bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Kini, Nadia tengah berdiri di tepi jalan, menunggu angkutan umum. Dari kejauhan, Jonathan memperhatikannya dengan seksama. Untuk pertama kalinya, Jonathan kalah dalam adu argumen dengan seseorang. Ia memilih untuk mengalah dan menuruti keinginan Nadia, yang tidak ingin terlalu dikekang, dan hanya ingin diawasi dari jarak jauh saja.
Setelah beberapa saat menunggu, sebuah kendaraan berhenti di depan Nadia. Bukan angkutan umum yang ia tunggu-tunggu, melainkan Kevin dengan motor sport miliknya.
"Nadia, mau ke kampus bareng? Yuk, aku antar," ujar Kevin, dengan senyum hangat di wajahnya.
Nadia terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia akan ikut bersama Kevin atau tetap menunggu angkutan umum yang entah kenapa tak kunjung datang.
"Nggak usah, Kak. Terima kasih, aku tunggu angkutan umum saja," jawab Nadia pelan, dengan nada yang ragu.
"Tapi kalau terus nunggu angkutan umum, kamu bakal telat. Ayo, bareng aku aja. Gak apa-apa kok," ujar Kevin, mencoba meyakinkan.
Akhirnya, Nadia mengangguk pelan. Ia melangkah menuju motor Kevin, dan dalam hitungan detik, mereka sudah melaju membelah jalanan.
Dari kejauhan, Jonathan yang melihat mereka pergi tidak bisa menahan amarah yang mulai membuncah. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, rahangnya mengeras, dan sorot matanya tajam, menusuk ke arah Nadia yang semakin jauh.
"Gadis itu... benar-benar membuat emosiku sulit dikendalikan," gumam Jonathan dengan suara bergetar, menahan diri agar tidak bertindak lebih jauh.
Sepanjang perjalanan menuju kampus, Nadia hanya diam. Ia memeluk erat tasnya di pangkuan, berusaha mengabaikan perasaan canggung yang perlahan menyusup. Sementara itu, Kevin beberapa kali melirik ke arahnya melalui kaca spion, seolah ingin memastikan bahwa Nadia merasa nyaman.
"Kamu baik-baik aja, Nad?" tanya Kevin dengan nada lembut, memecah keheningan di antara mereka.
Nadia mengangguk kecil.
"Iya, Kak. Terima kasih sudah mau repot-repot," jawabnya pelan, namun tetap menjaga jarak dalam suaranya.
Kevin tersenyum, walau dalam hatinya ada sedikit kegetiran. Ia bisa merasakan dinding yang Nadia bangun di sekitarnya, dingin, kaku, tak mudah ditembus.
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di depan gerbang kampus. Kevin mematikan mesin motor dan menoleh ke arah Nadia.
"Kalau nanti mau pulang bareng juga, kabarin aja, ya," ujarnya sambil melepas helm yang ia kenakan.
Namun belum sempat Nadia menjawab, sebuah mobil mewah memasuki halaman parkir kampus dan berhenti di sebelah motor milik Kevin. Jonathan turun dari mobil dengan wajah dingin, diikuti oleh Dewi yang berjalan di sampingnya. Sebelum tiba di kampus, Jonathan memang sempat singgah ke apartemen Dewi untuk menjemputnya.
Tatapan tajam Jonathan langsung mengarah ke dua sosok yang tengah berdiri di sana. Nadia, yang merasakan sorotan mata itu, hanya bisa menunduk dalam diam. Ia tahu betul bahwa pria itu sedang marah.
Namun Kevin tampak tak peduli. Dengan sikap tenang, ia menggenggam tangan Nadia dan mengajaknya masuk ke dalam gedung kampus, seolah ingin melindunginya dari tatapan tajam Jonathan.
Sesaat setelah melewati Jonathan dan Dewi, suara Dewi terdengar, memecah ketegangan.
"Nadia, kamu berangkat ke kampus bareng Kevin, ya?" tanya Dewi, suaranya ceria seperti biasanya.
Nadia menoleh pelan, sedikit gugup, lalu mengangguk kecil.
"Iya, Wi... tadi angkutan umum lama sekali datang, jadi Kak Kevin nawarin tumpangan," jawab Nadia.
Dewi tersenyum, namun di balik senyuman itu, ada sesuatu yang disembunyikannya.
"Oh, begitu... Kenapa kamu nggak telepon aku aja, biar kita bisa barengan," lanjut Dewi.
Nadia tersenyum kecil, merasa sedikit bersalah.
"Aku nggak enak ganggu, Wi. Takut kamu masih sibuk," katanya pelan, berusaha terdengar setenang mungkin.
"Ayo, kita masuk," ujar Kevin, menyela percakapan itu. Ia menggenggam pergelangan tangan Nadia dan menariknya pelan, mengajaknya berjalan lebih cepat.
"Aku duluan, ya," ucap Nadia sopan, sebelum berbalik mengikuti langkah Kevin. Dewi hanya mengangguk, senyum mengembang di wajahnya saat melihat kedekatan keduanya.
