Rumah tangga Luna yang sangat hangat secara tiba-tiba hancur tanpa aba-aba. Luna mendapati suaminya, Ares, berkhianat dengan sahabatnya sendiri, Celine. Luka yang sangat menyakitkan itu membuat Luna mencari penyebab suaminya berselingkuh. Namun semakin Luna mencari kebenaran, semakin banyak tanda tanya menghantuinya hingga akhirnya Luna memutuskan mengakhiri pernikahan mereka.
Benarkah Ares sudah tidak lagi mencintai Luna?
Ataukah ada suatu kenyataan yang lebih menyakitkan menunggu untuk terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Far, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KENYATAAN YANG MENYAKITKAN
Luna merasa hari-hari menjadi sangat sunyi dirumahnya. Meja makan selalu terhidang lauk masakan Luna, namun kursi dihadapannya sudah sebulan ini kosong.
Ares sudah tidak pernah lagi pulang kerumah untuk menemui Luna. Bahkan setidaknya untuk berganti pakaian atau beristirahat sejenak pun tidak pernah. Kini bayangan Ares bukan lagi samar, namun tidak terlihat.
Luna kerap duduk sendirian sepulang kerja. Dulu Luna sering mencurahkan keluh kesahnya tentang tanggung jawabnya sebagai Kepala Bagian Customer Service disalah satu Bank Swasta terbesar. Kini Luna hanya bisa duduk sendirian di dekat jendela kamar yang langsung menghadap ke arah jalan komplek rumahnya.
Semakin lama rumah yang dulu hangat menjadi kehilangan roh seorang kepala keluarga. Bahkan bau parfum Ares yang khas dan menyengat pun sudah tidak terendus. Luna semakin bingung dan semakin sakit. Panggilan dan pesannya tidak pernah di respon oleh Ares.
Selama sebulan, setiap pagi Luna bangun dalam keadaan sendiri di kamar. Yang ia lihat hanyalah bantal dingin di sisi ranjangnya. Ares yang selalu ia sapa pertama kali kini hilang bak ditelan bumi.
Di tengah lamunannya, secara tiba-tiba Luna mendengar suara mesin mobil di halaman depan. Saat itu juga jantung Luna tidak berhenti berdegup kencang. Dengan cepat ia berlari untuk membuka pintu. Dan benar saja, sosok yang sangat ia rindukan kini berdiri didepan wajahnya.
Luna sangat tidak percaya, setelah sekian lama ia menunggu akhirnya Ares datang dengan pesona yang masih Luna cintai hingga detik ini. Wajahnya tenang, tatapannya dingin, seakan kepergiannya bukanlah hal yang menyakiti perasaan Luna.
“Ares, kamu akhirnya pulang juga,” ucap Luna lirih dengan suara yang penuh kelegaan sekalius bercampur rindu.
Namun respon Ares tidak sesuai dengan harapan Luna. Ares masih menatapnya datar. Ares masih berdiri tegak dihadapannya.
Luna mencoba menahan semua kekesalannya, yang ia inginkan rumah tangganya kembali seperti dua bulan sebelumnya. Luna bertanya dengan nada penuh luka, “Ares, aku menunggumu setiap malam, kemana kamu selama ini? Kenapa kamu tidak pernah pulang? Kenapa kamu tidak memberi kabar atau membalas pesanku?”
Ares menghela napas panjang. Dengan suara rendah namun tajam, Ares menjawab, “Aku ke Bali. Berlibur bersama Celine.”
Jawaban Ares menghantam Luna lebih keras dari badai mana pun. Luna memebeku sejenak, matanya terbelalak. “Liburan? Bersama Celine?”
Luna meraih wajah Ares yang memalingkan pandangannya. Dengan tangan bergetar, Luna mengarahkan kepala Ares agar menatapnya. Jemarinya menekan lembut pipi Ares, seolah memaksa Ares untuk melihat matanya yang basah, “Ares aku disini menunggumu, berharap kamu kembali dengan selamat. Aku selalu mengkhawatirkan kamu. Tapi ternyata kamu menghabiskan waktumu dengan Celine?”
Ares menatap Luna seperti batu yang tak bisa digoyahkan. “Luna berhenti terlalu banyak bertanya denganku. Dan mulai sekarang jangan pernah ikut campur lagi dengan urusanku.”
Kata-kata Ares barusan seolah menampar hati Luna berkali-kali. Matanya bergetar menahan air mata yang terbendung di kantung matanya.
Belum sempat Luna mengatur napasnya, suara Ares kembali terdengar, pelan dan bergetar, namun tetap menancapkan pisau di hatinya. “Aku butuh keturunan, Luna.”
Seketika dunia Luna seakan berhenti berputar. Luna merasa ucapan Ares tidak masuk akal. Karena ucapan tersebut keluar dari bibir Ares, pria yang selama ini selalu melindunginya dari luka menyakitkan itu.
“Keturunan?” tanya Luna dengan lirih.
Ares menatap lantai, namun terlihat bibirnya bergetar. “Aku sudah menunggu terlalu lama, Luna. Aku ingin rumah ini penuh dengan suara anak-anak, tidak sepi seperti sekarang.”
