Rika, mahasiswi sederhana, terpaksa menikahi Rayga, pewaris mafia, untuk menyelamatkan keluarganya dari utang dan biaya operasi kakeknya. Pernikahan kontrak mereka memiliki syarat: jika Rika bisa bertahan 30 hari tanpa jatuh cinta, kontrak akan batal dan keluarganya bebas. Rayga yang dingin dan misterius memberlakukan aturan ketat, tetapi kedekatan mereka memicu kejadian tak terduga. Perlahan, Rika mempertanyakan apakah cinta bisa dihindari—atau justru berkembang diam-diam di antara batas aturan mereka. Konflik batin dan ketegangan romantis pun tak terelakkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Julianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13
Sebelum aku menyadarinya, tubuhku didorong hingga menghantam dinding kamar, lalu secepat kilat Rayga menutup pintu kamar.
Rayga mendekatkan wajah nya ke arah ku dan langsung menyambar bibirku.
"Sial..." Dalam hatiku.
Aku terkejut dan tanpa sadar membuka mulutku, memberi celah baginya untuk mencuri ciuman lebih dalam.
Lidahnya menyelusup masuk, keluar masuk dengan penuh gairah. Ia mengisap bibir bawahku seakan hidupnya bergantung padaku.
Saat itu, tangannya bergerak naik dan menggenggam bagian belakang tubuhku. Aku tidak tahu kapan aku menyerah, tapi yang jelas aku mulai membalas ciumannya.
Entah keberanian apa yang tiba-tiba muncul pada tubuhku ini. Yang berani-beraninya menerima sentuhan Rayga saat ini.
Sekarang telah pukul 1 dini hari, seharusnya aku sudah tertidur tapi sialnya manusia mesum ini malah mengganggu ku.
Rayga sangat bringas saat melumat bibirku, bahkan aku sulit mengimbangi nya karena aku kurang ahli, hingga aku menepuk pundak nya karena nafas ku mulai tercekat. Kami seperti dua remaja haus asmara yang dipisahkan lama oleh orang tua mereka.
Tiba-tiba, naluri akal sehat ku muncul di kepalaku. Saat itulah aku benar-benar menyadari apa yang sedang terjadi.
Rayga D'Amato. Sedang mencuri kesempatan atas tubuh-ku lagi.
Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi. Rayga adalah orang yang seharusnya ku hindari, tapi di sinilah aku, saling menukar napas dengannya.
Ini seperti perang antara akal dan perasaan. Tapi akhirnya akal ku menang. Aku mulai mencoba mendorong tubuh Rayga yang tak mengenakan baju, tapi rasanya seperti mencoba mendorong tembok. Aku jelas kalah tenaga. Rasanya seperti aku adalah seekor semut dan dia batu pinggir kali.
Tapi sepertinya ia tidak suka saat aku berusaha melepaskan cengkraman dirinya dari tubuhku.
Ia lalu meraih kedua tanganku dan menahannya di atas kepala, sementara tangan lainnya mulai menyentuh bagian dadaku dengan lembut.
Walau ia melakukan tidak se-bringas saat tadi pagi, tapi tubuh ku tetap saja lemah. Aku hanya ingin istirahat.
Setelah beberapa usahaku untuk melawan, dia akhirnya melepas ciumannya—mungkin agar aku bisa bernapas. Kami berdua terengah-engah seperti habis berlari.
Ketika aku menunduk, kulihat tanganku masih menempel di dadanya. Cepat-cepat kutarik dan mencoba menatapnya tajam.
Aku mundur beberapa langkah dan menatapnya dalam-dalam.
"Tuan Rayga, apa yang sebenarnya Anda inginka—"
"Diam," katanya pelan, menatap mataku dengan intens saat ia mendekat lagi.
"Ayah ku beruntung sekali bisa menemukan jodoh yang tubuh seindah ini untuk ku, gadis.." katanya sambil berbisik di antara leherku. Nafas nya berat bahkan sangat terasa di sekitar leherku.
Tanpa peringatan, dia kembali mencium ku. Kali ini, tangannya menahan kepalaku agar tidak bisa bergerak, dan ciumannya lebih dalam dari sebelumnya.
