“Aku mohon! Tolong lepaskan!”
Seorang wanita muda tengah berbadan dua, memohon kepada para preman yang sedang menyiksa serta melecehkannya.
Dia begitu menyesal melewati jalanan sepi demi mengabari kehamilannya kepada sang suami.
Setelah puas menikmati hingga korban pingsan dengan kondisi mengenaskan, para pria biadab itu pergi meninggalkannya.
Beberapa jam kemudian, betapa terkejutnya mereka ketika kembali ke lokasi dan ingin melanjutkan lagi menikmati tubuh si korban, wanita itu hilang bak ditelan bumi.
Kemana perginya dia?
Benarkah ada yang menolong, lalu siapa sosoknya?
Sebenarnya siapa dan apa motif para preman tersebut...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam : 11
Rahman tak langsung setuju, terlebih dahulu mengedarkan pandangannya ke segala penjuru. Saat melihat tak ada satupun orang berlalu lalang, dan juga kendaraan yang hendak melintas, dia berseru dengan raut acuh tak acuh. “Naiklah!”
“Terima kasih Pak.” Bu Mina naik dan duduk di jok belakang dengan cara menyamping, dalam hati mendengus. Tentu dia paham arti tatapan lapar si Rahman.
Motor itu melaju dengan kecepatan sedang, tapi tak lagi melewati jalanan besar melainkan jalan setapak yang hanya cukup satu kendaraan roda dua saja.
.
.
Pada hutan lebat yang berbatasan dengan perkebunan pohon coklat. Dua sosok wanita tengah berdiri dibalik barisan pohon beringin keramat.
Salah satu dari mereka berpenampilan layaknya laki-laki, rambutnya baru tumbuh sekitar lima cm. Mengenakan kemben milik ibu kandungnya, dan bawahan kain jarik yang dijahit jadi celana panjang.
Sawitri mencoba fokus, mendengar suara apa saja yang ia tangkap. Sementara Kunti, asik menggigit daging ayam mentah persembahan.
“Kunti, jadi disini tempat para manusia serakah itu meletakkan sesaji?” Sawitri memperhatikan akar-akar pohon beringin yang keluar dari dalam tanah, penuh beraneka persembahan. Ada buah-buahan, bunga tujuh rupa, lintingan tembakau, telur ayam kampung, dan ayam jago masih hidup seperti yang tengah dimakan oleh Kunti.
“Setiap malam Jumat Kliwon, ketujuh pohon keramat ini akan penuh oleh sesaji. Sebagian dari para pemberi itu penggila nomor sakti. Lainnya, mereka adalah orang yang melakukan ritual kerjasama dengan penghuni hutan keramat.” Ia lepeh tulang ayam, lalu mengelap mulutnya yang penuh darah kental.
“Apa majikan mu juga melakukan hal yang sama?” Sawitri memandang lekat wajah Kunti yang pipinya terdapat noda merah.
“Kau pikir sesaji siapa ini yang ku makan kalau bukan dari dia?” jawabnya ketus.
“Terkadang aku merasa aneh, kau terlihat kuat, bisa menghilang dan melayang. Mengapa tak dapat membunuh Rahman serta lainnya?”
Kunti menatap aneh Sawitri, tangannya merapikan rambut yang tadi kusut dan terdapat beberapa helai bulu Ayam.
“Kalau saja para hantu korban dari pembunuhan bisa menuntut balas, maka takkan ada namanya tersangka yang mendekam di penjara. Mereka sudah pasti binasa di buru oleh korbannya! Semua ada batasannya, dan jelas baik manusia maupun makhluk ghaib tak bisa melewati garis terbentang itu.”
“Seperti Ni Dasah, dia dapat meraba lebih tepatnya meramal nasibmu. Namun, tak mampu menyelamatkan, karena itu sudah suratan takdir!” jelasnya lagi.
Sawitri mengangguk mulai mengerti.
Tiba-tiba Kunti terlihat lebih fokus, senyum bengis tersungging di bibirnya. “Bandot tua itu sudah memakan umpannya! Tak lama lagi dia sampai sini. Cepat kau bersembunyi!”
Sawitri paham, dia membungkuk mengambil kayu sepanjang lengan, sebesar betisnya, lalu langsung berlari melewati batas antara perkebunan coklat dengan hutan keramat atau yang sering disebut juga hutan pemujaan.
Wanita yang kini terlihat sehat itu, bersembunyi di dalam semak-semak yang terdapat tumbuhan putri malu, matanya menatap tajam pada jalan setapak.
Sampai di mana motor tua berwarna merah mendekati perbatasan hutan.
“Mengapa kita kesini, Pak?” Bu Mina turun dari motor, mulai melangkah mundur, memasang mimik ketakutan.
“Sebentar saja, Mina! Saya tahu bila kau kesepian, ayo kita main sebentar melepaskan hasrat agar pikiran menjadi ringan.” Rahman terlihat tak sabaran, langsung saja menurunkan standar motor.
“Jangan sok suci! Saya mengerti kalau kau pun membutuhkan kehangatan. Bila tidak, mana mungkin mau mencegat ku di tempat sepi tadi!” Tangannya membuka tali celana.
Disaat Rahman tengah menurunkan celana dengan posisi kaki melebar.
Sawitri keluar dari semak-semak, menatap muak tubuh kurus yang membelakanginya itu, langkahnya begitu ringan tidak menimbulkan suara sama sekali.
