Nadira tak pernah menyangka bekerja di perusahaan besar justru mempertemukannya kembali dengan lelaki yang pernah menjadi suaminya tujuh tahun lalu.
Ardan, kini seorang CEO dingin yang disegani. Pernikahan muda mereka dulu kandas karena kesalahpahaman, dan perpisahan itu menyisakan luka yang dalam. Kini, takdir mempertemukan keduanya sebagai Bos dan Sekretaris. Dengan dinginnya sikap Ardan, mampukah kembali menyatukan hati mereka.
Ataukah cinta lama itu benar-benar harus terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rere ernie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter — 17.
Ardan melangkah cepat melewati koridor rumah sakit. Wajahnya kaku, matanya menyapu setiap sudut dengan tajam. Ia benci perasaan campur aduk yang tengah ia rasakan. Ia sebenarnya tak ingin meninggalkan Nadira, tapi sekaligus tak bisa mengabaikan panggilan panik Claudia.
Sesampainya di depan ruang IGD, ia menanyakan nama Claudia pada seorang perawat.
"Nona Claudia ada di ruang observasi, Tuan. Kecelakaannya tidak parah, hanya lecet di lengan dan sedikit memar.”
Alis Ardan terangkat, wajahnya mengeras. “Hanya… lecet?”
“Ya, Pak. Mobilnya tergelincir ringan, tapi tidak ada cedera serius,” jawab perawat sopan.
Ardan mengangguk singkat, lalu masuk ke ruang yang dimaksud.
Claudia sudah berbaring di ranjang pasien, tangannya terbalut perban tipis. Begitu melihat Ardan, matanya langsung berbinar seolah menemukan penyelamat.
“Ardan! Aku takut sekali tadi, mobilku hampir menabrak pembatas jalan. Kalau saja tidak ada orang yang menolong…” suaranya begitu manja dan terdengar kasihan.
Ardan berdiri di sisi ranjang, tangannya terlipat di depan dada. Tatapannya pada Claudia brigif dingin menusuk. “Kau bilang, kau kecelakaan. Aku kira kondisimu kritis, tapi ternyata hanya luka kecil.”
Claudia tersenyum tipis, mencoba mengulur. “Tapi tetap saja menakutkan. Aku butuh kamu di sisiku, Ardan. Hanya kamu yang bisa menenangkan ku.”
Ardan menunduk sedikit, wajahnya mendekat. Claudia tersenyum, mengira pria itu akan melunak. Namun, kalimat yang keluar membuat darahnya berdesir tak enak.
“Jangan pernah menipu aku dengan drama seperti ini lagi, Claudia. Kalau kau merasa bisa mengikatku dengan air mata dan luka palsu… kau salah besar.”
Wajah Claudia pucat. “A-aku tidak bohong, Ardan. Aku benar-benar ketakutan.”
Ardan berdiri tegak, menyibakkan jasnya ke belakang. “Aku di sini... karena masih punya rasa tanggung jawab. Tapi jangan pernah pikir kau bisa memainkan kelemahanku dengan cara murahan. Kalau aku ingin ada di sisimu, itu karena aku memilih. Bukan karena kau paksa!”
Claudia tercekat, menahan tangis yang nyaris pecah.
Tanpa menunggu balasan, Ardan berbalik. Langkah-langkahnya tegas meninggalkan ruangan itu.
Namun begitu ia keluar, sorot matanya berubah suram. Ia menyandarkan punggung ke dinding, merogoh ponselnya. Ada dorongan kuat untuk menelpon Nadira, hanya untuk memastikan wanita itu tidak menangis karenanya malam ini.
Tapi jempolnya berhenti di atas tombol call, rahangnya mengeras. “Tidak… aku tidak boleh goyah. Aku harus tetap dingin padanya.”
Ardan memasukkan kembali ponsel ke sakunya, lalu melangkah pergi. Namun, satu kalimat berputar-putar di benaknya.
Nadira… apa kau masih menungguku pulang malam ini?
Namun, malam itu ia memilih tidak meninggalkan rumah sakit.
Semetara di apartemen, Nadira tertawa kecil sambil mengusap matanya yang basah. Air matanya masih jatuh, tapi kali ini bercampur dengan tawa. “Aduh, Mama… di saat aku lagi hancur begini, malah kasih kabar kalau mau jadi mertua kejam."
Ia bersandar ke kursi balkon, menatap langit malam. “Ya Tuhan… apa benar aku bisa bertahan menghadapi semua ini?” gumamnya lirih.
Dua hari kemudian...
