Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Promil ala Nenek
Nala berlari di bawah rintik hujan sembari membawa sisa makanan masuk ke rumah. Anggia yang melihat itu, berniat membantu.
“Kak Gia… Diam aja gak usah bantuin, udah mau beres.” Nala menahan Anggia yang ingin mengambil piring dari tangannya.
“Sejak kapan kamu panggil Anggia dengan sebutan Gia?” tanya Ratih yang kebetulan keluar dari kamar mandi.
“Tadi, dengar Mas Gaza panggil Kakak dengan sebutan ‘Gia’ kedengarannya lebih sweet gitu Bun,” jawaban Nala sembari tersenyum.
“Oalahh… di telinga bunda justru aneh,” ucap Ratih kemudian berlalu.
“Kalau sudah terbiasa pasti gak aneh lagi,” balas Nala dengan suara nyaring agar Bundanya masih bisa mendengar.
Gaza yang melihat semuanya hanya bisa diam, mungkin setelah ini akan banyak hal yang akan dia dan Nala bahasa dan kesalahpahaman yang terjadi tentu saja harus diluruskan.
Hujan semakin deras, Gaza yang melihat Nala kembali keluar untuk mengambil beberapa barang segera menahannya.
“Pakai payung,” ucap Gaza sembari mengusap pipi Nala yang basah terkena air hujan.
“Cuman hujan, Mas. Gak nyakitin aku sama sekali,” jawab Nala kemudian ikut mengusap wajahnya.
Gaza menarik kembali tangannya, ia menatap Nala cukup lama. Perasaannya mulai tak tenang.
“Setelah ini kita ke kamar, ada yang perlu dibicarakan.” Suara Gaza nyaris berbisik.
Nala mendekat ke arah Gaza. “Mengenai perceraian?” tanya Nala dengan suara berbisik.
Gaza tersenyum tipis kemudian menggeleng. “Tidak akan ada pembahasan mengenai itu.”
“Hem…” Nala sedikit berfikir. “Maka tidak ada yang perlu dibahas.”
Setelah mengucapkan itu, Nala berlalu menuju halaman belakang tapi langkahnya terhenti saat melihat Rey membawa semua barang yang tadi ingin Nala ambil.
“Terima kasih,” ucap Nala tulus.
“Hemm, anggap aja ucapan maaf atas kaki kamu yang masih merah itu,” ucap Rey sembari menunjuk kaki Nala yang tadinya terkena air panas.
Nala tersenyum, ia ingin menuju ruang keluarga dimana keluarganya berkumpul termasuk suaminya.
“Nah itu Nala,” ucap Puspa saat Nala baru saja memasuki ruang keluarga.
Wajah khawatir Nala seketika terlihat jelas, ia menghentikan langkah kakinya. Ia sudah bisa memastikan, Nenek Puspa pasti akan berulah.
“Iya Nek, kenapa?” tanya Nala basa basi
Puspa beranjak menuju jendela dan membuka sedikit tirainya. “Momennya pas ini,” ucapnya kemudian menarik Gaza untuk mendekat dengan Nala.
“Gaza, kamu dan istrimu keluar sekarang, hujan-hujanan di luar!”
Gaza mengerutkan keningnya, ia memastikan lagi bahwa perintah Neneknya bukanlah kesalahan.
“Nek, hujan-hujanan?” tanya Gaza memastikan.
“Iya…” Puspa kembali menyerang Gaza agar mendekat ke arah Nala.
“Nek, di luar hujan deras,” keluh Nala, ia kembali menjauh selangkah dari Gaza.
Puspa menatap pasangan suami istri, wajah kesal, ucapannya jelas tak ingin dibantah.
“Ini salah satu program hamil secara alami. Kata ibu-ibu saat pengajian kemarin, hujan-hujanan bisa membuat orang cepat hamil.”
Suasana seketika hening, semua orang berusaha mencernah ucapan Puspa. Hujan dan program hamil sepertinya bukan sesuatu yang bisa diterima dengan akal pikiran mereka.
Gelak tawa Rey terdengar dari arah dapur, matanya berair dan tangannya memegang perutnya seolah ucapan Neneknya tadi adalah lelucon.
“Nek, yang bisa bikin hamil Nala itu cuman Kak Gaza, bukan hujan. Nenek kebanyakan nongkrong sama ibu-ibu jadinya gini.” Rey merangkul Puspa yang menatapnya tajam.
“Jangan ketawa!” Puspa memarahi Rey.
