Beberapa orang terkesan kejam, hanya karena tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata-kata mengalir begitu saja tanpa mengenal perasaan, entah akan menjadi melati yang mewangi atau belati yang membuat luka abadi.
Akibat dari lidah yang tak bertulang itulah, kehidupan seorang gadis berubah. Setidaknya hanya di sekolah, di luar rumah, karena di hatinya, dia masih memiliki sosok untuk 'pulang' dan berkeluh kesah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulbin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Pelukan ternyaman
Sesampai di rumah, Rahmat meminta Nayna duduk di hadapannya. Belum ada yang sempat tukar pakaian, pun dengan wajah yang masih penuh keringat.
Dengan suara tegas, Rahmat mulai membuka suara.
"Nayna! apa yang kamu lakukan di sana? Maksud kamu apa! Ayah kan udah bilang, kamu di rumah aja. Kenapa ke sana? Terus, apa yang kamu katakan ke Pak Bram?"
Wajah Rahmat terlihat tegang, sorot matanya berubah tajam dengan kobar menyala -tak lagi teduh seperti biasa. Tangannya gemetar, sementara helaan napasnya terdengar dalam keheningan.
Nayna masih bergeming dengan wajah tertunduk. Dia merasa bersalah, namun di sisi lain, dia juga merasa jika ini bukan kesalahan.
"Nay, Ayah ngomong sama kamu. Bukan sama tembok. Ayah nggak pernah ngajarin kamu berlaku nggak sopan seperti tadi," imbuh Rahmat, tatapannya tak lepas dari puncak kepala Nayna yang masih di posisi semula.
Siti tak berani membuka suara, saat suaminya menasehati anak. Begitu sebaliknya. Mereka sudah sepakat untuk tidak membela anak yang bersalah, terlebih dalam situasi seperti ini. Meski di belakang layar, mereka tetap akan berdebat lagi karena tak tega anaknya ditegur dengan suara keras.
Rahmat menurunkan suara dan kembali mengulang pertanyaan yang belum terjawab.
"Nak, tolong jawab pertanyaan Ayah. Ayah nggak marah ke kamu, asal kamu jelaskan semuanya."
Laki-laki itu beringsut mendekati sang anak, lalu mengangkat wajah di hadapannya.
"Udah ya, jangan nangis. Maafin Ayah udah bentak kamu. Ayah kaget aja, waktu kamu ada di sana. Apalagi pas kamu ngomong kaya gitu, terus bisik-bisik sama Pak tua itu. Kan Ayah cemburu." Rahmat melirik putrinya dengan bibir mengerucut. Membuat wajahnya terlihat lucu di mata Nayna. Gadis itu tersenyum, lalu menyeka air mata di pipinya.
"Maaf ya Yah, maaf Ibu. Aku ke sana nggak ngomong. Alasan aku ya kaya tadi itu, aku ngerasa mereka akan bikin masalah. Apalagi, keluarga Om Sigit kan terkenal angkuh. Aku keinget waktu ketemu Tante Fitri di mall. Dari pada terus kepikiran di rumah, ya udah aku nyusul aja. Bener kan, mereka bikin ulah." Nayna menjelaskan dengan wajah jengkel yang tak bisa dibendungnya.
"Terus, apa yang kamu omongin ke Pak tua itu?" Kali ini, Siti ikut bertanya karena penasaran.
Nayna terdiam, ada rasa segan yang tiba-tiba hadir. Namun, dia tak mungkin berbohong pada kedua orang yang telah merawatnya setulus hati.
Nayna mengatakan apa yang telah dia bisikkan pada pria tua itu. Dia tahu, pasti ayah dan ibunya akan bereaksi sama.
"Dari mana kamu tahu soal itu?" ucap keduanya hampir bersamaan, sedangkan Nayna menatap mereka bergantian.
Nah, kan. Bener.
Gadis itu menghela napas, lalu menjelaskan asal mula dia tahu semuanya.
*
"Fitri emang keterlaluan, Yah," gerutu Siti sepulang menjemput anaknya sekolah.
"Kenapa, Bu? Dia pamer lagi?" Rahmat menghentikan aktivitas membersihkan sepeda onthel kebanggaannya. Dia menoleh pada istrinya yang berdiri dengan tas di tangan kanan, bergambar kucing biru yang gendut dan menggemaskan.
"Anaknya ke mana? Kok Ibu yang bawa tas?" Rahmat mengeryitkan kening, lalu tertawa saat istrinya memberi kode dengan lirikan ke arah halaman. Di sana, seorang anak perempuan dengan rambut dikepang dua, tengah mengobrol dengan temannya di depan sebuah ayunan pohon.
"Eh, tadi Fitri kenapa, Bu?" ulang Rahmat dengan rasa penasaran yang tinggi. Dia tahu, istrinya tak mungkin berkomentar jika tidak benar-benar mengganggu hatinya.