Rumah besar keluarga Rarasati sudah dipenuhi ibu-ibu sosialita dengan perhiasan gemerlap dan tawa renyah. Nadira berdiri diantara mereka, dengan wajah yang sengaja dibuat lesu.
“Nadira, ambilkan jamuan untuk para tamuku." Suara Nyonya Rarasati terdengar lantang, penuh tekanan.
“I-ya, Nyonya.” Nadira pun pergi ke arah dapur.
Beberapa ibu sosialita berbisik pelan, matanya melirik ke arah Nadira. "Siapa dia, Jeng Rara?"
"Oh dia, sekertaris putraku. Sengaja aku panggil hari ini, biar dia bantu-bantu."
Saat Nadira kembali dari dapur membawa jamuan, Claudia sudah ikut duduk di sofa dengan mengenakan gaun pastel lembut. Senyum puas tersungging di wajahnya melihat Nadira yang tampak seperti ‘menantu tertindas’.
"Tante, kok sekertaris Ardan ada disini?"
Nyonya Rarasati menatap Claudia dengan sorot penuh kasih, lalu menundukkan suara seolah takut rahasianya terdengar oleh teman-teman arisannya.
“Tidak lebih dari sekadar menunjukkan padamu... bahwa dia itu tak pantas berharap pada Ardan. Dunia mereka berbeda, sayang. Tante paham, tentang keresahan kamu karena gosip-gosip mereka berdua di perusahaan. Tenang saja, hanya kamu yang benar-benar cocok jadi menantu Tante.”
Ucapan itu membuat senyum Claudia semakin merekah. Ada rasa puas yang menyelinap di wajahnya, seakan keyakinannya kini kian bertambah.
Namun, sebuah pertanyaan tiba-tiba berkelebat di benaknya. Mengapa Nyonya Rarasati tampak asing terhadap Nadira? Padahal, bukankah dulu wanita itu adalah menantu keluarga mereka?
Seakan mampu membaca isi hati Claudia, Nyonya Rarasati kembali berbisik pelan, nyaris tak terdengar.
“Sebenarnya, Nadira itu... mantan istri Ardan.”
Sejenak mata Claudia bergetar, namun senyumnya tetap terjaga. Ia menanggapi dengan kelembutan yang penuh arti.
“Ah... begitu rupanya. Wajar kalau sikap Ardan berbeda pada Nadira. Ada amarah, tapi juga... tersisa sedikit perhatian.” Claudia berpura-pura tidak tahu jika Nadira adalah mantan istri Ardan.
“Jangan lengah, Claudia. Nadira itu wanita licik, dulu dia meninggalkan Ardan karena anakku masuk penjara. Kamu lah penyelamat putraku... Tante akan selalu mendukungmu,” bisik Nyonya Rarasati, sengaja menyalakan api di hati Claudia.
Ucapan itu membuat sorot mata Claudia berkilat tajam. Ia bangkit perlahan, seolah tak bisa lagi duduk diam. Langkahnya ringan namun sarat maksud, hingga tanpa aba-aba lengannya menyenggol Nadira yang masih memegang nampan penuh jamuan.
Brakkk!
Nampan oleng, gelas dan piring berjatuhan. Minuman muncrat, kue-kue berserakan lalu suara kaca pecah membuat ruangan mendadak hening.
“Aduh!” Claudia menutup mulutnya, memasang wajah kaget sekaligus bersalah. “Nadira... aku sungguh tidak sengaja.” Senyum samar di ujung bibirnya justru menyingkap topeng kepura-puraan.
Tubuh Nadira bergetar menahan perasaan, suaranya tercekat namun tetap sopan.
“Tidak apa-apa, Nona Claudia. Saya akan segera membereskannya.”
Belum sempat ia berjongkok, Nyonya Rarasati sudah berdiri dengan wajah menyala. Tangannya bertolak pinggang, nada suaranya penuh amarah.
“Kalau bekerja itu gunakan mata, Nadira! Acara penting ini jadi rusak gara-gara kecerobohanmu. Lihat, tamu-tamu saya jelas merasa tidak nyaman!”
“M-maaf, Nyonya... saya__” Nadira menunduk, namun nada lirihnya langsung terputus oleh tatapan tajam penuh penghinaan.
Beberapa tamu menutup mulut menahan bisik-bisik. Ada yang melirik Nadira penuh iba, ada pula yang tersenyum sinis menikmati pertunjukan.
Dalam keadaan terdesak pun dia masih bersikap sombong dan mencoba memprovokasi Ardan...😒