Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 Hari Menjadi Cantik Bersama Elzhar
Keesokan paginya, Azel berdiri canggung di depan pintu kaca klinik Elzhar. Ia sempat melirik pantulannya sendiri di kaca, terlihat sederhana dengan jeans dan kemeja longgar. Ada rasa minder yang tiba-tiba muncul—apa benar dia sanggup berubah seperti yang Elzhar janjikan?
Dengan sedikit ragu, ia mendorong pintu. Aroma wangi ruangan klinik langsung menyergap, begitu juga tatapan para staf yang heran melihat gadis asing masuk pagi-pagi.
“Dok, ada pasien baru?” tanya salah satu perawat sambil tersenyum ramah.
“Bukan, dia… spesial.” Elzhar muncul dari balik meja resepsionis dengan jas putih, terlihat jauh lebih serius dibanding semalam. Senyumnya tipis, tapi cukup membuat Azel sedikit tenang.
“Zel, lo di sini bukan cuma buat numpang pura-pura jadi pacar gue. Lo harus buktiin kalau lo bisa bikin divo nyesel. Dan itu mulai dari diri lo sendiri.”
Azel melipat tangannya, sedikit defensif.
“Lo ngomongnya gampang banget, terus gue harus operasi plastik biar dia nyesel”
Elzhar terkekeh.
“Enggak segitunya. Tapi gue tau cara biar lo glow up. Penampilan, kepercayaan diri, bahkan cara lo bawa diri… semua bisa diubah. Gue bakal atur step by step.”
Azel menghela napas panjang, lalu mengangguk.
“Oke… gue serahin ke lo. Tapi inget, tujuan gue cuma satu: gue pengen divo lihat, terus nyesel karena udah buang gue kayak sampah.”
“Gue janji, Zel,” ucap Elzhar serius. “Mulai hari ini, lo bakal jadi cewek yang nggak cuma bikin divo nyesel, tapi juga bikin semua orang ngelirik.”
Salah satu staf kemudian mengantar Azel ke ruang perawatan. Saat Azel duduk di kursi pasien dengan wajah kikuk, Elzhar mengenakan sarung tangan medis dan menatapnya dengan tatapan penuh rencana.
“Siap, Zel? Hari ini kita mulai dari dasar: kulit lo harus bersih dulu. Besok-besok baru gue ajarin cara dress up, cara jalan, cara bicara. Gue bakal bikin lo beda, tapi tetep jadi diri lo sendiri.”
Azel tersenyum tipis, walau masih canggung.
“Yaudah… semoga aja lo beneran bisa ngerubah gue, bukan bikin gue nyesel udah percaya sama lo.”
Elzhar mendekat, tangannya menyentuh pelan dagu Azel untuk mengatur posisi wajahnya.
“Percaya sama gue. Gue tau apa yang gue lakuin.”
Dan untuk pertama kalinya sejak semalam, Azel merasa… mungkin keputusannya tidak sepenuhnya salah.
Ruangan itu wangi lavender, lampu remang-remang hangat membuat suasana terasa tenang. Azel berbaring di kursi perawatan, sedikit kikuk karena belum pernah masuk ke klinik kecantikan semewah ini.
“Tenang aja, Zel. Gue nggak bakal ngapa-ngapain yang aneh-aneh. Treatment pertama ini basic banget,” ucap Elzhar sambil memakai sarung tangan. Suaranya tenang, tapi tegas.
“Basic menurut lo, mahal menurut gue,” gumam Azel, membuat Elzhar terkekeh kecil.
Langkah pertama, ia membersihkan wajah Azel dengan lembut menggunakan kapas dan cleanser. “Lo sering begadang, ya? Nih liat, kulit lo kusam karena kurang istirahat. Jangan heran kalau mata lo gampang bengkak.”
Azel hanya mengerucutkan bibirnya, sedikit tersinggung.
“Lo emang niat ngerendahin gue atau ngerawat gue sih?”
“Dua-duanya,” jawab Elzhar santai. “Tapi hasil akhirnya lo bakal bersyukur.”
Setelah cleansing, Elzhar mengoleskan masker berwarna hijau muda ke wajah Azel. Aroma mint langsung menenangkan.
“Ini buat detox kulit lo. Abis ini, pori-pori lo bakal lebih bersih. Nggak bakal gampang jerawatan lagi.”
Azel terdiam, merasakan sensasi dingin di wajahnya. Diam-diam ia menikmati perhatian itu, walaupun gengsinya tetap tinggi.
Sambil menunggu masker mengering, Elzhar duduk di kursi sebelahnya.
