Di Kekaisaran Siu, Pangeran Siu Wang Ji berpura-pura bodoh demi membongkar kejahatan selir ayahnya.
Di Kekaisaran Bai, Putri Bai Xue Yi yang lemah berubah jadi sosok barbar setelah arwah agen modern masuk ke tubuhnya.
Takdir mempertemukan keduanya—pangeran licik yang pura-pura polos dan putri “baru” yang cerdas serta berani.
Dari pertemuan kocak lahirlah persahabatan, cinta, dan keberanian untuk melawan intrik istana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Malam itu, langit dihiasi bulan purnama yang menggantung anggun, dikelilingi bintang yang berkelip seolah ikut menjadi saksi. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma bunga plum yang gugur di halaman, menebarkan nuansa sendu sekaligus syahdu.
Bai Xue Yi sudah duduk menunggu di paviliun lotus. Malam ini berbeda malam terakhir sebelum Pangeran Siu Wang Ji dan rombongannya kembali ke negeri asal. Jubah putihnya berlapis biru muda, anggun dan sederhana. Rambut panjangnya disanggul, namun beberapa helai dibiarkan jatuh, menambah kesan lembut.
Lan Er menata peralatan jarum perak dengan wajah murung. “Putri, benarkah malam ini yang terakhir?”
Xue Yi tersenyum samar, tangannya menyentuh lembut kotak kayu kecil berisi jarum. “Ya, Lan Er. Racun di tubuhnya sudah hampir sepenuhnya bersih. Malam ini hanya tahap akhir.”
Lan Er menunduk. “Kalau begitu… besok paviliun ini akan sepi. Tidak ada lagi teriakan konyol Pangeran itu.”
Xue Yi menoleh, menatap dayangnya dengan tatapan tajam tapi hangat. “Kau sepertinya akan merindukan suara konyol itu.”
Lan Er pura-pura membelalakkan mata. “Bukan saya, Putri! Tapi…” ia berhenti, melirik nakal, “sepertinya Anda.”
Xue Yi mengetuk kepala Lan Er dengan kipas kecil. “Bicaramu makin lancang.” Namun pipinya bersemu, meski ia menunduk menutupi.
----
Sementara itu, di kediaman tamu, Wang Ji tampak gelisah. Luo dan Jian memperhatikan tuan mereka yang berkali-kali bercermin.
“Tuanku, ini hanya pengobatan, bukan pesta pernikahan,” ujar Jian datar.
“Betul,” tambah Luo, menahan tawa, “tapi kenapa Tuan sudah mengganti jubah tiga kali? Apakah jarum akan lebih lembut kalau Tuan tampak tampan?”
Wang Ji menatap mereka berdua dengan wajah merah padam. “Diam kalian! Malam ini… malam terakhir. Aku harus tampil terhormat. Bagaimana kalau dia mengingatku sebagai pria payah?”
Luo bersedekap. “Bukankah itu memang citra yang Tuan bangun sendiri?”
Wang Ji mendengus, tapi tidak membantah. Hatinya tidak tenang. Ada sesuatu yang harus ia katakan malam ini rahasia yang selama ini ia sembunyikan di balik topeng kebodohan.
Langkah kakinya terdengar di jembatan batu, pelan tapi mantap. Lentera di sepanjang jalan memantulkan bayangan tubuhnya di permukaan kolam. Begitu memasuki paviliun, ia melihat Xue Yi sudah menunggu, tatapan gadis itu tenang, seperti bulan di langit.
“Pu-putri Bai…” Wang Ji mencoba membuka percakapan dengan nada konyolnya, “malam ini, apakah jarumnya akan lebih panjang dari biasanya?”
Xue Yi menatapnya dengan tenang, kemudian tersenyum tipis. “Kalau kau terus menggigil begitu, mungkin perlu kutambahkan satu atau dua.”
Wang Ji langsung duduk, tangannya menempel di lutut. “Tidak, tidak, aku siap! Tusuklah seolah aku papan kayu!”
Lan Er dari luar menahan tawa, hampir jatuh karena mendengar celotehan itu.
Xue Yi hanya menghela napas, lalu mulai menyiapkan jarum. Tangannya cekatan, menusuk titik demi titik. Wang Ji berusaha menahan ekspresi konyol, tapi lama-kelamaan ia terdiam.
Racun dalam tubuhnya mulai hancur sepenuhnya. Qi-nya mengalir lancar. Tubuhnya terasa ringan, seperti terlepas dari belenggu.
“Pangeran,” suara Xue Yi lembut, “malam ini racunmu benar-benar bersih. Besok kau bisa kembali tanpa khawatir.”
Wang Ji terdiam, dadanya bergemuruh. Kata-kata itu seharusnya melegakan, namun justru membuat hatinya berat.
--
Beberapa saat hening. Xue Yi sedang menyiapkan teh, Wang Ji menatapnya lama. Lalu, tanpa sadar, kata-kata yang ia tahan pecah begitu saja.
“Putri Bai… sebenarnya aku…” Ia berhenti, menunduk. Tangannya gemetar. “Aku tidak sebodoh itu.”
Xue Yi berhenti menuangkan teh, menoleh dengan alis terangkat.
