NovelToon NovelToon
Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Dinikahkan Diam-diam Dengan CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nonaserenade

“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”

“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”

“Sialan lo, Sas!”

•••

Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.

Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.

Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Pertemuan Dibalik Penjara

"Saya dapat amanah dari Papamu Maha, beliau ingin bertemu dengan putrinya. Selepas pak Wirastama di tahan, kamu belum menemuinya didalam sel. Bagaimana? Saya tidak akan memaksa kalau kamu tidak ingin."

Terdiam diatas sofa, Maha belum bisa memberikan jawaban. Yang pasti ia belum siap sepenuhnya, akan tetapi papanya pasti sangat sedih karena Maha tak kunjung datang ke lapas.

"Gue selalu lega dengar Papa baik-baik aja di dalam sel, tapi gue belum seyakin itu untuk mengunjungi Papa. Gue masih butuh waktu Sas."

Sastra mengangguk pelan, memahami kegundahan yang Maha rasakan. "Saya mengerti. Tidak ada paksaan, Maha. Kapan pun kamu merasa siap, kita bisa atur pertemuan itu. Papamu juga pasti mengerti kalau kamu butuh waktu."

Maha terdiam, tatapannya kosong sejenak, tenggelam dalam pikirannya. Ia merasakan beban emosional yang berat. Meski hatinya rindu, ada luka yang masih sulit untuk disembuhkan. "Gue tau dia pasti nungguin gue, tapi... setiap kali gue berpikir untuk ketemu papa, ada rasa takut yang gak bisa gue jelasin."

"Itu wajar, Maha. Kamu berhak merasakan semua perasaan itu. Kita jalani perlahan saja. Saat kamu siap, saya temani kamu berkunjung."

•••

Setelah dua hari memikirkan dengan matang-matang, akhirnya Maha memutuskan untuk mengunjungi Papanya di lapas. Dengan perasaan campur aduk, ia melangkah keluar dari mobil ditemani Sastra yang selalu berada disisinya.

Di depan gerbang lapas, langkah Maha terasa berat. Jantungnya berdetak kencang, dan perasaan takut serta rindu bercampur menjadi satu. Sastra berdiri di sampingnya, menepuk bahunya dengan lembut. “Kalau belum siap, kita kembali saja."

Maha menggeleng kecil, mencoba menarik napas dalam-dalam sebelum masuk ke dalam. Setiap langkah yang ia ambil seolah membawa beban yang semakin berat. Ia duduk dengan gelisah, menunggu kedatangan papanya. Saat papanya muncul dihadapan Maha, segala kegelisahan itu perlahan memudar. Wirastama terlihat lebih kurus, tapi senyumnya tetap hangat seperti yang Maha ingat.

Maha menahan air matanya, dan perlahan ia berjalan mendekat. "Papa..."

Wirastama berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. "Maha... akhirnya kamu datang." Suaranya terdengar lirih namun penuh haru.

Maha tak lagi bisa menahan emosinya. Ia memeluk Papanya erat, seolah ingin menggantikan semua waktu yang terlewatkan. “Maaf Pa, aku baru bisa datang sekarang...” ucap Maha dengan suara bergetar.

Wirastama membelai rambut putrinya dengan lembut. "Papa senang kamu di sini sekarang. Itu sudah lebih dari cukup."

Di sudut ruangan, Sastra hanya memandangi mereka dengan perasaan lega. Setidaknya, satu hal yang memberatkan hati Maha kini mulai terurai.

"Maafkan Papa sayang," Wirastama menunduk, malu menatap wajah putrinya atas segala kesalahan yang sudah ia perbuat pada Maha.

"Untuk yang satu ini Maha tidak bisa Pa. Kenapa Papa tega menikahkan Maha dengannya Pa? Apalagi Papa melakukannya sembunyi-sembunyi. Hancur hati Maha, Pa."

Wirastama menegakkan kepalanya, kali ini ia lebih berani menatap netra putri bungsunya.

Jelas ia menangkap kekecewaan mendalam di mata putrinya, dan itu membuat hatinya semakin terluka. "Papa tahu, semua yang Papa lakukan salah, tapi itu semua untuk melindungimu dan masa depanmu, Papa tidak mau kamu sendirian Maha."

