah sikap padamu?" tanya Aira sejurus kemudian.
"Mungkin karena ucapan Aga."
"Aga? Dia bilang apa?"
*****
Saat itu, saat Dira tak mampu berkata-kata atas pertanyaan Zian padanya.
"Bukan karena elu emang beneran suka ama gue?"
Dira langsung tercekat dan terdiam, seperti tersedak biji rambutan. Kata sanggahan tak segera bisa diucapkan.
Sedang Zian malah tertawa santai.
"Haish." Dira merutuki diri yang harus merasa gugup dan salah tingkah. Padahal sudah hafal dengan jelas bagaimana Zian dengan candaannya yang suka mengarah. Tapi, sampai kesadaran itu terbangun, Dira masih belum mendapatkan kata yang tepat untuk menyanggah.
Apa karena pertanyaan Zian memang kebenaran yang tak perlu dibantah?
"Aga, bantuin!" Alternatif terakhir minta bantuan dari Aga yang menatap Dira dengan seksama. Sepertinya lelaki itu juga menanti jawaban Dira atas pertanyaan Zian.
"Membantu apa?" Aga malah balik tanya.
"Bantu klarifikasi ke Zian."
"Klarifikasi? Atau konfirmasi, bahwa itu memang benar?"
"Apa'an?" Dira sedikit melotot pada sang supir yang tampan.
"Itu juga yang aku lihat dari kamu, Dira." Aga malah kian memperjelas maksud ucapannya.
Dira merasa seakan dirinya dibanting. Remuk, dan tak punya daya lagi untuk memperlihatkan wajah.
"Aku tunggu di mobil." Aga malah memilih jalan aman untuk menghindar, setelah ucapannya sukses membuat sang nona majikan kian tak bisa berkata-kata di depan Zian.
Zian segera mengakhiri kecanggungan Dira dengan bertanya serius.
"Jadi kapan kita akan menghadap ayah, Elu, Dira?"
"Me-ng-ha-dap ayah?"
Kata awal dari pertanyaan Dira terucap seperti masih mengeja. Tentu karena rasa tak nyaman yang menguasai jiwa.
"Iyak."
"Untuk apa?"
"Barusan ayah elu minta kita temuin beliau kan?"
"Se-serius?"
Apa yang dipikirkan oleh Dira dengan ajakan Zian untuk menemui ayahnya, Hingga ia terlihat gugup.
"Iya. Kita harus jelasin semuanya ke beliau. Lu boleh menolak untuk dijodohkan, lu juga berhak milih siapa yang lu sukai sebagai pasangan. Tapi, harus dengan cara yang benar. Bukan dengan berbohong ke orang tua, Lu."
Dira langsung menunduk. Baru saja ia berani mendongak menatap Zian, sekarang dibuat menunduk lagi karena rasa malu atas teguran dari sahabatnya itu.
"Gue temenin elu buat jelasin semuanya ke pak Firman."
"Gak perlu, Zian." Dira menggeleng kuat.
"Aku sendiri yang akan menjelaskan semuanya pada ayah."
"Yakin lu?"
"Iya. Aku akan ceritakan semuanya dengan jujur." Dira menghela napas pelan.
"Aku minta maaf, Zian. Udah ngelibatin kamu dalam kebohongan."
"Dah lupain. Kayak ke orang lain aja, Lu."
Dira mengangguk. Rasa canggung masih belum sepenuhnya pergi.
"Pulang sana! Itu Aga sudah nunggu.
Gue rasa dia suka ama, Lu."
Dira tersentak, lalu menoleh ke arah mobilnya. Di mana Aga berdiri menunggu, siap untuk mengantar Dira.
*******
Aira mengangguk saja begitu Zian mengakhiri cerita. Ia tak memberi tanggapan apa-apa lagi, juga tak bertanya. Meski sebenarnya ada beberapa hal yang membuat Aira merasa penasaran.
Menurut gadis itu, meski mereka semua bernaung di dalam kata persahabatan. Bahkan bisa disebut, sahabat yang seperti saudara, namun bukan berarti satu sama lain tidak boleh punya rahasia. Tetap ada ranah privasi yang tak boleh dilanggar, yang harus dihormati oleh masing-masing diri. Kecuali yang bersangkutan memang bersedia untuk berbagi.
"Tempatnya masih jauh?" Aira mengubah topik pembicaraan dengan menanyakan lokasi ultah Diandra dilaksanakan.
"Bentar lagi. Udah nyiapin kado buat, Di?"
"Sudah."
"Apa kita jemput Yumna dulu, Zian? Biar nanti kesana barengan."
"Yumna udah telepon?"
