"Izinkan aku menikah dengan Zian Demi anak ini." Talita mengusap perutnya yang masih rata, yang tersembunyi di balik baju ketat. "Ini yang aku maksud kerja sama itu. Yumna."
"Jadi ini ceritanya, pelakor sedang minta izin pada istri sah untuk mengambil suaminya," sarkas Yumna dengan nada pedas. Jangan lupakan tatapan tajamnya, yang sudah tak bisa diumpamakan dengan benda yang paling tajam sekali pun. "Sekalipun kau benar hamil anak Zian, PD amat akan mendapatkan izinku."
"Karena aku tau, kau tak akan membahayakan posisi Zian di perusahaan." Talita menampakkan senyum penuh percaya diri.
"Jika aku bicara, bahwa kau dan Zian sebenarnya adalah suami istri. Habis kalian." Talita memberikan ancaman yang sepertinya tak main-main.
Yumna tersenyum sinis.
"Jadi, aku sedang diancam?"
"Oh tidak. Aku justru sedang memberikan penawaran yang seimbang." Talita menampilkan senyum menang,
Dan itu terlihat sangat menyebalkan.
Yumna menatap dalam. Tampak sedang mempertimbangkan suatu hal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon najwa aini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 04
Zian Ali Faradis.
Lelaki itu tetap terlihat sangat tampan, meski terbaring di atas ranjang putih dengan slang infus di pergelangan tangan.
Rambutnya sedikit acak-acakan, tapi itu tak mengurangi kadar ketampanan seorang Zian.
Hal ini membuat Aira cukup tercengang.
Satu fakta lagi yang lebih mencengangkan, Zian tidak dalam kondisi kritis, atau mengkhawatirkan. Tak ada alat medis yang digunakan untuk menopang keselamatan. Hanya perban kecil memanjang di pelipis sebelah kanan.
Zian juga tidak dalam kondisi tidak sadar. Ia justru sedang bicara dengan laki-laki tinggi tegap yang berdiri di samping ranjang.
Melihat fakta yang di luar dugaan, Aira tak bisa menahan diri untuk tak menyapa heran.
"Zian?"
Tak hanya Zian yang melihat ke arah Aira, begitu juga dengan pria yang tengah berbicara dengannya.
"Aku pergi dulu." Lelaki itu langsung pamit pada Zian.
"Terima kasih atas bantuannya," ucap Zian.
Lelaki tersebut tersenyum dan bergegas hendak keluar, sempat mengangguk singkat saat berpapasan dengan Aira.
Sepeninggalan lelaki itu Zian tersenyum lembut pada Aira yang melangkah mendekat.
"Lu gak papa, Kak?"
Zian malah bertanya tentang kondisi Aira. Padahal sejak tadi gadis itu justru tengah mencemaskan dirinya.
"Kamu yang gak papa?" Aira balik tanya cepat.
"Seperti yang lu liat."
"Dan kami semua khawatir di luar sana. Kami takut terjadi apa-apa." Aira berkata sedikit emosi. Sepasang matanya langsung berkaca-kaca.
"Sorry." Zian tersenyum tipis. Tipis sekali. Tapi senyumannya yang seperti ini justru sangat memesona.
Aira biasanya akan menghindari tatap mata Zian. Tiap kali lelaki itu memberi senyum demikian. Tapi tidak untuk kali ini. Tatapan gadis itu penuh tuntutan. Dan langsung dipaham maksudnya oleh Zian.
"Gue gak bermaksud buat kalian semua khawatir. Hanya saja ada hal yang harus diurus lebih dulu terkait semua ini."
"Apa?"
"Kecelakaan ini, sepertinya faktor kesengajaan."
"Maksudmu?" tanya Aira lirih. Mendadak ada denyut nyeri dalam dadanya.
"Mobil itu hendak nabrak lu, Kak."
"Bukan aku, Zian. Tapi kamu," kata Aira cepat.
Zian menatap gadis berparas lembut itu lekat. "Apa lu tau sesuatu?"
"Ti-tidak." Aira gugup, wajahnya sedikit pucat. "Aku lihat, mobil itu meluncur ke arahmu dan memang seperti disengaja."
Zian mengangguk. Sementara merasa wajar jika Aira berpikir demikian. Lain halnya yang ada dalam pemahaman lelaki itu. Dalam insiden tersebut, Zian justru menyelamatkan Aira dari laju mobil yang seperti sengaja mengincarnya.
Aira selamat, meski terjatuh keras akibat dorongan Zian. Tapi tubuh laki-laki itu yang menjadi sasaran tabrakan, dan terpental menghantam aspal.
Kejadiannya tidak sampai dua jam yang lalu.
Saat itu Zian menelpon Aira yang memang hendak keluar dari rumah kost.
"Lu ada di mana, Kak?"
"Baru keluar dari rumah."
"Tunggu bentar! gue jemput."
"Aku ada janji sama yang lain di kafe dekat kantormu, Zian."
"Iya. Sepuluh menit gue nyampek. Tunggu ya."