Kemudian, Siti menjelaskan kejadian di sekolah. Dia bersama ibu-ibu yang lain, berkerumun menantikan sang buah hati keluar dari gerbang sekolah. Di saat yang sama, dia melihat Fitri yang datang dengan riasan tebal. Dia terus memainkan ponsel tanpa menghiraukan satu dua orang yang mengajaknya berbicara.
Setelah menunggu beberapa saat, anak-anak pun keluar. Mereka berlarian dengan suka cita. Terlebih saat melihat orang tuanya yang berdiri menunggu di depan gerbang.
Seorang gadis berlari, dengan tas yang terlihat kebesaran di punggungnya yang mungil. Dia melambai ke arah Siti, lalu melepas beban di punggungnya dan menyerahkan pada sang ibu. Keduanya bersiap pergi, namun mata cilik itu menangkap seseorang yang dia kenali.
"Bu, Ibu. Itu Tante Fitri, ke sana yuk, Bu. Nay udah lama nggak main sama Dio. Ayo, Bu. Ke sana," rengek Nayna kecil dengan kedua tangan menarik ujung baju ibunya. Siti yang sebenarnya enggan bertemu sang ipar, harus mengalah demi anak.
"Hai, Dio. Main ke rumahku, yuk. Ayah bikin ayunan. Kamu boleh pinjem kok." Nayna tersenyum dan mengucapkan terima kasih, kala Dio memberinya permen.
Saat anaknya bersiap membuka suara, Fitri lebih dulu memotong dengan nada ketus.
"Nggak usah! Nanti Mama belikan ayunan yang bagus, nggak kotor juga. Hei bocah, pulang aja sana. Nggak usah ngajakin Dio ke gubuk reotmu. Sana, sana, pergi!"
Fitri menarik tangan Dio dan berlalu bersama motor matic-nya yang terlihat masih baru.
Nayna kecil hanya berdiri kaku, dengan tatapan tak lepas dari ibu dan anak yang semakin menjauh. Siti berlutut, membelai kepala putrinya dengan lembut.
"Kita pulang ya, nanti biar kamu main sama Disa atau yang lain. Ibu juga udah masakin sayur bayam, sesuai permintaan Tuan putri tadi pagi."
Nayna ikut tersenyum kala menatap lengkung indah di wajah sang ibu. Dia mengangguk lalu duduk di bagian belakang sepeda, memeluk tubuh wanita hebatnya yang hangat.
**
Nayna kembali sendiri di dalam kamar. Duduk di depan jendela, menatap gemerlap bintang yang perlahan tertutup awan hitam.
Gadis itu sibuk dengan isi pikirannya sendiri, berbagai pertanyaan muncul tanpa bisa dia jawab saat itu juga.
Lengannya terulur, meraih bingkai kayu dengan gambar seorang gadis cilik dengan rambut dikepang dua. Dia tertawa di pelukan sang ayah. Sementara di sampingnya, seorang wanita tersenyum ke arah kamera.
Kalian yang telah berjasa di kehidupanku, aku nggak mungkin biarin siapa pun nyakitin hati kalian berdua, termasuk mereka, manusia-manusia keji yang nggak punya hati.
Nayna terkesiap, kala pintu kamarnya diketuk dan terdengar suara ayah yang memanggil.
"Ada apa, Yah? Kirain udah tidur." Nayna tersenyum, lalu membukakan pintu saat ayahnya meminta ijin masuk.
Rahmat menarik kursi belajar, sementara anaknya memilih bersila di tepi tempat tidur. Gadis itu kembali menanyakan maksud kedatangan sang ayah.
Laki-laki itu menatap putrinya lekat, lalu meraih kedua tangan Nayna yang terkulai di atas pangkuan.
"Nak, maafin Ayah sama Ibu. Selama ini kami menutupi itu semua karena kami benar-benar menyayangimu. Ayah, Ibu, tak mau kamu kepikiran lalu pergi meninggalkan kami. Tolong, maafkan orang tua ini, Nak. Ayah Ibu sudah melupakan itu, dan selalu menganggap kamu adalah anak kandung kami. Maaf, karena akhirnya kamu tahu kenyataan ini dari orang lain, Sayang. Kamu tetap anak Ayah, dulu, sekarang dan selamanya. Ayah percaya, kamu adalah gadis dewasa yang tangguh, dan tentunya tak mudah gentar menghadapi alur kehidupan ini. Ayah sayang kamu, Nak." Rahmat bangkit dan memeluk putrinya yang menahan tangis. Dalam dekapan hangat itulah, Nayna melepaskan rasa yang tertahan dalam dada.
Di ambang pintu, Siti menyeka pipinya yang basah. Tatapannya tak lepas dari pemandangan di dalam sana, seorang anak perempuan yang meluapkan beban hatinya di pelukan sang ayah.
"Ibu juga sayang kalian," gumamnya tanpa beranjak.
***