NovelToon NovelToon
Reinkarnasi Jadi Bebek

Reinkarnasi Jadi Bebek

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Sistem / Perperangan / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: yuyuka manawari

Siapa sangka, kematian konyol karena mesin penjual minuman bisa menjadi awal petualangan terbesar dalam hidup… atau tepatnya, setelah hidup.

Ketika bangun, ia bukan lagi manusia, melainkan seekor bebek rawa level 1 yang lemah, basah, dan jadi incaran santapan semua makhluk di sekitarnya.

Namun, dunia ini bukan dunia biasa. Ada sistem, evolusi, guild, perang antarspesies, bahkan campur tangan Dewa RNG yang senang mengacak nasib semua makhluk.

Dengan kecerdikan, sedikit keberuntungan, dan banyak teriakan kwek yang tidak selalu berguna, ia membentuk Guild Featherstorm dan mulai menantang hukum alam, serta hukum para dewa.

Dari seekor bebek yang hanya ingin bertahan hidup, ia perlahan menjadi penguasa rawa, memimpin pasukan unggas, dan… mungkin saja, ancaman terbesar bagi seluruh dunia.

Karena kadang, yang paling berbahaya bukan naga, bukan iblis… tapi bebek yang punya dendam..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yuyuka manawari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 10: "Aku tidak berguna."

Pagi hari ketujuh di rawa ini, biasanya aku bangun sendirian, menatap langit yang masih kelabu sambil mencoba memahami apa lagi yang sistem inginkan dariku.

Namun hari ini berbeda. Di sekelilingku, sudah ada tiga bebek lain yang tidur berjejer. Mereka bukan sekadar bebek biasa, mereka adalah anggota guild pertamaku.

Sistem menamai kelompok ini Guild Featherstorm, tapi rasanya masih aneh menyebutnya seperti itu.

Tiga bebek itu kini menjadi sesuatu yang harus kuingat setiap kali aku membuka mata.

Bebek putih bernama Poci, bebek coklat bernama Titi, dan bebek hitam bernama Zaza.

Mereka bukanlah bebek liar sembarangan. Dari cerita singkat yang kudapat semalam, mereka bertiga sudah terkurung di rawa ini selama sebulan penuh.

Aku tidak tahu apakah aku benar-benar orang yang tepat, tapi sejak mereka bergabung denganku, sistem seakan menegaskan kalau guild ini resmi terbentuk.

Poci biasanya menjadi penengah setiap kali terjadi pertengkaran. Dari wajahnya saja sudah terlihat, sorot matanya lebih tenang dibandingkan dua lainnya. Ia jarang bicara keras, tapi setiap kata-katanya seringkali membuat dua temannya berhenti ribut.

Titi berbeda lagi. Ia cenderung mengikuti arus. Kalau ada yang makan, dia ikut makan. Kalau ada yang berlari, dia ikut berlari. Kadang menyebalkan karena tidak punya pendirian, tapi sekaligus menyenangkan karena tidak pernah terlalu serius.

Zaza, bebek hitam, adalah kebalikannya. Ia cepat marah, cepat curiga, dan tidak segan menegur dengan suara lantang. Entah karena memang tidak menyukaiku, atau memang kepribadiannya yang seperti itu. Yang jelas, setiap kali aku membuka mulut, ia sering menanggapiku dengan nada sinis.

Sistem memberikan penjelasan padaku tadi pagi, katanya…

[Pasukan yang tergabung dalam Guild Anda akan memperoleh 20% dari total atribut dasar Anda.]

[Persentase ini dapat berubah sesuai dengan Level Guild dan kondisi peningkatan yang telah dicapai.]

Gitu katanya.

Intinya, semakin kuat aku, semakin kuat juga mereka. Itu berarti aku tidak bisa lagi hanya memikirkan diriku sendiri.

Sebelum aku sempat melanjutkan analisis, suara ribut terdengar di sebelah.

“Titi! Kau ini sepertinya harus diberi pelajaran ya?!” teriak Zaza dengan nada kesal.

Aku menoleh. Benar saja, Zaza berdiri dengan sayap mengepak, menatap Titi yang sedang mengunyah sesuatu.

“Kenapa lagi?” Titi menjawab sambil tetap mengunyah, suaranya agak belepotan karena makanan memenuhi paruhnya.

“Itu makananku! Kenapa kau malah memakannya juga?!” Zaza semakin mendekat, matanya tajam.

“Bukan aku yang mengambilnya, Poci yang mengambilnya.” Titi menunjuk ke arah Poci, padahal Poci sedang tidak ada di sekitar.