Setelah mendapat persetujuan dari Aira. Zian memutus sambungan. Dan seperti yang sudah diucapkan, di titik sembilan menit lebih sekian detik, mobil palisade hitam milik Zian itu berhenti tak jauh dari Aira yang sedang menunggu.
"Gue gak terlambat?" Zian menghampiri Aira seraya mengendorkan ikatan dasi yang melilit krah kemejanya. Ia juga menggulung lengan panjang kemeja itu sampai pertengahan lengannya yang kekar.
Aira mesem melihatnya.
Zian dengan tampilan seperti itu terasa luar biasa.
"Barusan dipanggil atasan, jadi harus tampil formal." Zian sedikit menjelaskan. Lelaki itu memang tidak suka mengenakan atribut formal dalam pekerjaannya. Paling hanya kemeja lengan panjang dan celana bahan. Tanpa dasi apalagi jas yang membalut tubuh proposional seorang Zian.
"Sebenarnya kamu gak perlu repot-repot jemput."
"Gue yang mau. Berangkat sekarang?"
Zian dalam mode gak mau dibantah. Dan sepertinya pula sedang berburu dengan waktu.
"Iya. Aku mau datang lebih dulu sebelum Dira dan Yumna."
Zian mengangguk dan membukakan pintu mobil untuk Aira. "Terima kasih."
Zian hanya kembali mengangguk, kemudian dengan cepat meraih posisi duduk, dan tanpa kata ia melajukan mobil mewah itu membelah jalan raya.
Zian memang membawa Aira ke sebuah kafe. Tapi bukan kafe tempat janjian bertemu dengan Yumna dan Dira.
"Kenapa kesini?" tanya Aira saat mobil berhenti di parkiran kafe yang mengusung tema aestetik itu.
"Gue kenalin elu ke seseorang."
"Siapa?" Aira menatap lelaki ganteng di sampingnya itu dengan raut penasaran.
"Calon laki." Zian tergelak dan segera turun. Seperti biasa lelaki itu membukakan pintu buat Aira.
"Gue becanda doang," kata Zian saat melihat Aira masih menatap kesal.
"Ya kali gue cariin suami buat lu. Yang ada gue sendiri yang maju."
Aira berdecak seraya turun dari mobil.
Mode bercanda seperti itu di antara mereka berdua memang sudah biasa. Bukan lagi hal yang luar biasa.
Berbicara dengan Zian tidak boleh pakai hati. Kalau tidak ingin jatuh hati, dan ujung-ujungnya patah hati.
Meminjam ucapan tokoh asli pemeran Yumna--Nofiya Hayati-- Dia bilang, syarat balas cat Ata Winata--pemeran Zian--dilarang baper. Dan yang kedua, jaga hati tetap waras.
Seberbahaya itu.
Pembaca jangan heran.
Jangan pula baperan.
Baca saja sampai selesai.
Balik lagi ke cerita.
"Kafe ini bagus sekali."
"Apalagi di dalam. Yuk masuk."
"Jangan lama-lama Zian. Kasian mereka nunggu."
"Gak lama kok. Gue janji." Zian segera menyilakan Aira untuk melangkah lebih dulu. Sedang lelaki itu sendiri mengambil posisi satu langkah di belakang Aira. Seakan menegaskan kalau ada hal yang tak diinginkan, Zian akan selalu pasang badan.
Begitu sampai di pintu kafe yang terbuat dari kaca besar, Zian sigap membukakannya untuk Aira. Bahkan lebih cepat dari petugas yang berdiri di dekat pintu itu sendiri.
"Jangan terlalu manis, nanti diabetes."
Aira tersenyum kecil seraya melirik pegawai kafe yang sedikit mengangguk hormat pada mereka.
"Udah sesuai dosis," sahut Zian sambil mengarahkan Aira ke sebuah tempat yang telah mereka pilih sebagai tempat duduk.
Benar apa kata Zian, pada tempat duduk yang mereka tuju, sudah ada seseorang yang sedang menunggu.
Seorang perempuan.
"Maaf sedikit terlambat, kak." Zian berjabat tangan dengan wanita yang berusia sedikit di atas Zian itu. Manis dan ramah, itu kesan pertama yang dapat ditangkap darinya.
"Satu menit lagi, maka kau terlambat sepuluh menit." Wanita itu melihat jam tangannya.
Sebuah jam tangan merk ternama yang melingkar di sana. "Membuang waktuku sepuluh menit, kompensasinya tak sedikit."
"Tenang saja, Kak Na. Akan aku bayar tunai."
"Seharusnya begitu." Wanita berhijab cantik itu mengangguk senang. Tatapannya lalu berpaling pada Aira yang berdiri diam di samping Zian.
"Ini Azaira Mahrin, pemilik tulisan yang kakak baca kemarin."
"Oh." Wanita itu sesaat tercengang sebelum kemudian tertawa ringan.
"Aku pikir kamu sudah lupa dengan agenda pertemuan kita kali ini Zian. Dan malah mau memperkenalkan calon istri padaku," ucapnya, terkesan begitu akrab.
Aku kasih vote biar calonnya Zian tambah semangat