Sementara itu, Jonathan yang berdiri di samping Dewi mengepalkan tangannya di dalam saku celana, berusaha keras menahan emosinya. Ia tahu ia tidak punya hak untuk melarang Nadia, tapi rasa tidak terima itu membakar dadanya tanpa bisa dikendalikan.
"Mereka serasi ya, Mas..." ucap Dewi ringan, matanya mengikuti punggung Nadia dan Kevin yang semakin menjauh.
"Tidak," jawab Jonathan singkat, suaranya datar namun sarat emosi.
Dewi menoleh, memandang Jonathan dengan ekspresi tidak suka.
"Kok gitu sih, Mas..." protesnya.
"Mas, dari tadi aku perhatiin... setiap lihat Nadia, mata Mas kayak mau melotot. Kenapa, sih?" tanya Dewi, setengah bercanda namun juga penasaran.
Jonathan tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak sampai ke matanya.
"Nggak apa-apa, Sayang. Mas cuma nggak suka kalau perempuan udik itu menggoda adikku," ujar Jonathan dingin.
Namun dalam hatinya, bukan itu yang sebenarnya ia rasakan. Jonathan tahu persis, kemarahan yang membara di dalam dirinya berasal dari rasa kepemilikan terhadap Nadia. Gadis itu adalah istrinya, meski hanya istri rahasia, meski ia tidak mencintai Nadia. Tapi bagi Jonathan, hanya dialah satu-satunya pria yang berhak atas gadis itu. Egois? Tentu saja. Tapi ia tak peduli.
Dewi mengernyit, tidak menyukai ucapan Jonathan.
"Mas kok ngomong gitu sih... Nadia itu temen aku, loh," ucapnya dengan nada tak suka.
Jonathan hanya mendesah pelan, memilih diam daripada memperpanjang perdebatan. Dalam hati kecilnya, ia tahu ia sudah melampaui batas, tapi untuk mengakuinya, rasanya jauh lebih sulit daripada membiarkan egonya menang.
Jonathan hanya mendesah pelan, memilih diam daripada memperpanjang perdebatan. Dalam hati kecilnya, ia tahu ia sudah melampaui batas, tapi untuk mengakuinya, rasanya jauh lebih sulit daripada membiarkan egonya menang.
Sementara itu, di dalam gedung kampus, Kevin dan Nadia berjalan beriringan melewati koridor yang mulai ramai oleh mahasiswa lain. Sepanjang perjalanan, Kevin menjaga jarak, membiarkan Nadia merasa nyaman, tetapi tetap mengawasinya dengan tatapan lembut.
"Nad, kalau ada apa-apa, jangan ragu hubungin aku, ya," kata Kevin, setengah berbisik saat mereka tiba di depan kelas Nadia.
Nadia mengangguk kecil.
"Iya, Kak. Makasih banyak," ucapnya pelan, lalu segera masuk ke dalam kelas, seolah ingin menghindari perhatian lebih.
Kevin berdiri sejenak, memperhatikan punggung mungil itu sebelum akhirnya berbalik pergi, tanpa sadar mempertemukan pandangan dengan Jonathan yang sudah berdiri tak jauh dari sana, bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada.
Tatapan mereka bertabrakan. Tegang. Tidak ada kata-kata, hanya saling menilai.
Jonathan mendekat perlahan. Napas Kevin terasa sedikit berat, namun ia tidak menunjukkan sedikitpun rasa gentar.
"Jangan terlalu dekat dengan dia," ujar Jonathan dengan suara dingin, penuh tekanan.
Kevin mengangkat satu alisnya, tersenyum tipis penuh tantangan.
"Kenapa? Apa kau cemburu?" balas Kevin santai, meski nadanya menusuk tajam. "Tapi aku rasa itu mustahil. Bukankah kau sendiri yang pernah bilang kalau kau tidak tertarik pada wanita 'biasa' seperti Nadia?"
Kevin menahan jeda sejenak, matanya tak lepas dari wajah kakaknya.
"Lagi pula, kau sudah memiliki calon istri, bukan? Kau seharusnya tidak keberatan," lanjutnya, suara Kevin terdengar semakin tegas.
"Berbeda denganku... aku menyukainya. Aku mencintai semua yang ada pada dirinya, tanpa peduli apapun."
Rahangan Jonathan mengeras, ekspresinya membeku. Kata-kata Kevin menghantamnya lebih keras dari yang ia perkirakan. Ia tak menyangka adiknya itu benar-benar jatuh hati pada Nadia, gadis yang diam-diam telah menjadi miliknya, walau hanya dalam ikatan rahasia.
"Orang tuamu tidak akan menyetujuinya," ucap Jonathan, suaranya lebih berat, seolah berusaha mengendalikan sesuatu yang nyaris meledak.
Kevin tersenyum miring, penuh tekad.
"Aku tidak peduli," jawabnya mantap.
"Bahkan jika mereka mengusirku, bahkan jika aku kehilangan segalanya... aku tidak akan mundur."
Sesaat, suasana di antara mereka membeku. Kedua pria itu saling menatap, seolah sedang bertarung dalam diam.
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....