Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Langit malam itu tampak biasa saja. Tapi di dalam kamar kecil mereka, dunia Nina mendadak berubah.
Nina terbangun dari tidurnya dengan tubuh penuh keringat. Napasnya memburu, matanya berkaca-kaca. Tubuhnya gemetar. Tangannya memegang perut dengan panik.
Devan yang tidur di sampingnya segera bangun ketika mendengar suara isak pelan istrinya.
“Nin? Kenapa? Sakit?” tanya Devan panik sambil duduk dan menyentuh pundaknya.
Nina menggeleng sambil memeluk perutnya erat. “Aku... aku mimpi, Van... mimpi buruk.”
“Mimpi apa? Hei, lihat aku...” Devan memegang wajah Nina, menyapunya dengan jemarinya yang hangat. “Kamu aman sekarang. Ceritain, ya?”
Nina berusaha menenangkan dirinya, tapi suaranya masih bergetar. “Aku mimpi... aku jatuh dari tangga, dan... dan bayi kita... hilang.”
Devan membeku. Ia merasakan ketakutan itu merambat masuk ke dalam dadanya.
Tapi ia tahu, saat ini bukan waktunya ikut panik.
Devan menarik Nina ke dalam pelukannya. Dipeluknya istrinya erat-erat, seolah ingin menyerap semua rasa takut itu. Tubuh Nina masih sedikit gemetar, dan Devan mencium ubun-ubunnya.
“Nggak akan terjadi, Nin. Aku jaga kamu, aku jaga anak kita. Kamu nggak sendirian.”
Nina mengangguk kecil di dalam pelukannya. “Tapi mimpi itu terasa nyata banget, Van. Aku... aku belum siap kalau terjadi sesuatu.”
“Dengerin aku,” bisik Devan. “Aku juga takut, tapi kita udah sejauh ini. Kita kuat karena kita berdua. Kalau kamu jatuh, aku jadi tempat kamu bersandar.”
Ia menarik wajah Nina, menatapnya dalam-dalam.
“Kita bakal jadi orang tua yang baik, Nin. Mungkin nggak sempurna, tapi kita bakal coba terus. Nggak akan ada yang hilang dari kita… asal kita saling jaga.”
Setelah Nina sedikit tenang, Devan turun ke dapur dan membuat teh hangat. Saat kembali, Nina sudah duduk bersandar di kepala ranjang, selimut membungkus tubuhnya.
“Tehnya nggak sehebat bikinan kamu sih, tapi ini hangat,” kata Devan sambil menyerahkan cangkir.
Nina menerimanya. “Terima kasih, Van.”
“Kalau bisa, aku mau masuk ke mimpimu dan gebukin tangga itu,” canda Devan, mencoba meringankan suasana.
Nina tersenyum kecil. “Kalau bisa, aku juga mau kamu selalu ada di mimpiku. Biar aku nggak takut.”
“Berarti kita tidur bareng terus ya. Mau kamu mimpi di siang bolong pun, aku ikut.”
Nina memandangi perutnya yang mulai membuncit.
“Kadang aku merasa... aku belum cukup dewasa untuk ini, Van. Belum siap jadi ibu. Aku bahkan masih takut lihat jarum suntik.”
Devan meraih tangan Nina dan mengusapnya.
“Aku juga belum siap jadi ayah. Tapi ternyata cinta itu ngajarin kita banyak hal. Sejak kamu hamil, aku belajar bedain susu UHT dan susu hamil. Aku bisa bedain tisu wajah dan tisu dapur sekarang. Hebat kan?”
Nina terkekeh. “Kamu belajar karena sering salah ambil waktu belanja.”
“Dan kamu marah, terus aku nyesel. Tapi dari situ aku belajar. Nanti kalau anak kita tanya, ‘Ayah, apa gunanya salah?’ aku akan jawab: ‘Supaya kamu bisa ngerti kenapa ibu kamu marah.’”
Nina tiba-tiba bertanya, “Kamu udah kepikiran nama untuk anak kita?”
Devan terdiam sejenak. “Kalau perempuan... aku mau kasih nama yang artinya ‘cahaya’. Karena kamu dan dia cahaya hidupku.”
Nina tersenyum pelan, matanya mulai berkaca-kaca lagi—kali ini bukan karena takut, tapi terharu.
“Kalau laki-laki?”
“Yang artinya ‘pelindung’. Karena dia harus belajar dari ayahnya... gimana caranya menjaga seseorang yang dia cintai.”
Nina menarik napas panjang. “Semoga dia punya hati kayak kamu, Van.”
“Dan semoga dia punya keberanian dan tawa kamu, Nin.”
Jam dinding menunjukkan pukul 03.17 pagi. Tapi bagi mereka, malam belum selesai.
Devan memeluk Nina dari arah belakang, tangannya menyentuh lembut perut istrinya.
“Anak kita tidur nyenyak nggak, ya?” gumam Nina.
“Kalau dia bisa denger suara kita sekarang, pasti dia tahu… dia anak yang paling dicintai sedunia.”
Nina mengangguk pelan. “Aku seneng banget punya kamu, Van. Dulu aku takut pernikahan kita karena ‘terpaksa’. Tapi ternyata... kamu rumah terbaik buat aku.”
Devan mengecup pelan leher Nina. “Kalau kamu bahagia, aku tenang. Kalau kamu sedih, aku hancur. Jangan pernah ngerasa sendiri, Nin. Karena bahkan di mimpi terburukmu… aku tetap ada.”
Matahari mulai mengintip dari balik tirai jendela. Nina baru saja tertidur dengan senyum tipis, sementara Devan masih terjaga, mengamati wajah istrinya.
