Empat Mata Jatuh Cinta

Empat Mata Jatuh Cinta

Cinta Pertama

Matahari menyinari, air memulihkan, tanah mempertahankan, angin menyebarkan, api menghangatkan. Kegelapan menenangkan, dedaunan melambai, awan mengikuti, langit membungkus semua yang ada di dunia ini. Itu adalah alam. Aku merasakan apa yang dirasakan alam dapat dirasakan juga oleh perasaan manusia. Mengapa orang merelakan dirinya hancur untuk orang yang disayangi? Mengapa orang selalu ingin mengatakan cinta di saat hati selalu membayangkan seseorang yang amat berharga dalam hidupnya? Sungguh menyebalkan, perasaan itu benar-benar membingungkan.

Saat sang pujaan hati menyentuh perasaanmu. Keinginan besar serta ambisi untuk memilikinya selamanya akan meracuni. Mengapa aku tidak tahu dengan siapa aku hidup kelak? Siapa pasangan hidupku?

Aku duduk merenung kembali di pipa saluran air dekat rumah perempuan bernama Dera. Perempuan pertama yang menciptakan perasaan aneh ini. Aku bersama temanku Rey dan juga adikku masih tenang bermain di saluran air. Kami biasa mengambil ikan kecil di sana, bahkan jika mujur kami bisa mendapatkan kepiting kecil, ikan sepat, dan kadang ikan gabus. Aku juga pernah melihat kura-kura di sini. Saluran air yang terletak di antara perumahan Cana dan Oka, di sanalah tempatku sering menghabiskan waktu.

Hari sudah sangat sore, kami rasa sudah cukup perburuan makhluk saluran air ini. Aku pun naik ke permukaan dengan badan diselimuti bau khas saluran air. Berhias lelah aku duduk di rerumputan yang dipenuhi tanaman putri malu. Bokong terasa sakit, duri-duri ini menusuk. Bodohnya aku tetap saja duduk di tanaman berduri itu. Kami masih sibuk memuji-muji botol plastik yang berisi lima ikan cere dan dua ikan sepat hasil buruan tadi. Sosok perempuan yang aku bayangkan di dalam saluran air beserta teman-temannya datang menghampiri kami. Begitu girangnya mereka.

“Hai Nelayan, dapat apa saja hari ini?”

“Dua sepat, lumayan!” jawab Rey antusias.

Aku sengaja mengalihkan pandangan agar perasaan aneh pada perempuan itu lenyap, menyibukkan diri dengan menyentuh belasan tanaman putri malu yang ada di depan kaki tapi apa daya dengan santainya perempuan itu menyapaku.

“Valda!”

“I … iya?”

Aku terdiam, lagi-lagi aku melihat wajahnya. Perasaan ini kembali lepas dan menggerogoti seluruh tubuh hingga tidak bisa berkata apa pun. Aku bingung ingin mengatakan apa. Dia tertawa kecil, dia begitu indah dengan senyumnya. Sial, aku membayangkannya lagi. Aku mencoba tenang dan kembali memalingkan wajah kepada putri malu yang tadi kumainkan.

“Sedang apa Val?” Aku diam tidak mampu mengeluarkan kata apa pun.

“Uh, sedang sibuk yah?”

“Tidak kok,” jawabku.

“Sedang apa kok tumben diam begitu?”

“Haha! Tidak apa-apa kok!” Aku mulai gelisah dengan perasaan ini. Apa yang harus kulakukan?

“Wooi, Val! Jalan-jalan yuk naik sepeda.” Rey berteriak dari kejauhan. Aku pun langsung berlari ke arahnya. Aku bisa sedikit tenang kali ini. Akhirnya, pikiranku dialihkan secara tidak langsung oleh Rey. Aku meninggalkan Dera di sana dengan teman-temannya. Mungkin dia merasa bingung dengan tingkahku kali ini, tapi maaf, aku juga tidak ingin seperti ini sebenarnya.

Kami bermain sepeda, tapi tetap saja aku tidak bisa fokus dan berhenti memikirkannya. Aneh, dia teman baikku, kami selalu bermain bersama. Tertawa sampai kami lelah itu hal biasa tapi sekarang rasanya aku tidak mungkin tertawa di depannya.

“Valda! Awas!”

“….”

Dtaaar!

“Ugh, sakit ….”

Aku menabrak trotoar dan terpental membentur aspal. Untung saja bukan kepalaku yang terbentur, hanya tangan dan punggungku saja. Tapi, apa-apaan ini tangan kananku tidak bisa gerak? Ngilu, bengkak, memar, dan dengan darah yang sedikit keluar di tengahnya. Seperti puding bluberi yang di atasnya diberikan saus stroberi.