Salah satu tangannya kembali meremas bagian belakang tubuhku. Aku mengerang pelan sebagai respons—dan itu malah membuatnya semakin berani.
Ia mendekat, dan aku bisa merasakan panas tubuhnya. Dadanya yang telanjang bersentuhan dengan bagian atas tubuhku yang hanya dibalut pakaian tidur tipis. Meski ada kain di antaranya, aku bisa merasakan kehangatan dan tekanan itu.
Lalu aku merasakan sesuatu yang menegang di perutku. Aku terkejut. Eranganku tertelan dalam ciuman panjang yang penuh hasrat, seolah kami sepasang kekasih yang saling merindukan. Padahal, kenyataannya tidak seperti itu. Aku mencoba melawan lagi, tapi gagal—akhirnya aku mencoba membalas ciumannya. Ia mencium ku dengan rakus, dan tubuhku ikut memanas. Lalu tiba-tiba, ia berhenti.
Saat aku membuka mata, kulihat senyum lebar di wajah Rayga. Emosiku campur aduk, semuanya diguncang oleh satu orang ini.
Saat aku mencoba mengatur napas, tubuhku terasa panas dan dingin sekaligus. Apa yang baru saja terjadi? Aku terus bertanya pada diri sendiri. Di bagian bawah tubuhku, ada sensasi berdenyut yang tidak mudah hilang. Sadar atau tidak, Rayga telah membangkitkan hasrat dalam diriku yang kukira bisa ku kendalikan.
"Tuan Rayga—" aku mencoba bicara. Tapi suaraku terdengar asing di telingaku sendiri. Aku berusaha terlihat tak terpengaruh oleh perlakuannya. Namun Rayga segera memotong ucapan ku.
"Aku hanya datang untuk ciuman tengah malam, dan ini akan lebih sering, apalagi bagian Ini," katanya dengan senyum miring sambil meremas bagian bawahku.
"Auhhhh... " Erangku panjang dan sedikit ngilu.
Sedangkan sang pelaku hanya menyeringai tak bersalah.
Tapi pikiran ku kembali dengan pernyataan dia yang pertama.
'Apa? Ciuman tengah malam? Serius? Ciuman tengah malam tidak sampai melumat juga atau sepanas ini kan'.
Saat aku hendak protes, kutemukan bahwa aku sendirian di kamar. Kemana dia pergi? Kapan dia pergi? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi pikiranku. Aku membuka pintu dan melihat ke lorong, tapi tidak ada siapa pun. Menghela napas panjang, aku masuk kembali dan mengunci pintu.
Aku duduk di tempat tidur. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Saat ku sentuh bibirku, terasa agak bengkak. Aku memutuskan untuk menyikat gigiku lagi—mungkin bisa menghapus sisa-sisa ciuman itu. Tapi ternyata aku salah. Ciuman itu tetap tertinggal di benakku.
Saat aku berbaring, dengan tubuh yang masih terangsang dan pikiran yang kacau, aku mencoba tidur—tapi semakin sulit seiring waktu.
Suara pesta juga mulai mereda bahkan hampir menghilang, seperti nya sudah selesai '. Pikir ku.
Akhirnya, aku pun tertidur pulas setelah setiap kali tidur ku gagal.
Pagi datang lebih cepat dari yang kuduga. Saat membuka mata, sinar matahari telah masuk ke kamarku, seperti nya aku bangun sedikit kesiangan. Tapi untungnya tidak ada jadwal ke kampus hari ini, Mungkin agak siang-an aku akan pergi kerumah sakit melihat kembali Kakek ku.
Aku masuk ke kamar mandi dan membersihkan seluruh tubuhku, tubuh ku sedikit lengket.
Sebelum keluar, aku melihat diriku di cermin. Pipi memerah. Rambut acak-acakan. Dan ya—bibirku masih tampak bengkak. Dengan tanpa sadar aku menyentuhnya.
"Shhhh..." Aku meringis perih, ini rasanya lebih parah dari sekedar sariawan.
Kemudian aku segera keluar dari kamar dengan setelan pakaian yang tidak terlalu mencolok.
