sesekali kamu harus sadar kalau cowok cool, ganteng dan keren itu membosankan. lupakan kriteria "sempurnah" karena mereka tidak nyata.
hal - hal yang harus diketahui dari sosok pian :
1. mungkin, sedikit, agak, nggak akan pernah ganteng, cool, apalagi keren. bukan berarti dia jelek
2. nggak pintar bukan berarti dia bodoh
3. aneh dan gila itu setara
4. mengaku sebagai cucu, cucu, cucunya kahlil gibran
5. mengaku sebagai supir neil armstrong
6. mengaku sebagai muridnya imam hanafi
7. menyukai teh dengan 1/2 sendok gula. takut kemanisan, karena manisnya sudah ada di pika
8. menyukai cuaca panas, tidak suka kedinginan, karena takut khilaf akan memeluk pika
9. menyukai dunia teater dan panggung sandiwara. tapi serius dengan perasaannya terhadap pika
10. menyukai pika
ada 4 hal yang pika benci didunia ini :
1. tinggal di kota tertua
2. bertemu pian
3. mengenal sosok pian, dan....
4. kehilangan pian
kata orang cinta itu buta, dan aku udah jadi orang yang buta karena nggak pernah menghargai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fchrvlr0zak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PIAN TIDAK PINTAR
Pika dan Dayat membawa tumpukan buku PR ke ruangan Guru. Mereka melihat Bu Osnita-guru matematika yang terkenal paling cerewet di sekolah-sedang menangis tersedu-sedu.
"Pasti ini kerjaan kelas Pian! Mereka itu memang bandel, dan suka bikin guruguru pada nangis. Habis diapain lagi kamu sama mereka, Os?" tanya Bu Lia, guru olahraga, dengan nada galak seperti biasa.
"Kelasnya Bu Ratih itu..." Pak Wandi menyebut nama wali kelas Pian, "kalau anggota geng The Brandals nggak ada, kelasnya jadi tentram dan tenang. Kemarin saya habis nangkap anak-anak bandel itu pada merokok di gudang belakang sekolah!" lanjut Pak Wandi kemudian.
"Iya Pak. Pak Satpam juga pernah ngadu ke saya kalau mereka sering merokok di gudang sekolah. Harus diberi pelajaran mereka! Di kawasan sekolah kan, nggak boleh merokok." Bu Neti, Guru IPS ikut berbicara.
"Sakit hatiku Bu, mereka nggak bisa dibilangin. Kalau dikasih tau, atau dibawelin, semuanya malah makin berulah. Apalagi si Pian." Bu Osnita masih terisak saat menceritakan kisah pilu-nya.
"Tuh, ulah pacar kamu Pik. Coba bayangkan aja, guru secerewet Bu OS bisa dibuat nangis sama mereka." Di jarak yang cukup jauh dari tempat guruguru berkumpul, Dayat berbisik sambil menyikut lengan Pika.
"Ih, Pian bukan pacar gue!" Pika mendengus kesal.
"Haduhhhh, kacau-kacau!!!!" mendadak Bu Ratih, masuk ke dalam ruangan guru dengan wajah kusut. Bu Ratih menghempaskan tubuhnya di atas kursi.
"Kenapa Bu?" tanya Bu Neti penasaran.
"Si Pian dan rombongan ketahuan nyontek waktu ulangan tadi. Pada niat nempelin kertas contekannya di tapak sepatu." Bu Ratih menjawab.
Semua guru tertawa. "Ada-ada saja ya mereka, terus ulangan mereka gimana? Itu tuh, mereka berempat setiap ulangan sama saya pasti nilainya anjlok terus."
"Nah, ini nih. Sama saya juga. Kadang saya mikir, memangnya mereka nggak pernah belajar, nggak pernah ngerti apa yang kita ajarkan di kelas, atau kita-nya saja yang nggak bisa ngajar?"
"Hm..." Pak Wandi mendesah lelah. "Kalau bukan karena kita kasihan sama murid sendiri, mungkin mereka berempat itu udah nggak naik kelas. Kemarin, waktu razia ponsel, Pian malah berani menyembunyikan handphone-nya di celana dalam. Isi handphone-nya ternyata bokep semua. Pada nggak benar anak jaman sekarang, Bu!"
"Masa Pian nonton yang kayak begituan? Bisa juga dia ternyata..."
"Kemarin wakil kepala sekolah mau mengadakan rapat buat Pian dan teman-temannya itu. Kalau nilai mereka nggak bagus juga, bisa-bisa mereka tidak naik kelas. Atau kalau masin bandel juga, mau dikeluarin dari sekolah. Lagian skor hukuman mereka juga udah parah, ibu-ibu." Pak Wandi kembali menjelaskan membuat Pika terdiam di tempat.
Bahkan Pika sudah tidak fokus lagi saat menyusun buku-buku yang berantakan di meja wali kelasnya sendiri.
Entah mengapa jantung Pika berdegup, rasa hati benar-benar tak keruan.
Kalau misalnya Pian dikeluarin dari sekolah, apa mungkin Pika merasa kehilangan sama seperti waktu Pian pergi beberapa hari ke Palembang? Atau Pika malah justru senang bukan kepalang.
"Bu, saya dan teman-teman jangan di keluarin dari sekolah dong." Mendadak suara Pian muncul.
Semua menoleh ke arah sumber suara.