Pria itu langsung bungkam, ia hanya bisa melirik Nala kemudian ke arah Zanna seolah meminta pertolongan. Gaza dan Nala hanya bisa diam, sekali lagi mereka dituntut akan sesuatu yang tak bisa mereka berikan.
“Bu, itu mitos jaman dulu,” ucap Iskandar berusaha menenangkan Ibunya.
Nala mengangguk menyetujui ucapan ayah mertuanya, itu hanya mitos dan tak mungkin berhasil pada dirinya dan Gaza.
“Iya Bu, di luar juga hujan deras dan anginnya kencang. Bukannya hamil, yang ada Gaza dan Nala masuk angin.” Maya angkat bicara.
Nala melirik ke arah Bundanya, Ratih hanya bisa tersenyum dan mengangguk seolah meminta Nala mengikuti kemauan Nenek Puspa.
“Gak, pokoknya kalian harus mencoba, setidaknya sekali saja.” Suara Puspa tegas dan tak ingin di bantah.
“Bu, kita tanya Anggia saja. Anggia seorang dokter, gak ada hubungannya hujan dan hamil.” Maya mengelus lengan Anggia meminta perempuan muda itu membantu untuk menjelaskan secara medis.
“Nek, Ibu benar. Sampai sekarang tidak ada yang membuktikan bahwa hujan-hujanan bisa memudahkan seseorang untuk hamil.” Anggia menjelaskan dengan sangat hati-hati. Dokter muda itu tau bahwa wanita seusia Puspa sangat mudah tersinggung.
“Nek, tunggu hujan selanjutnya aja ya…” pinta Nala sedikit memelas.
“Anggia, kamu tidak akan tahu sampai kamu ada di posisi pejuang garis dua. Apapun akan kamu usahakan untuk bisa hamil. Kalian berdua juga…” Setelah menasehati Anggia, kini Puspa menatap ke arah Gaza dan Nala, telunjuknya mengarah pada wajah Gaza. “Ini namanya usaha, apa susahnya sih keluar sebentar. Lima belas menit aja,” ucap Puspa sedikit mendorong Gaza agar mendekat pada Nala.
“Nek…” panggil Zanna ragu. “Nanti aja ya, ini malam. Hujannya juga deras banget, Nala juga tadi habis kesiram air panas, muntah-muntah karena ayam bakarnya mentah. Ini juga Nala sudah basah, karena tadi bolak balik ke belakang. Jadi besok-besok aja yah…” bujuk Zanna pelan.
Iskandar memberi isyarat pada Zanna agar tidak ikut campur, pria paruh baya itu hanya bisa menghela nafas pasrah, ia sudah tau jawaban dari Ibunya itu. Jadi pria itu hanya bisa menyaksikan perdebatan yang tak bisa ia tangani.
“Gak! Keluar kalian berdua. Lima belas menit atau semalaman kalian berdua di luar.” Puspa menunjuk ke arah pintu. Ia seolah menolak semua bujukan yang keluarganya berikan.
Nala tersenyum, ia melirik sekali lagi ke arah Gaza. Tapi pria itu hanya mengangguk setuju. Untuk kesekian kalinya, pria yang sudah menjadi suaminya tiu tak bisa tegas jika sudah berhadapan dengan keluarganya.
“Baik, Nek.” Nala memilih mengalah, anggap saja sebagai bayaran sebab wanita tua itu sudah perhatian padanya tadi.
Nala berjalan dengan cepat, menuju pintu dapur dan keluar menuju ke halaman belakang. Ia tak peduli pada Gaza, bahkan meninggalkan pria itu di belakang. Samar-samar ia mendengar suara langkah mengejarnya.
Gaza melangkah dengan cepat, ia berusaha mengejar Nala yang tiba-tiba pergi tanpa mengajaknya. Jika bukan Neneknya yang menyenggol tangannya, pria itu tak akan tau jika Nala meninggalkannya.
“Sayang…” panggil Gaza sembari menarik tangan Nala.
Nala menghentikan langkahnya, ia membalikan tubuhnya siap memarahi Gaza. Tapi tindakannya urung ia lakukan saat melihat Puspa dan Mertuanya berdiri di belakang Gaza. Tak lama Rey dan Zanna pun muncul di belakang.
“Ayo…” ucap Nala menarik tangan Gaza pelan. Nanti, ada waktunya Nala ingin meluapkan semua emosinya hari ini.