Luna menggenggam dadanya, air mata jatuh tak terbendung di pipi Luna. “Tapi kamu tahu aku tidak bisa Ares, kamu tahu itu..” Luna menangis menelan kata-katanya.
Luna tidak merasa sakit karena kenyataan dirinya tidak bisa memiliki anak, namun yang membuatnya sakit kenyataan bahwa orang yang dulu mati-matian menjaganya dari luka itu kini justru yang merobek luka itu sangat dalam.
Dulu Ares selalu berapi-api menegur siapa pun yang berani menyebut kekurangan Luna. Ares juga berkata pada Luna, “Aku tidak peduli akan memiliki anak atau tidak bersamamu, yang aku butuhkan hanya kamu.”
”Kenapa kamu tiba-tiba berubah? Kamu bahkan dulu akan sangat marah jika orang lain membicarakan soal keturunan di depan kita. Kamu selalu bilang aku cukup..”
Ares masih menunduk tanpa menjelaskan dan menenangkan Luna. Ares seperti pria asing yang tidak Luna kenal.
“Jadi selama ini, semua yang kamu katakan padaku hanya untuk membohongiku?” tangis Luna pecah, penuh perih.
Namun Ares tetap tidak menjawab. Diamnya semakin melebarkan jarak antara mereka.
Perubahan yang terjadi terlalu drastis. Dulu Luna merasa Ares adalah pelindung, penyembuh luka, dan alasan Luna bertahan meski ia sadar dirinya tidak bisa memberi keturunan untuk Ares. Namun kini, pria yang sama menatapnya seakan-akan Luna adalah beban.
Luna mencoba menguatkan diri menanyakan hal yang selama ini ia takutkan. Dengan suara gemetar, ia bertanya, “Sejak kapan kamu menjalin hubungan dengan Celine, Ares?”
Luna menunduk, perasaan Luna gelisah tak karuan, takut mendengar jawaban yang bisa menghancurkan sisa hati yang ada.
“Sejak sebelum aku menikahimu.” Wajah Ares datar, tanpa ekspresi.
Jawaban Ares membuat Luna terpaku.
“Sejak sebelum menikah?” ucap Luna dengan suara bergetar, hampir tak keluar.
Luna menggeleng berulang kali, menolak untuk mempercayai apa yang barusan ia dengar. “Tidak mungkin Ares. Selama ini kita baik-baik saja. Kamu selalu bersikap hangat padaku. Kamu juga memperlakukanku seolah akulah satu-satunya.”
Air mata Luna jatuh semakin deras. “Dan Celine, dia sahabatku, Ares!” suaranya meninggi. “Kalian… kalian tega!”
Tatapan Ares masih sama. Datar. Dingin. Tanpa penyesalan.
Ternyata luka itu belum cukup, Ares melanjutkan ucapan yang semakin membuat Luna hancur lebur. “Pernikahan kita, tidak pernah benar-benar aku inginkan. Aku menikahimu hanya karena permintaan orang tuaku. Aku merasa itu kewajiban. Aku harus menuruti mereka, itu saja.”
Luna menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan tangisan yang kian pecah.
Luna masih meyakinkan diri untuk mengetahui siapa yang akan dipilih oleh Ares. Sekali lagi Luna tanyakan, “Siapa yang sekarang kamu pilih? Aku atau Celine?”
Namun ares sama sekali tidak bergeming. Tanpa jawaban, tanpa penjelasan, bahkan sekedar lirikan pun tidak. Ares hanya menatap sekilas, lalu memalingkan wajahnya. Detik selanjutnya, Ares masuk kekamar.
Pintu kamar tertutup rapat, menyisakan Luna yang masih berdiri di ruang tamu. Tapi saat itu juga telinga Luna menangkap suara lain, suara mesin mobil yang masih menyala di luar rumah.
Suara itu membuat Luna tersentak. Alisnya berkerut. Bukankah Ares sudah masuk kamar? Kenapa mesin mobilnya masih menyala?
Luna melangkah menuju jendela. Ada rasa takut, namun ada juga rasa penasaran yang mendorongnya. Luna menyikap tirai perlahan dengan jarinya, mencoba mengintip keluar.
Matanya membesar saat bukan mobil Ares yang ia lihat. Melainkan mobil Celine. Kepalanya langsung dipenuhi tanya. “Kenapa Celine ada disini?”Bukankah seharusnya Ares yang menjemputnya? Kenapa justru Ares yang menumpang di mobil Celine?”
Luna di landa kebingungan. Ada sesuatu yang janggal. Sesuatu yang Ares sembunyikan rapat-rapat.
Mata Luna masih terpaku pada mobil di luar sana. Hingga akhirnya ia melihat Celine tersenyum penuh kepuasan menatap Luna dari dalam mobilnya, hal tersebut membuat Luna tercekat. Namun beberapa saat kemudian mobil yang dikendari oleh Celine melaju meninggalkan halaman rumah Luna.
Apa yang sebenarnya terjadi? Luna tidak hanya dibuat sakit, tetapi juga kebingungan yang semakin menghancurkan.