Maha menahan air matanya yang sudah menggenang, mencoba menahan amarah yang saat ini tengah ia redam. "Papa gak pernah kasih aku pilihan. Papa pikir Maha gak bisa cari jalan keluar sendiri? Apa Papa gak percaya sama kemampuan Maha?"

Wirastama terdiam, tertunduk dalam rasa bersalah yang semakin menekan. "Papa takut, Maha... takut kamu kenapa-kenapa, takut kehilangan semuanya, termasuk kamu. Papa gak pernah bermaksud jahat, tapi Papa memang harus melakukan ini."

Sastra hanya bisa terdiam mendengarkan percakapan itu dari kejauhan, merasakan ketegangan dan rasa sakit yang tergambar di wajah kedua orang yang ia hormati. Baginya, ini adalah luka yang harus mereka sembuhkan sendiri, tanpa campur tangan orang lain.

Wirastama berusaha menahan air matanya, tapi akhirnya ia menyerah. “Maafkan Papa, Maha... Papa cuma ingin kamu bahagia, walau cara Papa salah. Kalau Papa bisa mengubah semua ini, Papa akan lakukan tanpa ragu.”

Maha menatap Papanya dengan mata yang berkaca-kaca, perasaannya berkecamuk antara amarah, kecewa, dan rindu yang mendalam. "Maha tetap tidak akan bisa menerima, papa. Maha akan lakukan apapun agar kami bisa bercerai."

Wirastama menghela nafas panjang, ia sudah memastikan bahwa Maha pasti akan terus mencari cara untuk membuat pernikahannya dengan Sastra selesai, namun Wirastama percaya pada menantunya itu. Ia yakin, Sastra pasti bisa menangani putri bungsunya ini.

Seorang petugas mendekati mereka dengan sopan, mengingatkan bahwa waktu kunjungan hampir habis. Maha dan Wirastama saling berpandangan sejenak, keduanya seolah tersadar bahwa pertemuan singkat ini tidak bisa menyelesaikan semua masalah yang menggunung. Meski begitu, pertemuan ini cukup mengobati rindu mereka.

Maha berdiri, matanya masih menatap sosok Papanya yang kini tampak rapuh, jauh dari figur otoritas yang dulu ia kenal. "Jaga diri baik-baik di sini, Pa. Maha akan datang lagi nanti."

Wirastama mengangguk sekali lagi, tak mampu berkata-kata. Mereka berpelukan cukup lama sebelum berpisah dan ketika Maha berbalik, meninggalkan ruangan, Wirastama hanya bisa menatap punggung putrinya yang semakin menjauh.

Sastra mengangguk sopan ke arah Wirastama, kemudian menyusul Maha, memastikan perempuan itu tak merasa sendiri di saat yang sulit ini.

Di luar ruangan kunjungan, Maha mengusap air matanya dengan cepat, mencoba menenangkan diri. Sastra hanya berdiri di sebelahnya, tanpa memaksa percakapan. Mereka berjalan beriringan menuju mobil, dalam diam yang dipenuhi dengan pikiran dan perasaan yang belum selesai terucapkan.

Saat tiba di mobil, Sastra membuka pintu untuk Maha. Sebelum masuk, Maha menatap Sastra sejenak, namun ia tidak mengatakan apapun.

•••

Diam cukup lama, akhirnya Maha membuka percakapan lebih dulu. Ia tersiksa jika diam-diam seperti ini, lebih suka berbicara banyak dan memancing sentimen Sastra. Hampir satu bulan hidup dengannya, ternyata tidak sesulit yang sebelumnya ia bayangkan. Sastra cukup menjaga dirinya untuk menuruti segala keinginan Maha, bahkan saat ia menginginkan pria ini untuk tidak terlihat oleh pandangan matanya selama setengah hari saja, dan ia memenuhi ingin Maha dan janjinya.

"Lo sama papa ada perjanjian apa si Sas? Papa kayaknya percaya banget sama lo."

Sastra menoleh sejenak sebelum kembali fokus menatap jalan didepannya. "Janji yang kami buat itu seputaran kamu. Pak Wirastama meminta saya lindungi dan jagain kamu, katanya supaya kamu bisa diarahkan. Pak Wirastama khawatir pergaulan putri bungsunya menjadi bebas karena tidak ada yang mengawasi."

