_Simple Komedi horor_
Demian, seorang anak miskin yang mencoba kabur dari bibi dan pamannya malah mendapat kesialan lain. Ya.. ia bertemu dengan seorang pemuda sebayanya yang tidak masuk akal dan gila. Lantas apakah Demian akan baik-baik saja??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Penculikan
Di depan kosan, Alsid memantau dengan wajah masam. Matanya terus melirik ke jalan di depan, menatap sosok yang sejak tadi ia khawatirkan.
Demian keluar sambil tersenyum cerah. Namun yang membuat darahnya mendidih bukanlah senyum itu, melainkan kenyataan bahwa Demian melambaikan tangan penuh semangat… kepada seseorang di dalam mobil.
Kaca mobil itu tertutup rapat, tetapi Alsid tak perlu menebak. Ia tahu pada siapa Demian tersenyum. Kirana. Perempuan yang sudah ia tandai sebagai musuh bebuyutan baginya.
Mobil melaju kencang meninggalkan area kos. Demian berjalan santai membawa beberapa kantong besar berisi makanan dan entah apa lagi, seakan baru pulang dari piknik menyenangkan.
Ketika ia melangkah menyusuri halaman kosan, Alsid sudah menunggu di depan dengan hati berang.
“Lu dari mana aja?!” suara Alsid meledak begitu Demian menginjakkan kaki di halaman kosan.
Demian, yang tadinya hendak masuk sambil tersenyum, langsung terhenti. Ia memperhatikan wajah marah Alsid, dan senyumnya seketika berubah. “Eh… aku tadi—”
“Gue nyariin lu ke mana-mana!” potong Alsid dengan nada tinggi. “Di masjid nggak ada, di mobil nggak ada, di parkiran cuma ada kunci mobil yang jatuh di tanah! Lu kira gue nggak kepikiran yang aneh-aneh?!”
Demian mengedip beberapa kali, mencoba memahami amarah itu. “Tenang dulu, Sid. Tadi aku—”
“Tenang apaan?! Lu bilang tenang?! Gue kira lu diculik dukun saingan kita atau apalah! Gue nyaris manggil polisi kalau seandainya elu juga gak ketemu-ketemu juga, ngerti nggak?!”
Demian menunduk sedikit, merasa bersalah, tapi nada suaranya tetap ringan. “Sid… aku emang sempat ‘diculik’. Tapi lucu, bukan bahaya. Bodyguard Kak Kirana aja yang berlebihan.”
Alsid terbelalak. “Lucu?! Lu masih mikir ini becandaan?!”
Alih-alih menjawab, Demian hanya tersenyum tipis. “Aku bakal jelasin, tapi mungkin kamu nggak bakal marah kalo tau ceritanya.”
"Gak marah?" Alsid mendengkus dengan berang. "Dari gue yang udah nyuruh elu ngejauhin dia, terus elu malah berkomunikasi lagi ama dia... itu juga udah cukup buat bikin gue marah."
Alsid langsung membalikkan badan, masuk ke kosan tanpa mau mendengar penjelasan. Pintu kamarnya dibanting keras, menyisakan Demian yang berdiri kikuk di ruang tamu sambil membawa kantong-kantong belanja.
Celia, yang sedari tadi berdiri memperhatikan mereka, mengangkat pandangan. “Gak apa-apa kok. Kamu baik-baik saja kan? Dia mungkin cuma kecewa." ujarnya sambil tersenyum, berusaha menenangkan.
Demian mendesah, lalu duduk bersila diatas lantai, di depan Celia. “Aku cuma… nggak nyangka dia bakal marah segitunya.”
“Dia khawatir. Kamu kan nggak bilang mau ke mana.” Celia menatap lurus. “Coba cerita ke aku, apa yang sebenarnya terjadi?”
Demian menaruh kantong-kantong itu di lantai.
