Menikah Dengan Sahabat
Nina duduk di balik jendela kamar, menatap hujan yang turun sangat deras. Setiap tetesan yang jatuh dari langit terasa seperti pukulan keras yang menghantam jiwanya, seolah dunia ini ikut merasakannya. Di luar, kota Jakarta yang biasanya ramai kini terasa hening, hanya suara hujan yang terdengar, meresap dalam kesendiriannya.
Bukan hanya hujan yang membuatnya merasa beku. Ada sesuatu hal yang lebih dalam—sesuatu yang menghancurkan dinding pertahanannya. Ia baru saja mengetahui kenyataan yang membuatnya terjatuh dalam jurang ketidakpastian– Arvin, tunangannya, pria yang telah ia cintai sejak bertahun-tahun, ternyata berselingkuh. Dengan sahabatnya sendiri, seorang perempuan yang tak pernah ia duga.
Nina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, mencoba menahan tangis yang seakan tak mau berhenti. Hatinya terasa terkoyak, dunia terasa berbalik. Di usia yang sudah matang, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa pria yang seharusnya menjadi pendamping hidupnya, mengkhianatinya begitu saja.
"Kenapa harus seperti ini?" Ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
"Arvin brengsek!!! Arvin bajingan!!! Tiara setan!" Maki Nina sambil memukul-mukul bantal guling yang ada di dalam pelukannya, seolah bantal itu dua orang yang sudah mengkhianatinya itu.
"Kalian setan!!! Aku benci kalian berdua!!!" Teriak Nina lagi, sungguh hatinya campur aduk, rasa kecewa terlalu mendalam di dalam dirinya.
Tok Tok Tok
Pintu kamarnya diketuk perlahan, dan suara lembut itu langsung dikenalnya.
“Nina, ini gue, Devan.”
Nina menghapus air matanya perlahan, meskipun perasaan sakit hati itu tak bisa ditahan. Tapi dia tahu, sahabatnya itu akan selalu datang untuknya. Devan, pria yang sudah ada sejak ia masih kecil. Dan Devan pria yang selalu menemaninya di saat senang dan susah, yang selalu ada untuk menenangkan hatinya yang rapuh. Devan, yang selalu menjadi pelabuhan bagi jiwa yang lelah.
Nina tidak menjawab, namun pintu kamar itu terbuka dengan perlahan. Devan masuk tanpa kata-kata, ia berjalan dan langsung duduk di sebelah Nina.
Keheningan menguasai ruangan kamar itu, hanya terdengar suara hujan yang semakin deras. Devan tau, saat-saat seperti ini, kata-kata bukanlah solusi. Nina membutuhkan waktu. Waktu untuk merasakan segala rasa sakit, dan waktu untuk menerima kenyataan pahit itu.
“Nina...” suara Devan terdengar lembut, namun penuh kekuatan. “Gue di sini.” Katanya dengan nada lembut penuh perhatian.
Nina menoleh, dan untuk pertama kalinya, ia melihat Devan tidak hanya sebagai sahabat, tapi sebagai sosok yang mungkin lebih dari itu. Matanya yang biasa teduh, kini tampak penuh perhatian, bahkan sedikit cemas. Devan selalu begitu, tak pernah terputus memberikan perhatian tanpa diminta. Ia tak pernah lelah menjadi pendengar yang setia, meskipun terkadang, Nina tahu, hatinya juga penuh dengan kepedihan yang tak ia ungkapkan.
“Gue nggak tahu harus gimana, Van...” Nina bergumam, suaranya serak. “Gue... gue merasa hancur. Semua ini... karena Arvin, dia... dia berselingkuh. Dan gue... gue nggak akan bisa terima kenyataan ini.” Kata Nina sambil menangis, air matanya mengucur dengan deras saat mengingat kejadian pahit yang menimpanya itu.
"Arvin bajingan!!! Tiara kutu kupret!! Rasanya kalau gue ketemu mereka, gue mau hajar tuh dua orang!!!" Kata Nina menggebu-gebu.
Devan meraih tangan Nina, lalu menggenggam tangan itu dengan lembut. Tanpa mengatakan apapun, ia hanya membiarkan Nina menangis. Di saat seperti ini, kadang kebersamaan adalah obat terbaik. Dan Devan tau, ia adalah satu-satunya yang bisa menemani Nina melewati malam yang kelam ini.