"Terus kenapa harus lo yang Papa pilih? Kenapa diantara jutaan laki-laki, harus Lo?"

"Karena saya yang terpilih oleh Papamu. Saya pikir-pikir dulu kok, bahkan saya baca CV mu yang dibuat pak Wirastama. Kamu itu unik, makannya saya pilih."

Maha mendecih sebal, "unik? Uniknya gue emang apa sehingga seorang putra tertua Hardjo yang begitu terhormat ini bisa tertarik sama gue?"

Sastra tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada jalanan di depan. "Uniknya kamu... kamu keras kepala, susah diatur, dan selalu buat saya belajar sabar setiap saat. Padahal saya tidak sesabar itu, saya ini jadi terbiasa meredam diri untuk tidak emosi demi seorang Maharani yang sengaja melakukannya karena bersikukuh ingin bercerai dari saya."

Maha melipat tangannya di dada, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Sastra yang akhirnya mendapatkan respon nyentrik darinya. "Lo ngomong kayak gitu kayak gue orang spesial aja."

Sastra terkekeh pelan. "Kamu memang spesial, Maha. Buat Papamu, dan mungkin juga buat saya."

Maha terdiam sejenak, tak ingin mengindahkan ucapan Sastra. Ia menoleh ke arah jendela, menatap pemandangan luar yang berlalu begitu cepat, dan kembali membuka suara. "Jangan lebay deh. Lo tau kan, gue masih mau cari cara buat bercerai. Lo gak perlu pura-pura baik."

Sastra hanya mengangguk, tak berniat membantah atau memaksa Maha mengubah pikirannya. "Gak ada yang pura-pura di sini, Maha. Tapi kalau anggapan kamu tetap seperti itu, saya biarkan saja dulu."

"Ya udah, terserah lo aja," jawab Maha akhirnya, dengan nada setengah kesal. "Tapi gue masih tetap pada pendirian gue."

Sastra hanya tersenyum, mengangguk pelan. "Saya tahu, dan saya menghargai itu, Maha."

•••

"Sas..." Pekik Maha dari dalam kamarnya, mendengar suara teriakan istrinya, Sastra bergegas naik ke lantai atas, langkahnya cepat namun tetap hati-hati. Begitu tiba di depan kamar Maha, pintunya terbuka lebar, menampilkan sosok Maha yang tampak panik sambil memegangi sisir yang tampak terbelit dengan rambutnya.

Sastra menahan tawa kecil saat melihat Maha berdiri di depan cermin dengan ekspresi kesal, sisir yang tersangkut di rambutnya membuat situasi terlihat lucu sekaligus menyebalkan bagi Maha. "Tolongin gue dong, Sas! Ini gak bisa lepas, sakit banget," keluh Maha, mencoba menarik sisir itu dengan hati-hati, namun setiap tarikan justru semakin membuat rambutnya kusut.

Sastra mendekat dengan sabar, mengambil sisir itu dari tangan Maha. "Sini saya bantu," ujarnya sambil memperhatikan rambutnya yang menyangkut disisir. Tangannya bergerak perlahan, mencoba melonggarkan kusut yang terjadi tanpa menarik terlalu keras.

Maha menatap cermin dengan napas tertahan, wajahnya tampak tegang, gara-gara melamun jadi seperti ini. Baginya, rambut adalah aset berharga Maha selain anggota tubuhnya yang lain. Maha sangat menjaga keindahan rambut ikalnya yang panjang sepinggang, ia begitu merawatnya dengan berbagai perawatan rutin dan produk terbaik. Setiap helainya seperti bagian dari identitas dirinya yang tak ingin ia rusak begitu saja. Maka, kejadian sepele seperti ini pun bisa membuatnya panik.

Sastra bekerja dengan hati-hati, jarinya lincah tapi tetap lembut saat mengurai rambut yang terjebak di sisir. Ia tahu betapa Maha sangat menjaga keindahan rambutnya, dan tak ingin merusak keindahan yang istrinya miliki. "Kamu harus lebih hati-hati kalau lagi sisir rambut, jangan sampai seperti ini lagi," ujarnya dengan suara tenang, berusaha tidak menambah rasa cemas Maha.

Maha mendengus pelan, menatap bayangan dirinya di cermin dengan tatapan jengkel. "Gue lagi mikir banyak hal, jadi gak fokus. Eh, malah rambutnya nyangkut di sisir," gumamnya, matanya sesekali melirik Sastra yang terus bekerja dengan sabar.