Aku harus pulang ke rumah dengan cepat, dengan air mata keluar juga tangan kanan yang sudah tidak aku pikirkan lagi bentuknya. Sambil mengendarai sepeda dengan tangan kiri dan menahan rasa sakit ini, aku masih sempat memikirkan perempuan itu. Melelahkan, sepertinya aku ingin sekali mencuci otakku.

Sesampainya di rumah, mama melihat keadaanku seperti ini langsung marah, tapi apa boleh buat ini memang salahku yang melamun saat mengendarai sepeda. Mama langsung bergegas mengambil obat memar dan memanggil tukang urut untuk memulihkan tangan kananku yang tidak bisa digerakkan ini. Tukang urut pun datang, perasaanku sedikit tidak enak kali ini. Ternyata benar, tukang urut itu bilang, “salah urat.”

“Apa itu berarti tanganku sudah tidak bisa digerakkan selamanya?” tanyaku khawatir.

“Haha, bicara apa kamu, Nak? Tenang saja ini masih bisa diluruskan kembali kok, tapi untung saja langsung segera diurut. Jika tidak, mungkin sembuhnya cukup lama dan pasti lebih sakit,” ucap tukang urut itu meyakinkanku.

“Makanya lain kali jangan bengong kalau lagi naik sepeda. Bikin panik saja kamu Val,” ucap mama.

“Baik, Ma,” kataku.

“Iyaaaaaawwwww, sakit!” Aku berteriak.

“Sabar, sabar, sabar Val, tahan sedikit lagi.” Mama mencoba menenangkan.

Seminggu sudah aku berhenti bermain karena sibuk memulihkan tangan kananku. Sekarang aku mulai bermain keluar kembali. Teman-teman langsung menyambut dengan hangat. Lagi-lagi dia datang, perempuan yang menghalangi pikiranku selama ini. Dia mendekat, aku kaget dan bingung akan seperti apa aku menghadapinya? Aku gelisah kembali. Sepertinya aku salah tingkah lagi.

“Dari mana saja kamu seminggu ini?” tanyanya.

“Di rumah saja,” jawabku tertawa kecil.

“Ayo main lagi!” ajaknya sambil memberikan bola sepak. Aneh padahal dia itu perempuan tapi menyukai sepak bola.

Aku mengikuti tawarannya, kami bermain bola bersama, tapi di tengah permainan, Rey mendorongku. Kami berdua bertengkar. Dia memang sedikit keras kepala. Ini kesalahannya kenapa jadi aku yang kena? Aku mengerti dia lebih kuat fisiknya dibanding aku yang sangat lembek. Aku tidak bisa melawannya.

“Hei Rey, minta maaf sekarang ke Valda!” Terdengar teriakan Dera yang mengalihkan perhatian kami.

“Diam saja! Ini urusan laki-laki!” bentak Rey.

“Oh, apa kamu menantangku? Majulah sini!” Dera menantang Rey.

Rey pun beralih dariku dan mulai mengarahkan pandangan amarahnya pada Dera. Dia mulai mengepalkan tangannya. Seakan-akan tangannya siap diluncurkan ke wajah Dera. Dia tidak terlihat takut sedikit pun, padahal di sini aku sudah gemetaran. Apa mungkin aku yang lemah? Padahal Rey dua tahun lebih muda dariku, tapi kenapa aku tidak punya keberanian untuk melawannya? Aku akui, aku memang lembek, di sekolah aku pernah menangis saat lupa mengerjakan PR, lupa membawa buku, dan terlambat masuk kelas. Menyebalkan, begitu cengeng.

“Rei! Cepat minta maaf ke Valda!” bentak Dera. Pertikaian antara Rey dan Dera masih berlanjut.

“Apa urusanmu? Jangan ikut campur!” balas Rey.

Rey yang kesal, segera berlari ke arah Dera dan meluncurkan pukulannya. Dengan gesit, Dera menendang kaki Rey hingga terjatuh, sebelum Rey mengenai wajahnya. Aku tidak menyangka dia mampu melakukan itu. Jika aku berada di posisinya mungkin wajahku sudah bonyok kena pukulan.

“Cepat minta maaf!” ucap Dera.

“Uh, menyebalkan!” Rey bangkit dan berjalan ke arahku.

“Val, aku minta maaf telah mendorongmu,” ucap Rey.

“I … iya, tidak apa-apa,” balasku.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Y. Kasanova

Y. Kasanova

Baru mampir

2025-08-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!