“Zel, gue tau lo lagi hancur gara-gara divo. Tapi percayalah, berubah itu bukan cuma soal bikin dia nyesel. Ini buat lo juga. Lo harus buktiin kalau lo berharga, bahkan tanpa dia.”
Azel menatapnya sekilas, lalu menutup mata.
“Mungkin lo bener. Tapi gue belum bisa maafin semuanya. Gue cuma… pengen dia lihat kalau dia salah.”
Elzhar menunduk, suaranya lebih pelan.
“Kalau itu tujuan lo, gue bakal bantu sampai akhir.”
Setelah masker dilepas, wajah Azel tampak lebih segar. Elzhar kemudian memberikan serum ringan sambil sedikit memijat wajahnya.
“Nih, lo liat kaca.”
Azel menoleh ke cermin kecil yang disodorkan. Ia terkejut—wajahnya tampak lebih cerah, matanya lebih hidup.
“Gila… ini beneran gue?”
Elzhar tersenyum tipis.
“Itu baru tahap awal. Percaya sama gue, Zel. Besok-besok lo bakal lebih nyeselin lagi buat divo.”
Untuk pertama kalinya, Azel tertawa kecil sejak kejadian pahit beberapa hari lalu.
Hari Pertama – Treatment Dasar
Azel awalnya duduk di kursi pasien dengan wajah kikuk, jantungnya berdegup tak karuan. Rasanya aneh—baru kemarin ia menangis sesenggukan karena Divo, sekarang sudah berada di klinik mewah dengan wajah dilumuri masker oleh tangan dingin seorang dokter tampan.
“Relax aja, Zel. Lo nggak lagi dioperasi, kok,” celetuk Elzhar sambil memegang kuas kecil, mengoleskan masker beraroma lembut ke wajahnya.
Azel melotot, suaranya agak sengau karena masker menutup sebagian wajah. “Siapa juga yang tegang! Gue cuma… takut hidung gue patah karena lo kebanyakan pencet-pencet.”
Elzhar terkekeh pendek. “Tenang, tangan gue terlatih. Pasien gue biasanya malah bayar mahal buat dipencet-pencet begini.”
Azel mendengus, tapi pipinya panas. Untung masker menutup sebagian besar wajahnya, kalau tidak, Elzhar pasti bisa melihat betapa merahnya ia.
Setelah satu jam facial, peeling ringan, dan masker, kulit wajah Azel terlihat berbeda. Tidak lagi kusam dan lelah, ada sedikit sinar baru yang memancar. Ia menatap cermin kecil yang diberikan oleh perawat, lalu spontan menahan napas.
“Ini… beneran muka gue?” gumamnya.
Elzhar bersandar di meja, menyilangkan tangan sambil tersenyum tipis. “Ya iya lah. Lo pikir tadi gue ganti kepalanya?”
Azel meletakkan cermin dengan cepat, memutar kursi ke arahnya. “Sombong banget lo!”
“Bukan sombong, realistis. Lo cuma butuh dirawat dikit, dan… poles.” Elzhar menjentikkan jarinya. “Besok-besok bisa lebih glowing lagi.”
Malam itu, sebelum Azel pulang, Elzhar memberinya sebuah paper bag berisi paket skincare basic. Cleanser, toner, serum, dan sunscreen—semuanya berlabel elegan yang jelas bukan produk murahan.
“Mulai sekarang lo wajib pake ini tiap hari. Pagi sama malam. Gue bakal tau kalau lo males,” katanya dengan nada setengah serius, setengah bercanda.
Azel memandang paper bag itu dengan bingung. “Apaan sih ini banyak banget? Gue aja biasanya cuma cuci muka pake sabun mandi.”
Mata Elzhar membesar. “Sabun mandi? Astaga, Zel… pantes muka lo jerawatan kecil-kecil! Itu kulit muka, bukan panci.”
Azel langsung manyun. “Lo niat nolongin gue apa ngehina, sih?”
Elzhar menahan tawa, lalu menyentuh keningnya sendiri. “Gue niat nolongin, serius. Jadi, please, mulai malam ini lo ikutin step by step. Gue udah kasih catatan cara pakainya. Dan inget, skincare paling penting tuh sunscreen. Lo bolos sekali aja, kulit lo bisa balik kusam.”
Azel pura-pura cuek, tapi dalam hati ia sudah bertekad akan menuruti. Entah kenapa, ucapan Elzhar membuatnya ingin membuktikan sesuatu—bukan hanya pada Divo, tapi juga pada dirinya sendiri.
Ketika keluar dari klinik malam itu, Azel membawa pulang lebih dari sekadar paket skincare. Ia membawa harapan kecil bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa benar-benar berubah.