"Lain kali jangan gitu lagi!" Setelah beberapa menit, Sastra berhasil melepaskan sisir itu dari rambut Maha tanpa menarik terlalu banyak helai. "Sudah aman," katanya sambil tersenyum."

Maha menghela napas lega, mengusap rambutnya perlahan, memastikan semuanya rambutnya tetap terjaga dan tidak ada yang perlu ia khawatirkan. "Akhirnya," Maha menatap pantulan Sastra dari balik cermin. "Thanks."

Sastra hanya mengangguk, menatap Maha dengan penuh perhatian. "Mau saya bantu sisir tidak?" Tawarnya, dan langsung diiyakan oleh Maha.

Sastra mulai menyisir rambut Maha dengan hati-hati, gerakannya lembut dan telaten. Namun, Maha tetap saja tak bisa menahan sikap rewelnya yang khas.

“Pelan-pelan, Sas. Gue gak mau sampai rambut gue rapuh!” Maha mendelik, meski jelas-jelas Sastra sudah sangat berhati-hati dan penuh kelembutan.

"Tenang aja, saya paham kok. Kamu gak bakal saya bikin rontok," ujarnya sambil tetap fokus, tidak ingin membuat Maha semakin uring-uringan.

Maha mendengus, melipat tangannya di dada sambil terus mengawasi pantulan Sastra di cermin. "Gue gak ngerti deh, Lo itu kadang perhatian banget, tapi kadang ngeselin. Jangan lo kira gue bakal jadi baik sama lo cuma karena insiden ini, ya."

Sastra hanya mengangguk pelan, mencoba meredam kekehan nya . "Saya gak pernah minta kamu jadi baik sama saya, Maha. Asal kamu nyaman dan aman, itu sudah cukup."

Maha memutar bola matanya, setengah jengkel tapi juga merasa terhibur. "Iya-iya, sok bijak lo. Kayak motivator aja. Udah sana, jangan kelamaan di sini."

Sastra menyerahkan sisir kembali ke Maha, lalu melangkah mundur dengan senyum tipis. "Baik cah ayu. Saya kembali kekamar. Kalau ada apa-apa, teriak lagi saja."

“Bodo amat!” sahut Maha, mencoba tetap jutek meski ada seulas senyum kecil yang tak bisa ia sembunyikan. Begitulah hari-hari mereka—selalu diwarnai adu mulut, tenaga dan pikiran, walaupun yang banyak berbicara dan mendominasi adalah Maharani.

Sastra melangkah keluar dari kamar Maha, namun sebelum menutup pintu, ia melirik ke belakang sejenak. Maha masih menatap pantulan dirinya di cermin, sambil memainkan ujung rambutnya yang sudah rapi. Sastra tahu betul, di balik segala keluh kesah dan sikap galaknya, Maha sebenarnya butuh perhatian lebih dari yang ia tunjukkan.

Begitu pintu tertutup, Maha menghela napas panjang, lalu berbaring di tempat tidur. Sebenarnya ia tak berniat menjengkelkan seperti tadi, namun jika sudah dekat dengan Sastra apapun pasti ia ajak ribut walaupun pria itu sudah membuka tangannya untuk menolong perihal rambutnya yang menyangkut disisir.

Sementara itu, di kamarnya sendiri, Sastra hanya bisa tersenyum kecil. Walau sering menghadapi sikap Maha yang sulit ditebak, ia sudah mulai terbiasa. Bahkan, ia merasa bahwa Maha sedang berusaha keras menjaga jarak meski hati kecilnya menginginkan hal sebaliknya.

"Saya perlu waras dan sabar setiap waktu karena kamu, Maha," gumam Sastra pelan, sambil memandang langit malam yang mulai gelap dari jendela kamarnya. Ia perlu menjaga amanah yang diberikan Tuhan sebaik-baiknya, meskipun sering kali harus menghadapi tantangan dari sikap rewel Maha. Di balik segala keributan yang terjadi, ia merasa ada dinamika yang menarik dalam hubungan mereka. Setiap hari, Sastra menemukan cara baru untuk memahami Maha, bahkan saat perempuan itu menunjukkan sisi kerasnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!