“Aku—” Wang Ji menarik napas dalam. “Selama ini aku berpura-pura. Topeng bodoh itu… hanya cara untuk menyembunyikan siapa aku sebenarnya. Aku tidak ingin dunia tahu isi pikiranku yang sebenarnya, karena di sekitarku penuh mata-mata dan pengkhianat. Kalau aku terlihat lemah, orang-orang lengah. Kalau aku tampak konyol, mereka menertawakan, bukan mencurigai.”
Ia menggenggam cangkir teh, menunduk dalam-dalam. “Tapi di hadapanmu… topeng itu terasa berat. Aku ingin kau tahu siapa diriku sebenarnya.”
Hening sesaat. Angin malam menyusup ke paviliun, meniup lentera hingga bergoyang.
Xue Yi menatapnya dalam, lalu bibirnya melengkung tipis. “Aku sudah tahu.”
Wang Ji terbelalak. “A-apa?”
“Sejak awal, aku tahu kebodohanmu hanya pura-pura. Tatapanmu… caramu berhitung cepat… itu bukan milik orang bodoh. Kau hanya menutupi.”
Wang Ji terdiam, wajahnya merah padam. “Lalu… kenapa kau tidak pernah membongkar?”
Xue Yi mengangkat cangkirnya, menyesap perlahan sebelum menjawab. “Karena aku ingin melihat… kapan kau sendiri yang berani melepas topeng itu. Dan malam ini, akhirnya kau melakukannya.”
Wang Ji menunduk, hatinya campur aduk. Ada rasa lega, malu, sekaligus bahagia.
Malam semakin larut. Mereka duduk berhadapan, obrolan mengalir lebih jujur. Tidak ada lagi suara melengking pura-pura konyol, tidak ada lagi wajah yang dipaksa bodoh.
Wang Ji bercerita tentang istana Siu, tentang pertarungan kekuasaan, tentang bagaimana ia harus selalu berhati-hati bahkan dengan keluarganya sendiri.
Xue Yi mendengarkan dengan seksama, matanya teduh. “Hidupmu penuh jebakan. Tidak mudah memakai topeng setiap saat.”
“Benar.” Wang Ji menghela napas. “Tapi bersamamu… aku merasa bisa bernapas. Seolah aku boleh jadi diriku sendiri.”
Xue Yi terdiam sejenak, lalu mengulurkan tangannya. “Kalau begitu, ingatlah satu hal. Kau tidak sendirian.”
Wang Ji menatap tangan itu, lalu menggenggamnya erat. Rasanya hangat, lebih dari apa pun.
Ketika malam semakin dalam, Xue Yi berdiri dan membuka laci kecil di meja. Ia mengeluarkan sebuah kotak kayu hitam berukir bunga lotus. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sebuah cincin perak sederhana, dihiasi batu giok putih berbentuk bulat.
“Ini…” katanya pelan, “cincin yang diwariskan keluargaku. Biasanya dipakai sebagai penanda ikatan kepercayaan.”
Wang Ji menatapnya tak percaya. “Untuk… aku?”
Xue Yi mengangguk. “Jika suatu hari kau berada dalam bahaya, atau butuh bantuanku, tunjukkan cincin ini. Itu akan menjadi tanda bahwa kau datang atas namaku. Dan aku… akan datang menolong.”
Wang Ji menerima cincin itu dengan tangan bergetar. Matanya berkaca-kaca. “Putri Bai… aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi aku berjanji, aku tidak akan menyia-nyiakan ini. Aku akan menyimpannya seumur hidup.”
Xue Yi tersenyum samar. “Jangan simpan seumur hidup. Gunakan saat genting. Karena itulah cincin ini ada.”
Wang Ji mengangguk. Hatinya penuh, seakan tak mampu menampung semua perasaan itu.
---
“Bai Xue Yi,” ujar Wang Ji sebelum pergi, “suatu hari, aku akan datang kembali. Bukan sebagai pangeran bodoh, bukan sebagai orang asing. Aku akan datang sebagai diriku sendiri, dan menemuimu lagi.”
Xue Yi menatapnya dalam, bibirnya melengkung. “Aku akan menunggu.”
Keesokan Harinya
Matahari pagi menembus jendela istana Bai. Rombongan kekaisaran Siu sudah bersiap pulang. Kuda-kuda hitam berjajar, kereta emas berhias ukiran naga berdiri di halaman.
Wang Ji mengenakan jubah biru tua, berdiri di samping kereta. Dari jauh, ia menoleh, dan melihat Bai Xue Yi berdiri di gerbang, ditemani Lan Er.
Tatapan mereka bertemu. Tak ada kata yang diucapkan, hanya senyum samar yang sarat janji.
Kereta perlahan bergerak, roda besi bergesek dengan batu. Wang Ji menoleh ke belakang sampai sosok Xue Yi hilang dari pandangan. Di genggamannya, cincin perak berkilau terkena cahaya matahari.
Hatinya berbisik, "Aku akan kembali."
Dan Bai Xue Yi, yang berdiri di gerbang, menatap ke langit biru dengan senyum tipis. "Aku akan menunggu."
bersambung