--- Flashback
Demian tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dorongan kasar mendorongnya ke dalam mobil. Ia terhuyung dan terjatuh di kursi belakang, punggungnya membentur sandaran dengan bunyi duk yang membuatnya meringis.
Belum sempat bangkit, kedua pria itu masuk dan duduk di kanan-kiri Demian, membuatnya terjepit. Tubuh mereka seperti dinding yang kokoh, aroma parfum maskulin bercampur bau kulit jaket yang baru menempel di hidung Demian. Ia menelan ludah.
“Eh… kalian siapa?!” suaranya meninggi, namun tak ada jawaban.
Jantungnya berdegup kencang. Ia bahkan bisa merasakan panas napas pria di sebelahnya. Tapi rasa takut itu seketika mencair ketika suara lembut dari kursi depan menyapanya.
“Halo, Demian.”
Demian memiringkan kepala. Dari balik kursi sopir, ia melihat sosok perempuan yang duduk manis di kursi penumpang depan. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, kulitnya mulus, dan tatapan matanya teduh. Ia tersenyum seolah pemandangan ini adalah hal biasa.
“Kirana…?” Demian mematung. Sekilas ia tak percaya, tapi wajah itu jelas wajah yang ia kenal—perempuan yang pernah ia temui di warung kopi tempo hari.
Kirana menoleh sepenuhnya, masih tersenyum. “Iya, aku. Maaf ya… kayaknya mereka miss communication.”
Demian mengernyit. “Oh, gitu—”
“Tenang.” Kirana menatap ke depan, memberi kode pada sopir yang tubuhnya juga besar dan kekar. Mobil mulai melaju mulus keluar dari parkiran. “Aku cuma mau ngajak kamu jalan-jalan. Nggak ada maksud aneh.”
Demian melirik kiri-kanan, masih terjepit di antara dua bodyguard yang tak bergeming. “Kalau mau ngajak jalan… bilang aja gak sih. Itu tadi ngagetin, kayak adegan penculikan."
Kirana tersenyum kecil, seolah menahan tawa. “Miss komunikasi. Mereka cuma terlalu bersemangat.”
Demian mendesah. Ia tak sepenuhnya lega, tapi setidaknya wajah Kirana tidak menunjukkan tanda-tanda niat jahat. “Terus… mau ke mana?”
“Laper gak? Kita makan dulu,” jawab Kirana singkat.
"Tapi.. Alsid??"
"Udah, jarang-jarang kan. Nanti aku yang bakal ngehubungin Alsid." ucap Kirana.
Demian langsung menunjukkan hp Alsid di tangannya. "Hp nya di aku. Terus aku belum shalat juga."
Kirana terbelalak. "Haha, yaudah. Kita ke masjid dulu."
Mobil melaju ke sebuah masjid yang searah dengan jalan mereka. Setelah Demian shalat, mereka lanjut mampir ke sebuah restoran mewah di pusat kota. Lampu-lampu gantung berkilauan di balik kaca, dan aroma masakan tercium samar sejak pintu mobil dibuka.
Demian melangkah masuk dengan canggung, merasa semua orang di dalam menatapnya. Meja mereka berada di sudut ruangan, cukup jauh dari pengunjung lain. Menu yang diberikan pramusaji membuat mata Demian terbelalak—harga setiap hidangan cukup untuk membeli kebutuhan makanannya selama seminggu, tidak.. bahkan sebulan.
Kirana memesan berbagai macam makanan tanpa ragu: sup krim, steak, pasta, sushi, bahkan hidangan penutup yang namanya sulit diucapkan Demian. Saat makanan datang, Demian tak kuasa menahan rasa lapar. Setiap suapan terasa seperti pesta di lidahnya.
“Enak?” tanya Kirana sambil menyendok sup krimnya.
Demian mengangguk, mulutnya penuh. “Banget.”
Mereka menghabiskan hampir satu jam di sana, bercakap ringan tentang musik, hobi, dan cerita-cerita singkat. Tak sekali pun Kirana menyinggung soal Alsid. Tidak sekali pun.