"Sekolah itu kan, tempat untuk menuntut ilmu. Tugas guru-guru di dalamnya adalah mendidik para murid. Kalau misalnya kami belum baik, terus ajarkan kami sampai menjadi baik. Kalau misalnya nilai kami belum bagus, terus ajarkan kami sampai menjadi juara kelas," lanjut Pian kemudian. Lalu dia berlari menghampiri meja Bu Osnita. "Maafin saya dan teman-teman ya, Bu. Kami salah. Kami udah bikin Ibu sampai nangis. Ini buat Ibu.." Pian memberikan sebotol susu kepada Bu Osnita.
Wanita itu mengernyit bingung.
"Anak bayi kalau nangis terus dikasih susu langsung diam, jadi Bu Os juga saya kasih susu. Hehehe."
Bu Osnita tidak jadi menangis, ia justru mendengus sebal. Sedangkan yang lain tertawa, terkecuali Pak Wandi.
"Benar-benar kelakuan kamu kurang asam, Pian!" Pak Wandi menepuk pundak Pian pelan.
Pian membalas. "Jangan sama-samain kelakuan saya dengan ketiak dong Pak. Ntar sama-sama asam."
"Heh, Pian.... Sini kamu. Coba lihat nilai ulangan kamu dan teman-teman kamu minggu lalu. Tidak pernah ada peningkatan." Bu Ratih memanggilnya. Pian sama sekali tidak terkejut dengan nilainya sendiri. "Bukan kami yang salah, tapi Ibu tuh yang salah. Kenapa nilainya nggak diturunin aja."
Bu Ratih melipat tangan di dada, mernggertak giginya kesal. "Sebentar lagi kalian itu sudah mau naik ke kelas tiga, Pian. Kamu mau tinggal kelas? Kalian mau nggak lulus sekolah? Mau pindah-pindah sekolah Cuma karena kasus kalian yang bejibun ini? Apa nggak sayang...."
"Sayang kok." Pian menjawab. Matanya melirik ke arah Pika yang berdiri agak jauh dari pandangannya, namun diam-diam memperhatikannya. "Tapi sayangnya, Agen Pika nggak sayang Pian."
Mendadak Pika tersentak kaget. Semburat di wajahnya muncul begitu saja, semua guru yang ada di sana menoleh ke arah Pika. Cewek itu langsung pura-pura sibuk dengan pekerjaannya.
Bu Ratih memukul pundak Pian dengan penggaris panjang yang berada di atas mejanya. "Kalau jawab yang benar. Ini demi masa depan kamu juga, Pian. Apa perlu saya manggil orangtua kamu untuk datang ke sekolah ini?"
"Yah, jangan Bu.... " buru-buru Pian memprotes keras.
Bu Ratih mendengus. "Heran saya sama kamu, Pian. Setiap kali orangtuamu saya panggil ke sekolah, kamu malah bawa Umi-nya Sandi.
Memangnya orangtua kamu kemana? Kenapa nggak pernah muncul di hadapan saya?" Pian tidak menjawab. Dia hanya mampu mengeles.
"Saya janji akan rajin belajar, Bu. Saya janji. Tapi...."
"Tapi apa?"
Pian mengeluarkan jurus senyuman maut yang tidak bikin Bu Ratih terpesona. Lalu dia menarik kursi di hadapan Bu Ratih dan duduk di sana.
Mencondongkan badannya ke depan, mengajak Bu Ratih berbicara serius.
Selesai mengeluarkan pendapatnya di ruangan guru. Pian kembali menghampiri teman-temannya di gudang belakang.
Baru sampai di depan pintu, Pian sudah mendengar suara desahan-desahan aneh yang bikin telinga Pian semakin lebar.
"Bangsat!" Pian berteriak lantaran kaget.
Sandi, Henrik dan Tristan langsung berdiri dari duduknya secara bersamaan. Mereka ikut terkejut sampai-sampai nyaris menjatuhkan tumpukan kursi-kursi lapuk yang ada di sekitar mereka.
"Nonton bokep kalian yaaaaa..." Pian sengaja mengencangkan volume suaranya. Menunjuk ke arah ponsel Sandi yang ditegakkan di atas meja, di sandarkan ke meja lainnya.
"Eh diam, Yan. Sialan. Jangan kencang-kencang." Henrik menutup mulut Pian.
"Oton okep...hmmmmp." Teriakan Pian jadi teredam. Kemudian dia menginjak sepatu Henrik hingga dekapan cowok itu terlepas. "Waah, parah kalian. Parah! Kalau guru-guru sampai tau, bisa celaka. Kalau Pak Sahdan tau hal ini..." Pian berkacak pinggang, geleng-geleng kepala. Sungguh dramatis. "Kalian bisa kena rukkiyah tujuh hari tujuh malam." Lalu cowok itu menengadahkan tangan. "Astaghfirullah, maafkan dosa-dosa teman hamba ini."
"Jangan sok suci hoi!" Sandi melemparnya dengan gumpalan kertas.
"Kalian pikir, kalian itu hebat nonton film yang kayak beginian, ha?" wajah Pian kesal. Pura-pura marah. "Maksudnya, kalau nonton itu ngajak-ngajak. Gimana sih!" Pian langsung mengambil kursi dan duduk paling depan. "Eh Tris, tutup pintu gudang buruan."
***