Setelah beberapa menit, saat tangisan Nina mulai mereda, Devan menghela napas panjang. “Lo nggak sendiri, Na. Lo nggak pernah sendiri. Gue di sini. Gue tahu ini sulit. Tapi lo harus bangkit. Jangan biarkan orang-orang yang nggak menghargai lo mengendalikan hidup lo.”
Nina mendongak, menatap sahabatnya itu, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan yang berbeda dari Devan. Seperti ada yang tak terucap di antara mereka, sesuatu yang sudah lama terpendam, tapi tak pernah dibiarkan berkembang.
Devan menarik napas dalam-dalam. “Gue nggak bisa ngelihat lo hancur seperti ini. Dan gue tahu, lo nggak akan bisa melewati ini sendirian. Lo nggak harus memulai semuanya lagi dari awal. Gue ada di sini. Dan Gue nggak akan pernah kemana-mana.”
Nina menatapnya bingung. “Apa maksud elo?”
Devan diam sejenak. Suasana menjadi hening lagi. Ia merasakan perasaan yang selama ini ia pendam untuk Nina. Selama ini, ia hanya bisa berada di sampingnya sebagai sahabat, tapi kini, setelah melihat betapa hancurnya Nina, dan ia tidak bisa hanya duduk diam.
“Na... Gue tau ini terdengar gila, dan gue nggak pernah berniat mengganggu hati elo. Tapi gue hanya ingin elo tahu, kalau gue selalu ada untuk lo. Dan gue siap melakukan apa pun agar elo nggak jatuh terlalu dalam. Kalau elo butuh, gue akan menggantikan Arvin dan nikah sama elo.”
Deg
Nina terlonjak terkejut, tubuhnya seakan membeku mendengar kata-kata itu. “Apa?” suaranya keluar terbata-bata, mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan oleh Devan.
"Elo nggak bercanda kan?" Nina terkekeh kecil."
Devan menggelengkan kepalanya. "Gue tahu ini bukan jawaban yang lo harapkan. Gue nggak ingin mengambil tempat Arvin. Tapi Gue nggak bisa lihat lo dihancurkan lebih lanjut. Menikah, Na, bukan karena cinta, tapi karena gue ingin melindungi elo dan keluarga elo. Kita berdua tahu betapa beratnya lo menghadapi semua orang nanti dan mungkin dunia, yang tak mengerti. Jika pernikahan ini bisa memberi ketenangan untuk elo, gue siap.”
Nina menatap Devan dengan perasaan campur aduk. “Tapi... kita sahabat, Van. Bagaimana mungkin...”
Devan mengangkat tangan Nina, memegangnya erat. “Gue tahu kita sahabat. Dan mungkin, ini bukan jalan yang sempurna. Tapi setidaknya, ini jalan yang bisa kita ambil bersama-sama. Gue nggak ingin elo merasa sendirian. Jika menikah dengan lo bisa memberikan sedikit ketenangan, maka gue akan melakukannya.”
Nina terdiam, merasakan begitu banyak emosi yang datang sekaligus. Ia bukan hanya kehilangan tunangannya, tetapi kini, sahabatnya menawarkan pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Persahabatan mereka, yang selama ini menjadi tempat aman, kini terasa seperti ujian besar. Mungkin inilah yang disebut takdir, dan mungkin inilah jalan yang Tuhan pilih untuk mereka.
“Gue nggak tahu, Van...” Nina akhirnya berbicara, suaranya pelan. “Gue masih bingung. Gue masih terluka.”
Devan menghela nafasnya kasar. “Gue tahu, Na. Tapi gue akan sabar. Gue di sini untuk elo. Tidak ada paksaan.”
"Tapi elo harus ingat, Arvin sama Tiara bakalan senang kalau mereka tau elo hancur dan sepatah ini"
Nina terdiam, meresapi apa yang baru saja Devan katakan. Kata-kata itu memang benar adanya.
Malam itu, Devan tetap di sisi Nina. Mereka berdua hanya duduk diam, mendengarkan hujan yang terus jatuh, dan dalam diam itu, Nina tahu, hidupnya akan segera berubah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
2025-06-25
1