Alan Andrew adalah generasi kesepuluh pria dari keluarga Andrew, pewaris tahta kejayaan dalam bisnis otomotif kelas dunia. Ia sempurna di mata banyak wanita; tampan, cerdas, kaya, dan berwibawa. Sosok yang merupakan definisi dari pria idaman. Namun, di balik pesonanya, Alan menyimpan hasrat yang bertolak belakang dengan nilai-nilai ketimuran: ia mencintai tanpa komitmen, menganggap hubungan tak harus diikat dengan pernikahan. Baginya, wanita hanyalah pelengkap sementara dalam hidup, bisa datang dan pergi sesuka hati.
Namun segalanya berubah ketika ia bertemu Maya Puspita, gadis manis dari Jawa Tengah yang datang dari keluarga sederhana namun menjunjung tinggi moral dan etika. Takdir menempatkan Maya bekerja di perusahaan Alan.
Alan sudah menjadikan Maya sebagai ‘koleksi’ berikutnya. Tapi tanpa ia sadari, Maya menjeratnya dalam dilema yang tak pernah ia bayangkan. Sebab kali ini, Alan bukan sekedar bermain rasa. Ia terjebak dalam badai yang diciptakannya sendiri.
Akankah Maya mampu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarah Mai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HTA17
Wajah Shela melengos.
"Cuih… Munafik kamu, May. Tubuh murahan aja sok-sokan enggak biasa pakai baju ketat segala," gumam Shela lirih, mengejek.
Selama bekerja di RVC, Alan selalu membatasi pakaian Maya. Rok di atas lutut atau kemeja tipis dan ketat hanya boleh dipakai di rumah untuk dirinya saja, bukan di kantor. Maya masih terbiasa dengan batasan-batasan itu.
"Kamu mau kerja enggak, sih?" desak Shela, nada suaranya mulai kesal. "Di Jakarta, baju kayak gini tuh biasa, May. Enggak lebay sama sekali. Lagian, kamu kerja di kantor fashion, bukan otomotif!"
Maya diam. Hatinya mulai goyah, tapi ia tetap menjaga sikap.
"Terserah kamu deh!" Shela menghembuskan napas keras. Tak ingin mengecewakan Shela yang telah banyak membantunya, Maya akhirnya mengangguk pelan. Ia mencoba menyingkirkan kegelisahan yang menggantung di hatinya, karena salah satu sifat baik Maya, ia tetap menghargai orang yang berbuat baik kepadanya.
Belum sempat Maya benar-benar siap, Shela menggandeng tangannya dan membawanya pergi ke salon.
"Aku bisa make-up sendiri, Shel," ucap Maya lirih.
Tapi Shela tak peduli.
"Mbak! Paket glowing paling lengkap buat temen saya ini!" serunya pada admin salon.
"Kami punya promo spesial tujuh juta: full treatment mulai dari lulur, creambath, facial, pedicure, manicure, sampai make-over," jelas si admin.
"Pas! Lanjut aja!" Shela langsung memberikan kartu debitnya, lalu duduk di ruang tunggu.
"Shela, kamu berlebihan deh..." Maya masih tampak ragu.
"Tenang, May. Aku yang bayar. Kamu tinggal cantik dan siap kerja. Mau lulus seleksi atau enggak?" potong Shela tegas.
Maya hanya mengangguk, setengah percaya, setengah bingung. Di sudut hatinya, mulai tumbuh perasaan berutang terlalu banyak pada Shela.
Tak lama kemudian, seorang staf datang menyodorkan pakaian dan sepatu khusus treatment. Maya masih terlihat canggung, tapi ia menuruti.
Sementara itu, Shela tersenyum sinis dari ruang tunggu.
"Yang benar aja... Gimana bisa dia melayani si Om kalau tampilannya masih lusuh dan bau terasi kampung kayak gitu," gumamnya pelan sambil terkekeh.
"Modal sepuluh juta dari DP seratus juta buat bikin Maya tampil maksimal? Masih Worth it lah ya!"
Lalu Shela berdiri lagi dan menghampiri bagian administrasi.
"Mbak, saya juga mau dong! Ambil paket termahal," ucap Shela penuh percaya diri.
"Mucikari juga harus tampil maksimal dong," gumamnya kekeh, merasa bangga dengan aksi kejinya.
"Siap, Nona," jawab si admin cepat.
Shela tersenyum puas. Rencananya berjalan rapi, sesuai skenario.
Dua jam kemudian.
Alan tampak maksimal, tampan, rapi, wangi, dan necis di ruang interview PT Victory. Ia berkali-kali mencium aroma napasnya, memastikan tidak ada bau rokok tersisa yang bisa membuat Maya ilfeel. Wajahnya penuh percaya diri.
Namun satu jam berlalu, Maya tak kunjung datang.
"Mengapa ia belum datang juga?" Alan mulai jenuh, gelisah, bertanya pada Jacob.
Jacob segera memerintahkan tim HRD memastikan kehadiran Maya.
Di tempat lain, Maya sedang berada di tahap akhir perawatan: make-over wajah.
Ponselnya berdering terus. Tapi ia hanya mengetik cepat sebuah pesan dan mengirimnya.
> Kepada Yth. Tim HRD,
Mohon maaf, saya Maya Puspita memutuskan membatalkan interview karena alasan pribadi.
Tak lama kemudian, Maya keluar dari ruang perawatan. Penampilannya memukau, berubah total. Cantik paripurna.