Ia membuka buku catatan harian mereka dan menulis:
Malam ini kamu ketakutan, Nin. Tapi kamu tetap kuat. Kamu tetap wanita paling berani yang aku kenal. Kita mungkin belum sempurna, tapi kita punya satu sama lain. Dan cinta kita... cukup. Selalu cukup.
Lalu ia menyelipkan satu kalimat lagi, di halaman paling belakang:
Untuk anakku kelak, kalau kamu baca ini… ketahuilah, kamu lahir dari cinta yang begitu dalam. Dari dua orang yang saling jatuh cinta setiap hari, bahkan di malam-malam yang penuh air mata.
*
Hari itu hujan turun sejak subuh. Rinai lembut mengetuk kaca jendela kamar mereka, menambah rasa nyaman di pagi yang dingin dan damai. Nina masih menggeliat di balik selimut, sementara Devan sudah duduk bersandar di kepala ranjang, membaca sesuatu dari ponselnya. Tangannya tanpa sadar mengelus rambut Nina yang mengintip dari balik selimut.
“Sayang, bangun… udah pagi,” bisiknya lembut, tak ingin mengejutkan Nina.
Nina meringkuk makin dalam. “Masih dingin, lima menit lagi…”
“Lima menit kamu bisa ketinggalan nasi goreng cinta buatan aku, lho,” ujar Devan sambil tertawa pelan.
Nina langsung membuka selimut, matanya masih sipit tapi bibirnya membentuk senyum lebar. “Nasi goreng cinta? Serius?”
Devan berdiri, lalu memamerkan apron pink bertuliskan “Chef Ganteng” yang dia beli diam-diam minggu lalu. “Chef Devan siap beraksi!”
Nina tergelak. “Ampun, kocak banget, Mas.”
Di dapur, kekacauan pun terjadi. Wajan sempat hampir gosong karena Devan terlalu asyik menari-nari mengikuti lagu dari playlist-nya. Nina yang baru selesai mencuci muka mendapati dapur seperti kapal pecah.
“Aku tinggal sebentar aja, dapurnya udah kayak habis perang.”
“Ini semua demi cinta, Nona Nina,” jawab Devan sok puitis. “Karena cinta itu butuh pengorbanan... termasuk mengorbankan wajan.”
Mereka pun makan nasi goreng yang—secara mengejutkan—cukup enak, walaupun agak asin karena Devan salah menuang kecap asin dua kali.
“Hmm... ini... asin, tapi penuh cinta,” kata Nina sambil tertawa geli.
Devan tersenyum puas. “Berarti misi Chef Ganteng sukses!”
Sore itu, hujan masih turun, lebih deras dari pagi. Nina duduk di balkon dengan secangkir kopi susu, mengenakan hoodie Devan yang kedodoran. Devan menyusul sambil membawa dua potong roti panggang isi keju.
“Kamu keliatan nyaman banget pake baju aku,” katanya, duduk di samping Nina.
Nina memiringkan kepala. “Karena baunya kamu, hangat.”
Devan menatap wajah Nina yang memerah, entah karena malu atau dingin. Dia menyentuh tangan Nina, menggenggamnya erat.
“Kamu tahu,” ucap Devan perlahan. “Dulu waktu kita cuma sahabatan, aku pernah berdoa suatu hari bisa duduk kayak gini sama kamu. Di tempat yang kita sebut rumah.”
Nina memalingkan wajah, air matanya menetes perlahan. “Kamu lucu banget, Mas.”
“Lucu tapi tulus,” Devan mencubit hidungnya.
Di malam harinya, suasana berubah sedikit menegangkan—tapi lucu juga. Mereka main truth or dare karena listrik sempat padam. Devan kalah, dan Nina dengan senyum licik menyuruhnya berdiri di balkon dan teriak, “Aku cinta istriku!”
“Yang kenceng ya, Mas. Tetangga harus denger!” seru Nina sambil merekam pakai ponselnya.
“Ya ampun, Nina… ini dosa besar buat cowok cuek kayak aku.”
“Cepet, atau kamu cuci piring seminggu!”
Devan pun berdiri, lalu berteriak dengan gaya dramatis ala film India, “AKUUU CINTAAA ISTRIKU!”
Terdengar suara tawa tetangga dari rumah sebelah. Nina tertawa sampai terbatuk-batuk. Devan kembali ke kamar dengan wajah memerah.
“Aku nggak nyangka kamu sejahil itu,” ucap Devan sambil mengacak rambut Nina.
“Kan kamu sendiri yang bilang aku lucu pas marah.”
Malam itu mereka tidur sambil berpegangan tangan. Tak ada kata-kata rumit. Hanya keheningan, dan detak jantung yang menyatu di bawah selimut yang sama.
Esok paginya, Nina terbangun lebih dulu. Dia melihat Devan tidur pulas, wajahnya damai, dan satu tangannya masih menggenggam tangan Nina. Sesuatu meledak lembut di dadanya—rasa hangat, tenang, dan entah sejak kapan, perasaan yang dulu dianggapnya mustahil kini menjadi kenyataan.
Dia mengecup dahi Deva pelan.
“Terima kasih ya, Mas, sudah jadi rumah buat aku.”
Devan menggeliat dan membuka mata. “Kamu ngomong apa tadi?”
“Nggak. Nggak ngomong apa-apa,” jawab Nina cepat-cepat.
Devan menarik Nina kembali ke pelukannya. “Nggak usah malu. Aku juga sayang kamu, Nona Nina.”
Mereka pun tenggelam dalam pelukan pagi itu, dengan matahari yang mulai mengintip dari balik awan, membawa harapan baru bagi cinta mereka yang sederhana… tapi nyata.