Patah hati membawa Russel menemukan jati dirinya di tubuh militer negri. Alih-alih dapat mengobati luka hati dengan menumpahkan rasa cintanya pada setiap jengkal tanah bumi pertiwi, ia justru diresahkan oleh 'Jenggala', misinya dari atasan.
Jenggala, sosok cantik, kuat namun keras kepala. Sifat yang ia dapatkan dari sang ayah. Siapa sangka dibalik sikap frontalnya, Jenggala menyimpan banyak rahasia layaknya rimba nusantara yang membuat Russel menaruh perhatian khusus untuknya di luar tugas atasan.
~~~~
"Lautan kusebrangi, Jenggala (hutan) kan kujelajahi..."
Gala langsung menyilangkan kedua tangannya di dada, "dasar tentara kurang aj ar!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima belas~ Luka yang ia dekap sendiri
Ia mungkin lelah. Sehingga setelah memutuskan untuk memejamkan mata yang rasanya baru saja itu, Gala merasa tak ingat apapun lagi.
Bahkan ketika kesadaran mulai menarik dirinya kembali, ia yang sudah tak lagi mendengar bising deru mesin pesawat, memaksa dirinya untuk duduk tegak.
"Sorry...sorry.." Gala merasa harus meminta maaf, sambil menggaruk kepalanya dan menyadari posisi yang----aduh! Kenapa pula harus tidur di pundak Russel, membuat lelaki ini merasa berada di atas angin, ia bahkan mengusap wajahnya.
"Ngga apa-apa," Ia menyodorkan sejenak botol mineral berisi minum berharap air mineral dapat menetralkan kembali kewarasan. Mungkin Gala akan menjulukinya duta air mineral sekarang, karena perkenalan keduanya itu diawali oleh air mineral hingga di detik terakhir, yaitu saat ini.
Russel bahkan sudah terlihat melepas seatbelt di badannya. Yap! Mereka sudah menjejak di tanah ibukota lagi sekarang. Tanah yang sempat ia tinggalkan dengan penuh kemarahan dan kesedihan kemarin.
Gala meneguk air minum dari Russel, tak lagi menolak seperti sebelum-sebelumnya. Sepertinya ia memang membutuhkan itu untuk menyiram jiwa yang sempat tercecer di jalan.
Sementara tangan-tangan Russel sudah melepas seatbelt dari badan Gala. Act of service yang baik untuk ukuran seorang---yang hanya ditugaskan menjemput saja.
Mereka sudah landing, beberapa menit yang lalu namun Russel enggan untuk membangunkan Gala, memilih menunggunya, yang untungnya tak lama.
"Ini kita udah landing dari tadi?"
"Baru aja."
"Welcome homeee!!" seru Russel merentangkan kedua tangannya. Keduanya masih berusaha berjalan menuju pintu keluar pesawat.
"Apa harus saya sambut pakai marching band?"
Gala dapat tersenyum sekarang, meski tipis....benar-benar tipis, setipis tisu dibagi 3, ia menggeleng.
Berbeda dengan saat memasuki kabin pesawat, kini Gala harus mengernyit saat menemukan sinar mentari begitu berusaha keras membuat para makhluk di bumi mengernyit silau, padahal ia melirik jika waktu masih menunjukan pukul 7 pagi lebih beberapa menit.
Langkah sepatu sneaker nya disamai oleh langkah sepatu delta milik Russel, "siap bertemu papa?" tanya Russel memasang tampang tengil penuh riang seperti biasa.
"Engga." Gelengnya namun tetap berjalan, "mau saya pegang ngga tangannya?"
Gala hampir mendaratkan kembali tasnya pada Russel namun kemudian perwira muda itu menghindar lebih dulu, "maksudnya biar ngerasa punya teman. Takutnya ngga berani nanti disana..." jelasnya sedikit berteriak sebab jarak yang diambil.
Melihat Russel yang menjauh dan takut begitu tak sengaja dapat membuat Gala tersenyum dan terkekeh, dan arghhhh! Russel dapat merasakan rasa hangat yang menjalari sekujur badannya. Ataukah itu efek dari sinar mentari pagi ini?
Memasuki komando naungan, dimana kantor papa Irianto berada sekaligus asrama dan unit Russel berada, Gala sempat terdiam sejenak setelah melewati gerbang. Wajah manis yang tadi sempat menghiasi kembali berubah kaku dan dingin.
"Are you oke?" tanya Russel diangguki Gala.
Sesekali Russel bertegur sapa dengan rekan, senior dan juniornya.
"Bang!"
"Bro..."
"Sek...sek...bawa bawa cah ayu to, lur?" goda temannya. Russel hanya terkekeh, "anak ndan Irianto, mau?"
"Wah, siap salah!" ia bergegas berlari sambil tertawa.
Bunyi suara lantang dan gerak latihan tempur tak membuat Gala merasa harus penasaran ataupun berteriak histeris, sebab ia sudah terbiasa.
"Aku temani, sampai disana...soalnya mesti laporan juga."
"Iya."
Detak langkah keduanya semakin terasa mendebarkan untuk Gala, dengan segenap emosi yang mulai naik perlahan.
Disana, tidak harus sampai masuk ke kantor papa...sebab, dari jaraknya memandang, Gala dan Russel melihat seorang perwira menengah sedang berjalan dengan dua orang lain petinggi disana, ada kolonel Regan dan letkol Dilar.