Nala dan Gaza berjalan ke taman belakan rumah, dalam sekejap tubuh keduanya basah kuyup. Nala berusaha mengusap wajahnya saat air hujan membuat matanya perih. Di antara tetes air hujan yang dingin, ada tetesan hangat yang ikut membasahi wajah Nala. Nala menangis, entah karena apa, perasaannya tiba-tiba sedih.
“Cengeng banget,” gumamnya pelan, perempuan dengan bibir yang mulai membiru itu memilih memalingkan wajahnya. Ia tak mau Gaza menyadari bahwa ia menangis saat ini.
Gaza melirik ke arah beberapa orang yang menonton keduanya. Nenek Puspa tersenyum puas, sedangkan Rey dan Zanna menatap penuh kasihan.
Ia menghela nafasnya lelah. Pikirannya tak karuan, ia melirik Nala yang perlahan-lahan menjauh darinya. Gaza menarik tubuh Nala mendekat, ia menutupi kepala Nala dengan kedua tangannya, walaupun ia tahu itu hal yang sia-sia.
“Maaf,” bisik Gaza, ia bisa melihat mata Nala yang memerah.
Nala diam, ia berusaha mencernah kata maaf yang keluar dari bibir suaminya itu.
“Untuk apa?” tanya Nala lirih.
Gaza melangkah maju, ia mengikis jarak antara dirinya dan Nala. Ini kali pertama dalam setahun ia menatap mata Nala. Tak ada lagi binar indah dari mata bulat milik Nala.
Tangan Gaza bergerak perlahan, menyentuh pipi bulat Nala. Keputusan yang ia ambil satu tahun lalu ternyata membuat keduanya terkurung dalam hubungan yang menyakitkan. Hatinya sedang berusaha, berusaha keluar dari jerat masa lalu. Gaza tau, Nala adalah gadis yang baik, tak mungkin membiarkanmu tersiksa dalam cinta yang semu.
“Aku salah paham, untuk kaki mu dan juga saat kamu berlari ke kamar mandi untuk muntah. Aku minta maaf,” ucap Gaza memperjelas tujuan maafnya.
Nala tersenyum, ia mengangguk seolah tak mempermasalahkan hak itu lagi. Ia memilih memeluk dirinya, tak berniat menjawab ucapan Gaza.
“Aku dan Anggia…” Gaza menjeda ucapannya, ia ragu tapi harus dibicarakan. “Kami tidak seperti yang kamu pikirkan, kami hanya membahas mengenai pembangunan klinik Anggia. Dia hanya meminta pendapat, karena aku dosen arsitek.” Pelan dan sangat hati-hati. Tiap kata yang Gaza ucapkan ia memperhatikan wajah Nala, biasa saja seolah tak terusik.
“Mas…” panggil Nala. Ia mengerutkan keningnya seolah menimbang setiap kata yang ingin diucapkan pada Gaza.
“Apa, La?” tanya Gaza penasaran.
“Tentang kamu dan Kak Anggia, memangnya apa yang aku pikirkan? Aku bahkan berharap kalian ada hubungan, agar aku bisa lepas dari kamu.”
Gaza mengeraskan rahangnya, Nala seolah meneguhkan hatinya dan tetap ingin berpisah.
“Gak ada perpisahan, Nala!” tegas Gaza.
“Kamu bisa berbicara begitu tegas padaku, tapi kenapa membuat mempertegas komitmen pernikahan kita saja kamu gak bisa? Mau di bawah kemana rumah tangga kita, Mas?” tanya Nala, dengan suara sedikit menggebu.
“Pelan-pelan, La. Gak semua bisa diburu-buru.”
“Bisa, Gaza! Kamu aja gak mau berusaha.” Nala seolah melupakan sopan satunya dengan menyebut nama Gaza tanpa embel-embel Mas.
Gaza menggeleng, tapi tangannya menggenggam jemari Nala cukup kuat.
“Mas, lihatlah sekaran? Hamil, hujan-hujanan, jamu-jamuan, dokter bahkan mereka meminta kamu menikah lagi. Itu karena aku terlalu banyak memberi waktu. Aku capek, Mas. Aku menunggu kamu untuk berubah, tapi sepertinya batas kesabaranku cukup sampai di sini,” ucap Nala sembari menarik diri dari Gaza.
Gaza membeku, ucapan Nala tak ada yang salah, siapapun pasti akan kecewa. Bahkan Gaza kecewa pada dirinya sendir, terlalu lalai, terlalu abai hingga semuanya tersakiti.