"Wah! Ini baru kece, May!" puji Shela takjub. Para staf salon ikut terpana.
"Gue yakin, dengan tampang begini enggak mungkin ditolak!" Shela menarik tangan Maya. Seperti mucikari yang tak sabar mengantar dagangannya ke pelanggan.
Maya duduk diam begitu polos di mobil. Tak tahu ke mana sebenarnya Shela akan membawanya.
"Prak!"
Tiba-tiba gelas tergelincir dari tangan Maryam, ibu Maya, saat hendak menyeduh teh.
"Astaghfirullah..." ucapnya pelan, jantungnya berdebar hebat.
"Ada apa, Buk?" Roy keluar dari kamar, melihat pecahan kaca berserakan. Ia segera membantu ibunya duduk tenang lalu mengambil sapu.
"Mbakmu sudah hubungi lagi belum?" tanya Maryam pelan.
"Belum, Buk. Mungkin lagi sibuk. Hari ini jadwal interview, kita doakan saja Mbak diterima kerja," jawab Roy sambil menyapu hati-hati.
"Tapi kenapa firasat ibuk enggak enak ya, Roy..."
"Mungkin ibu kecapekan. Istirahat, ya. Biar Roy yang buatin teh buat Bapak."
Maryam mencoba menenangkan diri.
"Semoga dia tetap dalam lindungan Allah... kasihan Mbak mu." Maryam menghela nafas berat penuh harap.
"Amin," jawab Roy cepat.
"Ibu shalat Dhuha dulu ya, baru istirahat," ucap Maryam perlahan menuju kamar mandi.
Sementara itu, tim HRD kembali menelpon Maya, tapi lagi-lagi tak digubris.
Mereka menyerah dan meneruskan pesan pembatalan itu kepada Jacob.
Jacob melangkah cepat ke ruangan Alan, wajahnya menunjukkan kegelisahan.
"Pak, Maya Puspita membatalkan interview hari ini." Ia menyerahkan ponsel yang menampilkan pesan singkat dari Maya.
Alan mengernyit, matanya terpaku pada layar. Ada yang tidak beres.
"Masalah pribadi?" gumam Alan pelan, otaknya berpikir seperti sedang mencoba menyusun potongan puzzle yang belum lengkap.
"Menurut tim HRD, semalam Maya sudah menyatakan seratus persen kesiapannya untuk melakukan interview. Dia bahkan, semalam telah meninggalkan Jawa Tengah menuju Jakarta."
Alan bangkit dari duduknya. Firasatnya mengatakan ini lebih dari sekadar pembatalan biasa.
"Lacak keberadaan Maya sekarang juga!" perintahnya tegas.
"Siap, Pak!" Jacob langsung bergerak, menghubungi tim cyber dan para bodyguard untuk memulai pencarian. Untungnya, Maya masih menggunakan nomor ponsel lamanya, meski perangkatnya baru, sehingga pelacakan pun tak butuh waktu lama.
Sementara itu, di dalam mobil, Maya dan Shela masih terlibat percakapan ringan yang tak sepenuhnya polos.
"Serius loe, May? Enggak pakai guna-guna buat narik hati Alan?" tanya Shela setengah bercanda, setengah menyelidik. "Gue pernah denger, dulu ada artis yang cukup terkenal ditolak mentah-mentah sama Alan."
Maya tertawa kecil, tetapi sorot matanya meredup. "Aku ini cuma mainan buat Alan, Shel. Nggak ada apa-apanya."
Shela tertawa keras. "Iya sih! Kalau Alan sampai serius sama loe, bisa runtuh langit dan bumi... hahaha!"
Tapi Maya hanya tersenyum. Ada ketulusan yang tulus meski ia tahu dirinya hanya bayangan di hidup Alan.
"Jujur aja ya... aku tuh malah dukung kamu sama Alan. Kalian cocok kok, sama-sama dari kalangan atas," ucap Maya tulus, tapi membuat Shela merasa seakan berada di angkasa.
Shela mendongakkan dagu, tersenyum puas. "Terus... gimana caramu bisa bikin Alan nempel sama loe?"
"Caranya gampang. Jangan tunjukkan rasa suka dulu. Ajak ngobrol kayak teman. Walau enggak nyambung, sambung-sambung in aja," jawab Maya ringan, diikuti tawa kecilnya yang manis.
Shela mengangguk serius, menyimpan strategi itu dalam benaknya. Dalam hati, niatnya bulat: setelah Maya disingkirkan, ia akan mencoba merebut kembali perhatian Alan.
"Terus... loe juga masak buat dia?" tanya Shela penasaran.
Maya mengangguk. "Iya, aku masakin."
Shela mendecak. "Ih, ngapain sih repot-repot? Ada koki juga!"
"Biar Alan senang. Dia udah kerja keras seharian. Kalau disambut dengan masakan hangat, mungkin dia merasa dihargai."
Shela hanya melirik sinis. Kalimat itu justru terdengar alay di telinganya.
Tak lama, Shela menginjak pedal rem pelan.
"Nah, kita sudah sampai!" serunya sambil memarkir mobil di depan sebuah hotel mewah. Senyumnya mengembang. Rencananya mulai bergerak pasti.
kalau Maya nanti benar2 pergi dari Alan,bisa jadi gila Alan.
begitu pengorbanan seorang kakak selesai maka selesai juga pernikahannya dengan alan
emang uang segalanya tapi bukan begitu juga