Setelah makan, mereka keluar menuju deretan toko di seberang jalan. Kirana langsung menggiring Demian masuk ke sebuah butik sepatu terkenal.
“Pilih semua yang kamu suka,” katanya santai.
Demian tertawa pendek. “Semua? Bukannya ini mahal—”
“Jangan liat harganya, pilih aja.” sahut Kirana.
Dengan ragu, Demian mencoba beberapa pasang sneakers. Setiap kali ia merasa cocok dengan satu, Kirana memberi isyarat pada pelayan untuk membungkusnya. Tak hanya satu pasang, tapi tiga sekaligus.
Saat mereka keluar dari toko sepatu, Kirana mengajaknya masuk ke butik pakaian. Demian kembali protes, tapi Kirana menolak mendengar. Kemeja, celana panjang, hingga kaus santai masuk ke dalam kantong belanja mereka.
“Ini serius gak sih?” Demian menggeleng sambil menahan senyum. “Aku jadi nggak enak.”
Kirana hanya menatapnya sekilas, bibirnya melengkung tipis. “Anggap aja ini traktiran untuk teman.”
...---...
Langit sudah berwarna oranye keemasan saat mobil kembali mengarah ke jalan pulang. Sepanjang perjalanan, Demian duduk dengan pikiran yang bercampur aduk. Ia masih heran dengan sikap Kirana—perempuan ini muncul tiba-tiba, menyeretnya dalam “penculikan” singkat, lalu memberinya hari penuh kejutan. Ia hampir mengira ini adalah bedah rumah dan uang kaget.
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah kontrakan kecil tempat Demian tinggal bersama Alsid. Kirana menoleh padanya, senyumnya tak berubah sejak pertama mereka bertemu hari itu.
“Terima kasih sudah nemenin aku jalan-jalan.”
Demian membuka pintu, lalu menatapnya sebentar. “Harusnya aku yang bilang makasih. Tapi… jangan bikin aku kaget lagi kayak tadi.”
Kirana tertawa pelan. “Oke."
--- End of Flashback
Celia mendengarkan dengan tatapan yang sulit dibaca. “Dan kamu nggak nanya kenapa dia ngelakuin semua itu?”
Demian terdiam sesaat. “Aku tanya. Dia cuma bilang ‘anggap aja traktiran dari teman’. Terus dia bilang suka ngobrol sama aku waktu di warung kopi dulu, katanya aku orang yang jujur dan baik. Setelah itu dia nganterin aku pulang, selesai.” terang Demian.
“Nggak ada yang aneh. Dan kayaknya gak ada hal lain dibalik kebaikannya. Dia emang cuma mau minta temenin jalan aja. Dia gak bahas tentang Alsid sama sekali, atau gak minta aku nyuruh Alsid buat pulang lagi." lanjutnya, berusaha terdengar santai.
Celia menyandarkan punggung, menatap Demian lama-lama. “Dem… kalau orang asing tiba-tiba ngajak kamu pergi, mentraktir makan mahal, beliin baju, sepatu, terus nganterin pulang tanpa alasan jelas… itu justru aneh.”
Demian terdiam sebentar. Kata-kata Celia membuatnya sedikit ragu, tapi ingatan tentang senyum Kirana yang hangat membuatnya sulit percaya kalau perempuan itu berbahaya.
Celia memperhatikan banyak kantong-kantong belanjaan yang di bawa Demian. "Ini semua, dari perempuan itu?" tanya Celia, dan Demian mengangguk.
"Maaf kalau aku gak sopan, tapi... Kembaliin semua barang itu ke dia. Atau buang aja semuanya."
Demian terkejut mendengarnya. "Kenapa?"
bersambung...
kalou gak kena pasien akan ngebalik ke yang ngobatin maka jangan main main dengan peran dukun karena itu akan kembali ke kita kalau kekuatanya lebih kuat dari kita