Aku bisa langsung tahu kalau Titi berbohong.

“Daritadi Poci pergi. Alasanmu tidak masuk akal!” Zaza menegur keras. “Dilihat dari mulutmu saja sudah jelas, kau yang memakannya.”

“Aku tidak tahu, ini makananku,” Titi menjawab cepat, lalu tiba-tiba berlari kecil sambil tetap mengunyah.

Zaza spontan mengejar. Kaki bebek hitam itu berusaha cepat-cepat menyusul, meski gerakannya agak kikuk.

“Kembalikan, sialan!” teriak Zaza, meski jelas makanan itu sudah hampir habis ditelan.

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Seperti biasa, Poci datang dari arah semak. Ia langsung menghentikan langkah keduanya.

“Sudah, sudah. Jangan ribut lagi. Makanan itu memang milik bersama, jadi jangan berebut,” ucap Poci dengan suara yang tenang.

“Tapi dia yang memulai duluan!” Zaza menunjuk Titi dengan sayapnya.

Titi menoleh, masih mengunyah, lalu menjawab dengan santai. “Aku lapar, jadi aku makan. Itu saja.”

Poci menatapku, seolah meminta bantuan. Aku mengangkat bahu. Aku juga tidak tahu harus bagaimana menghadapi mereka.

Sejak pertama kali aku terbangun sebagai seekor bebek, sistem selalu menekankan satu hal: bertahan hidup tujuh hari.

Hari ini adalah hari ketujuh. Angin lembap rawa berhembus pelan, buluku yang masih basah karena berenang terasa dingin menempel di tubuh. Aku menatap permukaan air yang beriak kecil, sambil menunggu apa yang dijanjikan sistem.

Aku akhirnya bertanya dengan nada kesal.

“Hei, sistem. Aku sudah menunggu dari tadi. Mana katanya aku akan berevolusi? Tidak ada tanda-tanda apa pun. Kamu ini scam, ya?”

Kali ini aku tidak berteriak keras seperti biasanya. Di sekitarku ada anggota-anggota pasukan kecilku, dan aku tidak mau mereka bingung mendengar aku ngomong sendiri. Jadi aku berbicara lewat telepati, atau lebih tepatnya berbicara dalam hati.

[Evolusi terjadi ketika Anda berhasil melewati Ujian Evolusi]

Aku mendengus. “Ujian Evolusi? Aku sudah muak mendengar kata ujian. Apa yang harus kulakukan?”

[Mempersiapkan diri]

Aku mendongak. “Apa aku harus mengajak pasukanku juga mulai sekarang?”

[Benar]

Aku menghela napas panjang. “Kalau begitu… berarti aku harus mengatur strategi. Siapa lawanku kali ini?”

[Seorang Petualang]

Aku refleks mengepakkan sayap. “Petualang? Maksudmu manusia? Itu gila! Mereka bisa membunuhku hanya dengan satu pukulan.”

[Tidak ada informasi lebih lanjut]

Aku mendecak. “Serius tidak ada? Hah… seperti biasa, tidak berguna.”

“Pemimpin, ada apa? Kenapa wajahmu seperti itu?” Poci tiba-tiba bertanya Selaku ikut menambahkan dengan nada khawatir. “Daritadi pemimpin melamun lama sekali.”

Aku buru-buru menggeleng. Dalam hati aku mengumpat, “Sial, bicara dengan sistem malah bikin curiga.”

Aku tersenyum tipis dan menjawab.

“Ah, tidak ada. Tadi aku hanya memikirkan strategi.”

“Strategi? Untuk apa?” tanya Poci, bulu lehernya sedikit mengembang.

Zaza, si bebek hitam yang paling agresif, tiba-tiba menyela dengan mata berbinar.

“Untuk berperang!”

Titi yang sedari tadi diam ikut bersemangat. Ia sampai mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.

“Untuk berperang!”

Dan seperti biasa, keduanya langsung saling dorong dengan paruh. Air ciprat ke segala arah saat mereka ribut.

Aku menepuk sayap keras-keras. “70 poin untuk Zaza dan Titi. Benar, kita akan berperang. Kita akan membuat musuh berlutut di hadapan kita.”

Selaku ragu-ragu, matanya melirik kanan-kiri.

“Pemimpin… apa itu tidak terlalu berlebihan?”

Aku menatap lurus ke arahnya. “Tidak. Justru itu lebih baik daripada kita mati tanpa perlawanan.” Aku mencondongkan tubuh sedikit ke depan. “Kalau begitu, aku ingin bertanya tentang keahlian kalian, apa yang bisa kalian lakukan?”

Poci langsung mengangkat dada, bulunya yang putih mengilat terkena pantulan cahaya sore.

“Bulu putihku bisa memantulkan cahaya, pemimpin. Dalam kondisi terang, aku bisa menyilaukan mata musuh.”

Aku mengangguk pelan. “Bagus. Itu bisa jadi pengalih perhatian.”

Titi tampak bersemangat sekali. Ia mengayunkan kepalanya, lalu menghantam tanah dengan keras hingga lumpur terpercik.

“Aku bisa menyundul! Kepalaku kuat seperti batu.” Ia tertawa keras, seolah bangga dengan kemampuannya.

“Lumayan,” kataku sambil menimbang. Aku menoleh pada Zaza. “Kalau kamu?”

Zaza mendengus, matanya menyipit. “Ha? A-aku bisa membunuh.” Paruhnya membentuk senyum kaku, jelas ia sendiri bingung harus menjelaskan seperti apa.

Poci langsung menatapnya tajam. “Jangan berbohong, Zaza. Ini penting untuk masa depan kita.”

Zaza sekarang mendecak. “Aku-aku belum tahu tentang keahlianku.” Ucapnya dengan malu-malu.

“Zaza tidak punya kemampuan, kwek kwek!” seru Titi dengan nada mengejek. Paruhnya terangkat, matanya menyipit penuh kemenangan seolah baru menemukan bahan olok-olokan baru.

Zaza langsung melotot. Sayapnya sedikit terangkat. “Apa kau bilang!” teriaknya, suara meninggi seperti biasa.

Aku buru-buru melangkah ke depan, merentangkan sayap agar mereka tidak semakin ribut.

“Cukup kalian berdua.” Suaraku sengaja ditekan agar terdengar tegas. Mataku beralih ke Zaza yang wajahnya merah padam. “Zaza, tenangkanlah dirimu. Tidak apa-apa jika belum punya kemampuan. Aku akan melatihmu.”

Zaza mendengus panjang, lalu memalingkan wajahnya. “Cih.” Suara ketus itu jelas-jelas menunjukkan kalau dia tidak suka denganku.

“Zaza!” sentak Poci, bulunya ikut mengembang. Nada itu tidak memberi ruang untuk membantah.

Zaza terkejut. Sayapnya yang semula terangkat perlahan turun. Kepala yang tadi mendongak keras kini menunduk dalam. “B-baiklah… aku akan menurut.” Suaranya pelan, hampir seperti bergumam.

Aku bisa melihat bagaimana kakinya sedikit bergeser, seolah ia ingin mundur tetapi memaksa dirinya tetap berdiri di tempat.

Poci mengangguk puas. “Bagus. Kalau begitu, aku dan Titi akan mencari makanan terlebih dahulu. Pemimpin dan Zaza berlatih di sini.”

“Tun–Tunggu…” suaraku keluar refleks. Aku belum sempat merespons lebih jauh.

Tapi Poci tidak memperdulikannya. Ia langsung berjalan ke arah hutan rawa, Titi mengikuti dari belakang dengan wajah penuh semangat, jelas senang karena bisa meninggalkan suasana tegang ini.

Dalam hitungan detik, hanya aku dan Zaza yang tersisa di tempat itu.

Suasana mendadak hening. Angin yang lewat membawa bau amis air rawa. Seekor serangga besar beterbangan rendah, menimbulkan suara berdengung di dekat telinga.

Zaza perlahan mengangkat kepalanya. Tatapannya menusuk, campuran antara rasa enggan, penasaran, dan sedikit tidak percaya diri. Paruhnya terbuka sedikit sebelum ia akhirnya bicara.

“Jadi… bagaimana caramu melatih seekor bebek sepertiku?” Nada suaranya ketus, tetapi di balik itu aku bisa merasakan ada rasa ingin tahu yang dia sembunyikan.

Aku menarik napas panjang. “Coba kupikirkan terlebih dahulu.” Aku menutup mata sebentar, lalu berbicara dalam hati.

“Sistem, tolong perlihatkan statistik Zaza.”

[Pemindaian Unit Bernama Zaza….]

[…Berhasil]

[Statistik Bebek lv 2/ Nama: Zaza]

[Jenis: Bebek Liar Rawa]

STR: 2

AGI: 13

INT: 9

LUCK: 1

[Skill: Berserk Dash, Bersek Peck]

Mataku membelalak begitu deretan angka itu muncul di hadapanku. Jantungku berdegup lebih cepat.

“AGI dia sangat tinggi… apa yang terjadi?” gumamku lirih, hampir tak percaya.

Aku ingat jelas bagaimana sebelumnya Zaza begitu yakin kalau dirinya tidak memiliki kemampuan sama sekali. Namun data di sistem menunjukkan hal sebaliknya.

“Bahkan dia mempunyai Skill. Tadi bukannya dia bilang tidak punya? Apakah dia tidak sadar?” Aku menelan ludah, lalu kembali fokus. “Sistem, tolong perlihatkan keterangannya.”

[Bersek Peck: Setiap kali unit melakukan serangan patukan, ada perluang 25% menghasilkan patukan yang mengabaikan 20% pertahan Target – Cocok digunakan untuk lawan yang menggunakan zirah besi]

[Bersek Dash: Uni melakukan dash berkecepatan tinggi kea rah target dalam radius 5 meter. Gerakan ini sulit dideteksi, meningkatkan peluang critical hit sebesar +30% pada serang berikutnya]

Mataku terkejut membulat melihat keterangan yang diberikan oleh sistem. Aku masih berusaha mencerna arti dari notifikasi itu, tapi gerakanku yang mendadak sepertinya ditangkap berbeda oleh Zaza.

“Kenapa terkejut seperti itu melihatku? Apa aku setidak punya bakat itu?” suaranya meninggi, bernada menuntut.

Aku sempat terdiam sejenak sebelum menarik sudut paruhku, mencoba menenangkan dengan senyum tipis. “Tidak, bukan begitu… ini sungguh menarik.”

Zaza menginjak lumpur di bawah kakinya dengan kasar, cipratan kecil mengenai bulu kakinya sendiri. Matanya bergetar, napasnya memburu.

“Apanya yang menarik?! Hidupku?! Kau mengejekku, ya?!” teriaknya lantang. Namun tak lama kemudian, nada suaranya merosot, kepalanya ikut menunduk.

Bulu di tengkuknya yang semula mengembang kini merapat kembali. Suaranya berikutnya keluar sangat pelan, hampir seperti bisikan yang tertelan angin rawa.

“Hei… pemimpin…” panggilnya lirih. “Keluargaku dulu… dibunuh oleh manusia. Pada saat itu aku sangat marah… benar-benar marah… aku berlari terus-terusan, tanpa arah, tanpa henti. Setiap hari setelahnya… aku hidup hanya dengan bayangan wajah keluargaku. Mereka selalu muncul di kepalaku… menghantui aku bahkan saat tidur.”

Zaza berhenti sejenak. Lehernya bergerak naik turun, menelan ludah. Bulu di sekitar matanya mulai basah, matanya sendiri berkilat seperti menahan air.

“Katanya aku tidak berguna,” lanjutnya dengan suara pecah. “Apa memang begitu? Apa aku hanya sampah yang tidak bisa melakukan apa pun?”

Aku ingin membuka mulut, tapi tubuh Zaza bergetar, menunjukkan ia belum selesai. Aku hanya bisa menatapnya, membiarkannya menumpahkan isi hatinya.

“Sepertinya aku hanya bisa marah. Egois. Tidak pernah bisa menahan diri,” ucapnya lagi, paruhnya gemetar. “Bahkan orang tuaku sendiri… sebelum mereka mati, selalu berkata aku tidak berguna. Mereka bilang aku hanya beban. Mungkin memang begitu…”

Napasnya terputus-putus, lalu ia menunduk lebih dalam. “Maafkan aku, pemimpin. Mungkin aku sedikit kasar kepadamu barusan. Aku tidak bermaksud seperti itu.”

Kakinya yang semula berdiri kaku di atas lumpur kini melemas. Zaza menurunkan tubuhnya perlahan hingga akhirnya duduk di tanah becek itu. Kepalanya menunduk, kedua sayapnya jatuh di sisi tubuhnya, tampak kehilangan tenaga.

“Tolong… aku tidak ingin merugikan orang lain,” katanya dengan nada penuh permohonan. Paruhnya terbuka sedikit, suara itu serak. “Aku hanya ingin berguna… aku ingin ada gunanya bagi orang lain. Jangan biarkan aku hanya jadi beban.”

Aku menarik napas panjang. Pemandangan ini terlalu mirip dengan sesuatu yang pernah kualami. Otakku, meski berusaha menolak, otomatis menarik satu ingatan lama ke permukaan.

Dulu, seorang junior di dunia lamaku… pernah juga menatapku seperti ini. Tatapan yang sama, suara yang sama, tubuh yang bergetar karena tidak percaya pada dirinya sendiri. Waktu itu, aku, yang sok kuat, berdiri di depannya, mencoba menenangkan meski sebenarnya aku pun tidak yakin dengan kata-kataku.

 “Lihat diriku sekarang, Zaza.” Ucapku pelan. Sekarang wajahnya mendongak melihat wajahku. “Kalau kau merasa tidak berguna, itu salah besar. Justru karena kau masih bisa marah, masih bisa berdiri, itu tandanya kau belum kalah.”

Zaza menoleh pelan, matanya berkaca-kaca.

“Aku tidak peduli apa yang dikatakan keluargamu dulu. Yang kulihat sekarang…” aku mendekat sedikit, menatapnya tajam. “…kau punya keberanian. Kau tidak lari, meski hanya punya amarah untuk melawan. Itu sudah lebih dari cukup untuk disebut berguna.”

“Tapi—” suara Zaza tercekat. “Aku takut… takut tetap jadi beban…”

“Zaza!” aku memotongnya dengan suara tegas. “Kalau kau sungguh ingin berubah, maka berhentilah melihat ke belakang. Kau bukan lagi bebek sendirian. Kau ada di Featherstorm. Kau adalah bagian dari keluarga ini.”

Zaza menunduk lagi, kali ini dengan wajah bergetar. “…Keluarga baru…”

Aku menarik napas panjang. “Mulai sekarang, gunakan semua amarahmu, gunakan kekuatanmu. Jangan untuk menghancurkan dirimu, tapi untuk melindungi keluargamu. Itu perintahku sebagai pemimpinmu.”

Aku melanjut. “Sekarang berdirilah, aku akan memberi informasi tentang dirimu, dengarkan baik-baik.”

.

.

.

.

“Apa benar aku bisa begitu?”

“Benar, Cobalah!”

“Baiklah aku akan mencobanya.”

Zaza menunduk sedikit, lalu tiba-tiba tubuhnya melesat ke depan.

Srak!

Tanah di bawah kakinya berhamburan. Aku bahkan hampir tidak bisa mengikuti gerakannya dengan mata telanjang.

“Kwek?! Secepat itu?!”

Zaza muncul kembali tepat di samping batu besar, paruhnya berkilat. Ia menghantam keras.

CRACK!

Permukaan batu retak dihantam oleh serangan tusukan.

“Berserk Dash… lalu langsung dilanjutkan Berserk Peck…” aku melongo, bulu di tengkukku meremang. “Kecepatan itu… nyaris seperti assassin… bahkan aku bisa saja tidak sempat menghindar kalau dia mengincarku.”

Zaza menoleh, napasnya memburu. “Pemimpin, bagaimana… aku… berhasil?”

Aku menatapnya serius. “Berhasil? Itu lebih dari berhasil! Itu serangan last hit. Cepat, tepat, dan kritis. Kalau kau bisa mengendalikan waktu penggunaannya, kau bisa menumbangkan musuh yang lebih besar darimu.”

Zaza menunduk lagi, tapi kali ini dengan senyum samar. “Pemimpin… terima kasih. Aku… aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.”

Namun tepat saat itu, suara dingin sistem menusuk telingaku.

[Peringatan!]

[Petualang Manusia level 22 Terdeteksi]

[Target serangan: Anggota Guild Featherstorm – Titi & Poci]

1
Anyelir
kasihan bebek
Anyelir
wow, itu nanti sebelum di up kakak cek lagi nggak?
yuyuka: sampai 150 Chap masih outline kasar kak, jadi penulisannya belum🤗
total 1 replies
Anyelir
ini terhitung curang kan?
yuyuka: eh makasi udah mampir hehe

aku jawab ya: bukan curang lagi itu mah hahaha
total 1 replies
POELA
🥶🥶
yuyuka
keluarkan emot dingin kalian🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE: 🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶🥶
total 1 replies
yuyuka
🥶🥶🥶🥶
Mencoba bertanya tdk
lagu dark aria langsung berkumandang🥶🥶
yuyuka: jadi solo leveling dong wkwkwkw
total 1 replies
Mencoba bertanya tdk
🥶🥶
FANTASY IS MY LIFE
bro...
Mencoba bertanya tdk
dingin banget atmin🥶
FANTASY IS MY LIFE: sigma bgt🥶
total 1 replies
FANTASY IS MY LIFE
ini kapan upnya dah?
yuyuka: ga crazy up jg gw mah ttp sigma🥶🥶
total 1 replies
Leo
Aku mampir, semangat Thor🔥
yuyuka: makasi uda mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir lagi/Slight/
yuyuka: arigatou udah mampir
total 1 replies
Demon king Hizuzu
mampir
yuyuka: /Tongue/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!