Bu Mina tersenyum, yang langsung disalah artikan oleh Rahman.
“Kau pasti tergoda kan melihat milikku yang perkasa ini!” Ia elus-elus benda pusaka nya yang belum keluar dari sarang, lidahnya menjilati bibir sambil menatap mesum bu Mina yang menyeringai.
“Selamat datang Pak Rahman.”
Deg.
Bagaikan kepala burung Hantu yang dapat berputar ke belakang, secepat kilat Rahman menoleh. Netranya bergetar hebat, sekujur tubuh mulai menggigil.
“Kau_masih hidup?!” Ia mulai melangkah, tapi anggota tubuhnya tak mau diajak kerja sama, malah celananya melorot sampai mata kaki.
“To_long!” Kakinya terasa berat saat hendak melarikan diri.
Sawitri menyeringai, mengangkat tinggi-tinggi kayunya. “Di masa lalu, mulutmu sangat kurang ajar memfitnah serta memprovokasi para warga, mengatakan kalau Ni Dasah adalah dukun penganut ilmu hitam.”
Netra Rahman nyaris keluar dari rongga nya. “Ni Da _ sah?”
“Sekali-kali cobalah rasakan efek dari mulut jahannam mu itu!”
Bugh!
Argghh!
Uhuk … Cuih.
Bruk.
Rahman tumbang, ia menggelepar mencoba mengesot, darah segar muncrat kala dirinya terbatuk.
Ha ha ha … Sawitri memijak batang leher Rahman, menyeringai puas melihat beberapa gigi pria yang merintih kesakitan itu tanggal, rahang bergeser dikarenakan terlalu kuat dia memukul mulut ayahnya Farida.
Sekali lagi, Sawitri mengayunkan kayunya. Kali ini tepat di benda pusaka Rahman.
Bugh!
Argghh!
Pria tua mesum itu seketika tidak sadarkan diri.
“Ku harap, pusaka mu hancur. Agar tak lagi bisa merusak masa depan gadis lugu!” Sawitri membuang kayunya, mengambil gulungan tali yang diikatkan pada pinggangnya.
Bu Mina melangkah maju, menatap nanar sang putri yang kini nyaris tak ia kenali lagi sifatnya. Namun, sedikitpun dia tak menyesali, Sawitri pantas membalas kekejaman para manusia biadab itu.
“Mamak, tuntun saja kendaraannya ke dalam hutan keramat. Biar Bedebah ini aku yang mengurus!” titahnya tanpa melihat sang ibu, sibuk melingkari ketiak Rahman menggunakan tali terbuat dari serabut pohon aren yang khusus di pintal oleh Ni Dasah.
Bu Mina memungut celana pria tua itu, lalu menuntun motor Rahman, buntalan karungnya pun di bawa serta. Sesekali pandangannya menyapu sekitar, takut ada yang memergoki aksi mereka.
Kunti sendiri menunggu dengan mengayun-ayunkan kakinya, dia duduk di pohon aren yang tumbang. Siapapun yang berada di sekitar area perbatasan hutan dengan tanah penduduk, takkan bisa melihatnya ataupun makhluk lainnya.
Para manusia hanya melihat rimbunnya tumbuhan hijau, barisan pohon beringin, serta cuaca sedikit berkabut yang menambah kesan misterius sekaligus menyeramkan.
Sawitri menarik tubuh lemas Rahman, bibirnya menyanyikan tembang kerinduan pada sosok keluarga yang sudah meninggal dunia, termasuk janinnya.
🎶 Lingsir wengi ~ (Saat menjelang tengah malam)
Sepi durung biso nendro ~ (Sepi tidak bisa tidur)
Kagodho mring wewayang ~ (Tergoda bayanganmu)
Kang ngreridhu ati ~ (Di dalam hatiku)
Kawitane ~ (Permulaannya)
Kunti menyambut Sawitri, membuka telapak tangan, tiba-tiba keluar empat ekor Gareng yang langsung terbang bebas, berbunyi memekakkan gendang telinga.
“Pergilah ke kota! Ikuti Gareng ku, mereka akan memimpin jalan! Memastikan kau aman, Mina.” Kunti mengambil buntalan kantong kain dari dalam kembennya yang berisi uang, memberikannya kepada bu Mina.
Bu Mina menjatuhkan asal motor Rahman, lalu menerima pemberian Kunti. Dia juga mengulurkan karung berisi benda tajam.
“Hati-hati Mak!” Tanpa melihat, tak juga berhenti melangkah, Sawitri bersuara tanpa ekspresi.
Bu Mina mengangguk singkat, tak jua menatap putrinya yang menyeret sosok berdarah pada wajah. Kemudian dia melangkah lain arah, mengikuti hewan peliharaan Kunti.
***
Sosok tidak sadarkan diri itu tergantung dengan posisi terbalik. Kepalanya berada tepat di atas batu besar ber permukaan pipih. Tempat persembahan Ni Dasah, memuja penguasa hutan terlarang.
Mata yang tertutup itu perlahan mulai terbuka. Alangkah terkejutnya dia melihat taburan bunga, cawan tembaga, kemudian mulai menyadari akan posisinya.
Akhh!
"Tolong! Tolong!"
.
.
Bersambung.
ilate di ketok
🥺
wehhh emg ya klo punya pesugihan jelas pasti punya ya kann
wow lawannya juga gk main main menguasai ilmu hitam ... kira kira ketahuan gk ya....