Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peran Sang Malaikat Dingin
Raden. Murid yang di hajar Bagas itu, ternyata Raden. Zee tak mengenalnya, tapi ia tak tahan melihat perundungan-itu cukup jadi alasan. Bersama Viola, Zee membawa Raden ke ruang UKS.
Zee menggeleng tak habis pikir. Mengapa tidak satu pun murid menghentikan kejadian itu? Bahkan guru pun tak tampak berniat membantu.
"Vio," ucap Zee, dingin tapi jelas, "kenapa gak ada yang berani menghentikan aksi tadi? Kepala sekolah dan guru-guru juga ke mana?"
Viola menghela napas sebelum menjawab. "Raden sama kayak aku, Zee. Anak beasiswa."
Zee memejamkan mata. Lagi-lagi, perundungan karena status. Ini harus sampai ke Daddy.
"Zee, lo keren banget bisa ngalahin Bagas. Gue kagum!" ujar Viola dengan nada semangat.
Zee hanya membalas dengan anggukan kecil.
"Baru kamu yang bisa bikin Bagas sampai kayak tadi," lanjut Viola. "Dulu pernah ada satu murid yang nekat lawan dia, tapi... dia dihajar sampai koma tiga hari."
Zee menoleh, tatapannya tajam. "Dia punya kuasa di sekolah ini?"
Viola mengangguk pelan. "Iya. Ayahnya salah satu donatur terbesar sekolah ini."
Zee mengepalkan tangan. Semakin jelas, ini bukan sekadar pembully-an biasa. Ini penyalahgunaan kuasa.
Ceklek.
Pintu UKS terbuka. Seorang wanita paruh baya yang dikenal sebagai dokter Monika keluar sambil tersenyum ramah.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Viola mewakili.
"Syukurlah, dia baik-baik saja. Hanya luka ringan. Sudah saya beri obat, dalam dua-tiga hari seharusnya membaik," jawab dokter Monika.
Zee hanya menatap dokter itu dengan ekspresi sulit ditebak.
"Saya permisi. Kalau ada apa-apa, tinggal hubungi saya, ya," ucap dokter Monika sebelum pergi.
Begitu dokter pergi, Viola mengajak masuk." Yuk."
Zee dan Viola masuk ke ruang UKS. Di sana, Raden terlihat bersandar di ranjang, beberapa luka masih terlihat di wajahnya.
Saat pintu terbuka, Raden langsung menoleh. Ia melihat dua gadis: satu tersenyum ramah, satu lagi bertampang dingin.
"Bagaimana keadaan lo?" tanya Viola duluan, dengan senyum ramah di wajahnya.
Raden tersenyum kecil, walau wajahnya masih sedikit pucat. "Keadaan gue udah mendingan," jawabnya, lalu menatap ke arah Zee. "Thanks ya, lo udah bantuin gue."
Zee hanya mengangguk, ekspresinya tetap datar.
Viola menyenggol lengan Zee pelan. "Dia emang gini, Rad," kata Viola sambil tertawa kecil. "Dingin, tapi hatinya gak sedingin itu."
Raden ikut tertawa kecil. "Terima kasih buat kalian berdua. Kebaikan kalian hari ini gak akan gue lupakan."
Zee hanya membalas dengan tatapan singkat dan anggukan kecil.
Viola mengulurkan tangan, memperkenalkan diri. "Gue Viola, teman sekelasnya Zee. Tetangga kamarnya juga."
"Raden," balasnya sambil menjabat tangan Viola.
Tiba-tiba…
Krukk…
Suara perut Raden berbunyi, disusul suara bel tanda masuk pelajaran. Raden menggaruk kepala, malu.
"Lo belum makan?" tanya Zee tanpa basa-basi.
"B-belum," jawab Raden, malu.
"Tunggu gue," ujar Zee, lalu menatap Viola. "Lo duluan ke kelas."
"Terus lo?"
"Gue ke kantin. Gue nyusul nanti."
Viola ragu. "Aku tungguin aja deh, kita bareng—"
"Lo duluan, Vio," potong Zee dengan suara datar tapi tajam.
Viola menelan ludah. "O-oke. Raden, semoga cepat sembuh ya."
"Iya, makasih," jawab Raden.
Zee menatap Raden tajam. "Tunggu di sini." Lalu ia pergi-tanpa menoleh. Di tengah jalan, ia berpisah dengan Viola dan langsung menuju kantin, membeli roti dan air mineral. Syukurlah, jarak dari UKS ke kantin cukup dekat.
Setelah selesai, Zee kembali ke UKS. Namun sebelum tangannya sempat membuka pintu, ia mendengar suara lirih dari dalam.
“Kak... dia ngatain Zia... mana mungkin aku diam...”
Zee memejamkan mata. Jantungnya mencelos. Dunia ketika terasa hening.