Saat aku melewati Kamar Rayga , pintu sedikit terbuka. Sehingga rasa kepo ku muncul tiba-tiba.
Aku melihat didalam kamar itu sedikit berbeda, kalo perlengkapan tidur juga ada semua dan dominan hitam. Tapi sepertinya ada ruangan lain di seberang. Yang ku pikir itu adalah ruang kerjanya.
Terlihat Rayga sibuk dengan berkas-berkas nya itu, aku hanya melihat dari pintu yang ada didalam kamra terbuka setengah. Terlihat juga ada seseorang yang bolak-balik beberapa kali. Jadi aku simpulkan itu Rayga.
Aku menutup pintu kamar dengan sedikit pelan lalu bergerak menjauhi kamarnya menuju bawah.
Tapi saat aku mendekati tangga untuk turun ke bawah, terdengar suara pintu kamar Rayga terbuka. Apakah ia akan makan bersama ku lagi?. Ya walaupun aku tidak bisa menolak itu.
Tapi ini cukup langka, bahkan Rayga saat makan bersama pas sebelum kejadian itu, ia sepertinya sedikit terpaksa karena ayahnya.
Dan sekarang Ia meninggalkan bekas-bekas dikamar nya, lalu ia berjalan sedikit cepat ke arah ku dengan wajah datarnya itu.
Tapi aku menggeleng kan kepala cepat, berusaha berhenti memikirkan hal yang lain dan lanjut menuruni tangga yang dibelakang ku diikuti Rayga.
Setelah aku turun ke bawah, aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan sekalian membantu Bibi Ranti memasak. Tapi sepertinya Bibi Ranti bangun lebih awal dariku. Jadi niat ku memasak harus diurungkan. Di atas meja sudah ada makanan.
Sarapan itu untukku dan Rayga, dan aku sempat menanyakan dimana Pak Ryandra. Bibi Ranti menjawab bahwa ia sudah makan lebih awal.
Aku mendengar itu cukup terkejut, pasalnya Pak Ryandra sudah hampir semalaman berada di pesta tapi ia bisa bangun lebih awal, pantas saja anak buah nya sangat disiplin bahkan... Anak nya sendiri juga begitu hanya saja sifat nya itu menjengkelkan.
Kami makan bersama dalam diam, hanya dengingan sendok dan garpu saling beradu diatas piring. Lagian aku mau membicarakan apa? Kejadian malam tadi ? Sudah pasti tidak akan didengar, wajah nya sangat tidak bersalah begitu.' pikir ku. Sambil sesekali melirik Rayga yang ada didepan yang lagi mengunyah makanan nya deng sedikit cepat.
Tapi ia tiba-tiba, melirik ku tajam, aku langsung menunduk, bahkan aku hampir tersedak karena tatapannya itu. Aneh kok bisa tau aku sednag memperhatikan nya.
Aku segera buru buru menghabiskan makanan ku dan Tapi Rayga seperti lebih dulu selesai. Ia bangkit dari kursi dan membawa satu botol soda dari kulkas, lalu pergi tanpa sepatah apapun.
Aku menghela nafas ringan, lalu membawa piring ku dan juga piring Rayga yang masih ada dimeja makan ke wastafel cuci piring. Aku mencucinya langsung agar bisa sedikit membantu pekerjaan bibi Ranti.
Setelah nya aku ingin keluar menuju rumah sakit. Tentunya setelah memberitahu para penjaga bahwa aku ingin pergi ke rumah sakit untuk menjenguk kakekku.
Sudah cukup lama aku tidak melihatnya, padahal beberapa hari kemarin aku telah menjenguk nya.
Aku diantar kesana menggunakan mobil yang sama seperti aku diantar ke kampus. Tapi aku tidak peduli sih mau pake mobil yang manapun yang penting tujuan ku terpenuhi.
Dan tanpa terasa aku sudah berdiri di depan ruangannya, menunggu dokter menyelesaikan pemeriksaan rutin.
Begitu kakek melihatku, matanya langsung bersinar seperti lampu yang menerangi jalanan gelap
“Rika!” serunya dengan penuh kebahagiaan. Aku langsung menghampirinya dan memeluknya, berharap pelukanku bisa meredakan sedikit kekhawatirannya.