"Belum, sih."
"Gue anter elu duluan."
"Tapi nanti Yumna dijemput ya, kasian."
"Iya." Zian mengangguk pasti.
Hening kemudian tercipta, saat tak ada lagi cerita, dan bahasa dari keduanya. Hingga pandangan Aira bertumpu pada lipatan kertas rapi dalam tasnya. Gadis itu baru teringat akan sesuatu.
"Aku bawa format rancangan pola didik di Darul-Fata, Zian."
"Iya. Gue pelajari dulu ya. Nanti baru kesana buat ngasih keputusan."
"Gak pernah cerita kalau jadi donatur tetap Darul-Fata." Aira menatap Zian sambil tersenyum tipis.
"Kayak gitu masa perlu diumbar, Kak?"
"Iya sih. Menganut konsep memberi yang dianjurkan dalam islam." Aira mengangguk paham, dan sesaat rasa kagum akan Zian menyelimuti hati Aira. Hingga kemudian ia kembali teringat akan sesuatu hal.
"Zian." Niat hati tentu saja untuk menanyakan. Tapi, secara mendadak ada sebagian dari hatinya yang lain melarang.
"Apa, Kak?"
Aira menggeleng. "Gak jadi," ujarnya lirih.
Zian memelankan laju mobil, menepi dan berhenti di bahu jalan.
"Kenapa berhenti?" tanya Aira.
"Biar lu nyaman untuk bicara ke gue."
"Ee." Aira sudah memutuskan untuk tidak bertanya. Ternyata Zian menganggap bahwa itu hal yang amat penting sebenarnya. Karenanya ia sediakan waktu sepenuhnya untuk mendengarkan Aira.
Bila sudah begini, bisakah Aira menyurutkan niatnya untuk bertanya?
Terlihat gadis itu masih diam, seraya menimbang, dan merangkai untaian kalimat awal sebelum masuk inti pembicaraan.
Aira sampai sehati-hati itu. Pasti karena apa yang akan dibicarakan bukan hal yang biasa-biasa saja.
"Ustadz Raizan pernah cerita tentang kamu."
"Cerita apa?"
"Ini bukan konsepnya sengaja menyeritakan donatur Darul-Fata, atau pun dalam konsep ghibah."
"Gue paham. Mas Raizan bukan orang kayak gitu."
Aira mengangguk.
Para pendidik di Darul-Fata--seperti Aira--disamping mereka mengajar anak-anak yatim di sana, mereka juga mengaji pada ustad Raizan. Jadwalnya dua kali dalam seminggu. Ning Raya--istri ustadz Raizan--juga mengikuti kajian itu.
Suatu waktu dalam kajian tersebut membahas tentang amanah. Bagaimana hukum tentang menjaga dan menjalankan amanah, juga sikap yang dianjurkan ketika kita menerima amanah.
Ustad Raizan mengambil contoh donatur Darul-Fata, yang disebut "Mas Ali". Saat itu Aira belum tau kalau Mas Ali yang dimaksud adalah Zian Ali Faradis.
"Kata beliau. Kamu mendapat amanah dari mendiang ayahmu. Amanah yang bentuknya jelas, tapi konteksnya belum jelas. Tapi kamu berniat menjalankan amanah itu dengan segala resikonya. Sikapmu yang seperti itu dipuji oleh ustadz Raizan."
Keterangan:
Perbedaan bentuk dan konteks amanah yang dimaksud Aira adalah.
Bentuk: Adalah apa yang diamanahkan, (barang, tugas, perintah)
Konteks: Adalah kepada siapa, atau dengan siapa amanah itu diberikan dan dilaksanakan. (Tuhan, manusia, atau diri sendiri)
"Dan amanah tersebut adalah mengenai jodoh," lanjut Aira dengan suara pelan.
Mendengar itu Zian sempat tertunduk. Namun, hanya sekian detik, saat kemudian wajah tampan itu segera mendongak, dan tersenyum tipis.
"Lu ingin mengonfirmasi berita itu, Kak?"
"Jika kamu gak keberatan."
Zian mengangguk. "Itu benar."
Aira mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih, udah percaya, dan ngasih tau."
"Tapi." Zian sesaat menatap Aira cukup dalam.
"Semua yang gue lakuin selama ini, sesuai apa yang gue rasa."
Sesaat Aira nampak tercekat, sebelum mengalihkan pandangan ke luar melalui kaca samping mobil yang sedikit terbuka.
"Jalan lagi, Zian. Jangan sampai terlambat ke acaranya," kata Aira kemudian, mengalihkan topik pembicaraan.
Zian mengangguk.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat