Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengumuman dan Sebuah Tanya
Tanpa menyontek, kerahkan usaha. Perlahan-lahan nilai mengalami peningkatan. Hanya seperti biasa, pelajaran tentang berhitung itu selalu jadi hambatan.
Hingga saat mendekati hari ujian nasional, tetap saja merasa bodoh dengan pelajaran seperti fisika, biologi, matematika, kimia, bahkan ekonomi. Pelajaran ini sungguh membuat mual. Tempat kursus sekalipun tidak mampu mengubahku menjadi maniak pelajaran-pelajaran tersebut.
Beberapa hari menjelang UN, seluruh murid dikumpulkan untuk acara doa bersama, motivasi, dan sebelumnya disuruh puasa sekaligus buka puasa bersama. Selesai berdoa bersama, kami satu angkatan saling meminta maaf satu sama lain.
Ujian Nasional telah di depan mata. Kami tidak bisa mengelak. Sebagian dari kami ada yang menangis. Suasana di sini sangat mengharukan.
Aku bahkan tidak mengeluarkan air mata. Saat bersalaman dengan teman-temanku, begitu juga dengan sainganku, Arka dan Adi. Saat itu kami masih bersaing untuk mendapatkan Ivi. Bodoh juga kupikir.
Ujian Nasional datang, betapa bahagia wajah ini, meskipun ya, mungkin dalam hati menangis. Khawatir akan soal-soal yang seolah menjadi algojo untuk kami. Ini adalah UN SMP bukan SD.
Sewaktu SD bisa dibilang cukup beruntung karena kelulusan masih dibantu dengan nilai rapor. Sekarang yang menentukan adalah hasil UN. Ketegangan mulai terasa ketika masuk kelas. Rasanya seperti masuk hutan belantara.
Saat pengawas masuk, seakan-akan binatang buas siap menyantap kami. Jika ada yang mencurigakan, mereka langsung dengan cepat menerkam.
Beruntung, hari pertama terlewati, pelajarannya tidak terlalu sulit. Saat ini, IPS tidak masuk ke dalam UN. Sesungguhnya aku lebih suka pelajaran IPS daripada IPA.
Bahasa Indonesia berhasil dilewati dengan lancar. Bahasa Inggris, mulai menghadapi kesulitan. Saat pelajaran IPA, mulai menjawab yang tidak terlalu banyak hitungan terlebih dahulu seperti biologi, hingga yang paling seram yaitu matematika.
Terasa seperti duduk di panci panas raksasa. Aku tidak mengerti, ini sulit. Semenjak Deco pergi, tidak ada tempat yang enak untuk bertanya tentang matematika lagi.
Ujian Nasional berakhir dengan tanda tanya besar di kepala. Apa akan lulus? Liburan panjang menghiasi dan kesenangan itu dihantam dengan kegalauan karena hasil UN yang akan keluar beberapa minggu kemudian.
Tidak tenang rasanya menjalani libur panjang ini. Hingga tiba hari pelepasan yang diadakan dua minggu sebelum hasil UN keluar.
Ini adalah peristiwa besar. Semua murid berpenampilan layaknya orang besar dan sukses. Namun, aku datang dengan jas kebesaran seperti badut. Mau bagaimana lagi? Tidak ada pakaian yang pas karena tubuh ini terlalu kecil.
Pelepasan ini tidak terlalu berkesan untukku. Apa yang harus aku kenang? Aku benar-benar hancur selama ini.
Hanya mengingat beberapa teman dan guru yang benar-benar memberikan kesungguhannya untuk menemani selama masa SMP ini dan beberapa memori singkat yang bagiku layak disimpan.
Hanya ada beberapa, tidak lebih dari 50 persen dari waktu yang sudah kuhabiskan serta dengan siapa aku mengisinya. Salah satunya, masih teringat jelas tentang sayembara dari Ivi.
Kami bertiga masih menunggu hasil UN, Adi sepertinya sudah berpikiran negatif. Memang benar, sifat Ivi belakangan ini memang menjadi cuek dengan kami. Namun, tidak ada salahnya menunggu hasil.
Dua minggu berlalu, akhirnya pengumuman UN mulai dibagikan melalui pos. Jantungku berdebar, saat ini aku berada di rumah Ata. Berulang kali mencoba menenangkan pikiran karena tukang pos belum datang ke rumah dari pagi tadi.
Sekitar jam 10, tukang pos datang ke rumah Ata. Ata sudah mendapat surat pengumuman kelulusan. Kami melihatnya bersama, hasilnya menggembirakan, Ata berhasil lulus. Hal itu membuat jantung semakin berdebar-debar juga sesak.
Saat pulang ke rumah, ternyata tukang pos itu belum datang. Aku menerima SMS dari salah satu teman, bahwa di angkatan kami ada dua orang yang tidak lulus. Rasanya ingin menghilang. Benar-benar tidak bisa berpikir.
Bagaimana jika aku adalah salah satu dari dua orang yang tidak lulus itu? Mencoba tenang dan menganggap kabar itu hanya bualan belaka. Namun tidak lama kemudian, aku kembali menerima kabar dari teman.
Dia bilang dirinya tidak lulus. Gawat, ternyata fakta itu benar. Jika dalam kabar ada dua orang, sementara temanku satu orang sudah ketahuan tidak lulus. Lalu yang satu lagi siapa?
Aku mohon tukang pos, cepatlah datang! Aku tidak mau kehilangan nyawa karena terlalu lama berada dalam ketidakpastian ini. Sial! Aku tidak akan bisa menikmati sisa liburan jika seperti ini terus.
Sudah seminggu aku tidak menerima surat kelulusan. Apa yang terjadi? Seluruh siswa disuruh mengambil nilai UN, NEM, dan kelengkapan lainnya.
Aku pergi ke sekolah dengan penuh rasa cemas meskipun orang tua sudah bertanya kepada pihak sekolah, bahwa aku sudah lulus. Namun sebelum ada bukti, aku tidak akan bisa tenang. Gugup sekali saat masuk gerbang sekolah. Aku bertemu Arka, Adi, Ata, serta teman-teman yang lain. Mereka semua tertawa bahagia mengabarkan bahwa surat kelulusan telah tiba dengan membawa tulisan ‘LULUS’.
Masih merenung, tapi tetap tersenyum dengan kebahagiaan mereka. Meski tetap saja ketahuan, bahwa aku sedang risau saat itu, karena surat kelulusan yang belum datang.
Ata menyuruhku pergi ke kantor sekolah untuk menanyakan surat kelulusan itu. Sesampainya di sana, petugas mengatakan bahwa seluruh surat kelulusan sudah selesai dikirim ke alamat yang dituju. Aku makin bingung. Di mana surat kelulusan itu nyasar?
Kembali lagi menuju pintu gerbang depan sambil menunggu acara pengambilan nilai UN, NEM, dan lainnya dimulai. Tiba-tiba, Hari, temanku, datang menghampiri dan memberikan sebuah surat.
Hari tinggal di asrama putra. Dia teman yang biasa membuat perut sakit karena tertawa berkat ulahnya. Aku kira itu surat kelulusannya yang ingin dipamerkan kepadaku. Aku mulai terlihat suram kembali.
“Val, ini surat lu! Waktu itu dikirimnya ke asrama,” kata Hari.
“Eh? Surat kelulusan?” tanyaku.
“Iya, lu belum dapat kan suratnya? Waktu kapan tukang posnya nyasar,” jawab Hari.
“Walaaah, makasih Ri!” kataku dengan riang sekaligus berdebar-debar.
“Sip! Buka suratnya, Val!” kata Hari.
Aku membukanya seakan-akan surat cinta. Mulai melihatnya. Ada dua kata dicoret. Aku melihat lebih jelas.
‘TIDAK LULUS’ dicoret lalu mulai memberanikan diri melihat kata di sampingnya. Tertulis, ‘LULUS’ yang bersih tidak ada coretan sedikit pun. Aku mencoba berpikir sejenak.
”Lulus!” teriakku.
Aku berjingkrak. Berusaha tenang, badanku makin bergetar. Aku kaget, begitu bahagia bisa lulus, padahal beberapa murid berpikir lulus saja tidak cukup, mereka berpikir harus masuk SMA favorit. Namun, aku sama sekali tidak memikirkannya untuk saat ini. Sudah lulus saja sudah syukur.
Aku mengambil nilai UN, NEM, dan lainnya dari sekolah. Nilai yang lumayan, lumayan menusuk. Nilai UN pas-pasan. NEM hanya dapat 26. Sangat tipis, hanya dikurangi beberapa poin saja aku tidak lulus. Jangankan bermimpi masuk SMA favorit, masuk SMA negeri yang paling sedikit peminatnya saja kemungkinan masuknya sedikit sekali.
Aku sudah mendaftar masuk sekolah di SMA yang sama. Aneh, kenapa aku memilih sekolah ini lagi? Padahal sudah jelas kehidupan SMP saja tidak karuan. Apa yang akan aku dapatkan di SMA nanti?
Tidak ada pilihan. Aku meninggalkan kantor SMP dengan pasrah. Berharap di SMA kehidupanku membaik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...