Russel menghormat sejenak ketika jarak mereka semakin mendekat dengan kedua orang petinggi itu yang menepuk pundaknya, "Sel." Angguknya.
"Lapor ndan, letnan satu Teuku Agrarussel sudah menyelesaikan tugas, membawa nona Kahiyang Jenggala kembali ke makko."
"Terimakasih. Kamu bisa istirahat letnan, dan kembali bertugas seperti biasanya."
Sempat Gala menoleh pada pria di sampingnya yang masih memasang tampang serius tanpa cela tengil sedikitpun.
Teuku Agrarussel, Gala mendelik. Dan pria itu membiarkannya memanggil dengan nama menggelikan itu.
Russel menurunkan hormatnya dan mengangguk, namun belum ia berbalik kanan, Gala yang sudah tak sabar benar-benar memuntahkan isi hatinya disana, tak peduli jika Russel masih ada.
"Papa kirim bawahan buat jemput Gala kesini, untuk apa?! Untuk papa atur semaunya seperti boneka, untuk papa sakiti hatinya berkali-kali, untuk melihat ke breng sekan papanya? Atau untuk melihat mama di bodohi sekian lamanya?" sorot mata benci itu, begitu menusuk.
Russel terdiam setelah berbalik kanan mendengar itu.
"Papa mau Gala balik, apa papa pikir Gala bakal diam seperti sebelumnya? Papa cari liang kubur sendiri dengan memaksa dan mencampuri kehidupan aku. Mari kita duduk bersama, menyaksikan apa kiranya yang bakal mama lakukan jika Gala bongkar semuanya..." kini senyum smirk itu hadir dari hati yang menyimpan luka sekian lamanya.
"Apakah papa sadar, papa sudah menciptakan seorang anak yang mungkin akan membuat mamanya bu nuh diri."
Papa Irianto terlihat memandang Gala dengan penuh harapan agar Gala mau ia ajak bicara kali ini, setelah sekian lama putrinya itu berlari menghindar darinya,"Jenggala..dengar...kita bicarakan ini di rumah."
Gala justru tertawa sumbang, ia telah menjatuhkan tasnya, "Ayo! Lalu kita dengar esok hari, kabar berita kediaman seorang mayor yang luluh lantak karena keluarganya hancur dan kacau. Ayo kita dengar kabar berita seorang mayor yang dipecat secara tidak hormat dari kesatuan dan ditinggalkan anak istri." Jedanya menelan lelehan air mata yang siap menganak sungai.
"Atau ayo...kita dengar kabar berita tentang hancurnya keluarga akibat seorang ayah seorang perwira yang memiliki sikap breng sek! Biar makko ini ramai, dan semua dibuat tak memiliki muka..." Gala bahkan sudah berbalik dan mendahului langkah Russel yang baru saja menjauh.
"Gala..." susul papa.
"Kahiyang Jenggala, dengar..."
Sepasang netra lelah yang semalam hanya bisa terlelap sekian puluh menit saja itu menatap sepasang ayah dan anak yang silih berkejaran.
Russel melirik pundaknya, dimana dalam perjalanan tadi Gala bersandar tertidur hingga dengkuran halus terdengar meski tertutupi suara deru mesin pesawat. Ia mendengar semuanya, mendengar setiap frasa dan kata yang keluar dari mulut Gala barusan.
Apa yang telah dilakukan atasannya itu sehingga sangat menyakiti anak dan istrinya, mengkhianati putri yang sepertinya sangat ia sayangi itu. Membuat Gala menjadi sosok yang seperti sekarang ini.
Russel melihat ke arah tas yang ditinggalkan Gala di belakang, dan memungutnya. Niat hati hendak memberikannya pada Gala, namun apa yang terjadi....
"Gala benci papa...sangat---sangat benci." Tangis itu pecah tak tertahan dan hampir menjadi tontonan perwira jika saja atasannya itu tak segera meraih Gala masuk ke dalam ruangan terdekat.
"Papa adalah se tan yang nampak di mata Gala. Gala kecewa." Tak ada perlawanan atau pembelaan sedikitpun dari atasannya itu yang justru terdengar bergetar menenangkan Gala.
"Maaf."
"Papa tak tau beban yang Gala dekap sendirian selama ini. Bahkan itu hampir membu nuh aku, pa...Papa mematahkan perasaan aku. Dulu aku selalu bangga punya papa seperti papa seorang perwira militer yang menjunjung tinggi martabat dan sumpah setia, bahkan aku selalu punya mimpi memiliki pasangan seperti papa..." Gala memandang lurus entah kemana arahnya, namun hal itu justru mampu membuatnya berurai airmata meski tanpa isakan berarti.
"Tapi nyatanya papa ngga lebih dari seorang badji ngan, penge cut, yang bersembunyi di balik kematian tante Rara dan calon anak papa sendiri..." ia tidak meraung-raung, namun jelas tubuh yang merosot itu bukti jika Gala benar-benar memiliki luka itu sendirian sekian lama.
Russel yang masih menenteng tas Gala di tangannya hanya bisa terdiam melihat itu. Berusaha untuk tak melihat atau peduli, namun ketidaksengajaan memaksanya menyaksikan dan mendengar.
.
.
.
.
.
.
.
.
bukan ajijah
lanjut
sebel😐 gini aja baru sadar klo jadi duri dlm pernikahan
sabar ya mah mengikhlaskan semua itu memang sulit tp dituntut harus kuat jg buat anak"