Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25: CAKRAWALA YANG BERDARAH
Gelombang Laut Jawa menghantam lambung kapal nelayan Pharos dengan ritme yang tidak menentu, menciptakan suara deburan yang monoton dan mencekam. Di dalam kabin bawah yang sempit, bau solar yang menyengat bercampur dengan aroma obat-obatan steril dan uap laut yang asin. Lampu bohlam kuning yang tergantung di langit-langit berayun pelan, melemparkan bayangan panjang yang tampak seperti jemari hantu yang menari di dinding besi yang berkarat.
Firman duduk di kursi lipat di sudut ruangan, tubuhnya bersandar kaku. Kepalanya masih dibebat perban yang kini mulai menguning oleh rembesan cairan luka. Matanya yang merah karena kurang tidur menatap lurus ke arah brankar tempat Yasmin terbaring.
Ia baru saja membersihkan sisa-sisa darah dari Halaman 16 yang hancur. Kalimat tentang Yasmin yang lahir "alami" terus berputar di otaknya seperti piringan hitam yang rusak. Jika Yasmin lahir alami dan dia adalah produk rekayasa, apakah mereka benar-benar saudara kembar? Ataukah dia hanyalah "bayangan" yang diciptakan untuk menemani Yasmin?
Tiba-tiba, sebuah erangan pelan terdengar.
Yasmin menggerakkan jemarinya. Kelopak matanya bergetar hebat sebelum akhirnya terbuka. Untuk beberapa detik, matanya menatap langit-langit kabin dengan kosong. Namun, saat kesadarannya pulih seutuhnya, sebuah kilatan kengerian melintas di mata jernih itu.
Ia menoleh dan melihat Firman.
"Jangan... jangan mendekat," suara Yasmin pecah, serak, dan dipenuhi dengan rasa jijik yang tidak bisa disembunyikan.
Firman yang hendak berdiri untuk memberikan air mineral, mendadak membeku. Tangannya menggantung di udara. "Yas... ini saya. Kamu sudah aman."
"Aman?" Yasmin tertawa getir, sebuah tawa yang terdengar menyakitkan. Ia mencoba bangun, namun tubuhnya yang masih lemah membuatnya jatuh kembali ke bantal. "Bagaimana bisa aku merasa aman saat pria yang selama ini aku biarkan menyentuh hatiku... ternyata adalah saudaraku sendiri? Kamu dengar apa yang dikatakan Syarifuddin di Bromo, kan, Firman? Kita ini dosa! Kita ini produk laboratorium yang menjijikkan!"
"Yasmin, dengerin saya dulu"
"TIDAK!" Yasmin berteriak, air mata mengalir deras membasahi pipinya yang pucat. "Aku ingat semuanya sekarang! Aku ingat soal diari merah itu! Aku ingat soal Kakek yang membunuh ibumu! Dan sekarang... sekarang aku harus menerima kenyataan kalau aku mencintai darahku sendiri? Aku merasa kotor, Firman! Setiap kali aku ingat ciumanmu di Tawangmangu, aku ingin merobek kulitku sendiri!"
Firman merasakan jantungnya seolah diremas oleh tangan raksasa. Inilah yang paling ia takutkan. Bukan penjara, bukan kematian, tapi tatapan kebencian dari satu-satunya orang yang menjadi alasannya untuk tetap menjadi manusia.
"Saya tidak tahu kebenarannya, Yas," suara Firman merendah, sangat pelan hingga hampir tertelan suara mesin kapal. "Syarifuddin bisa saja bohong. Dia ingin menghancurkan kita dari dalam. Dia ingin kita saling membenci agar Proyek Lentera tetap aman."
"Tapi fakta diari itu nyata, Firman! Ibu Diana merawatku karena rasa bersalah keluargaku padamu!" Yasmin membuang muka, menolak menatap Firman. "Pergi... aku mohon, pergi dari ruangan ini. Aku tidak bisa bernapas jika kamu ada di sini."
Firman berdiri perlahan. Ia merasa seperti pecundang yang baru saja kehilangan medan perangnya yang paling berharga. Ia berjalan menuju pintu kabin, namun langkahnya terhenti saat pintu itu terbuka dari luar.
Seorang wanita paruh baya dengan pakaian elegan namun tampak lelah masuk. Wajahnya sangat mirip dengan Yasmin, namun dengan garis-garis usia yang menandakan banyak beban yang ia pikul.
Ibu Diana.
Pertemuan di Tengah Samudra, Pukul 02.00 WIB.
Ibu Diana menatap Yasmin dengan kerinduan yang mendalam, lalu beralih menatap Firman dengan tatapan yang penuh hormat sekaligus kesedihan. Di belakangnya, Sarah dan Rendy berdiri dengan wajah tegang.
"Ibu..." bisik Yasmin.
Ibu Diana mendekati Yasmin, mencoba memeluknya, namun Yasmin tampak kaku. Ibu Diana kemudian menoleh ke arah Firman. "Firmansah... kamu benar-benar anak Baskara. Kamu memiliki mata yang sama dengannya. Mata yang tidak akan berhenti sebelum menemukan kebenaran."
"Ibu Diana," suara Firman dingin. "Saya tidak butuh pujian. Saya butuh jawaban. Apa yang terjadi dua puluh tahun lalu? Apakah kami benar-benar saudara?"
Ibu Diana menghela napas panjang. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kaset video VHS lama yang sudah dipindahkan ke format digital dalam sebuah flashdisk. Ia memasukkannya ke sebuah laptop yang ada di meja medis.
"Video ini diambil oleh ibumu, Eliza, secara sembunyi-sembunyi di laboratorium lama Syarifuddin," ucap Ibu Diana. "Kalian harus melihat ini sebelum membuat kesimpulan apa pun."
Layar laptop menyala. Gambar yang muncul adalah gambar hitam putih yang sedikit bersemut. Terlihat sebuah ruangan operasi yang dingin. Eliza terbaring di sana, namun anehnya, di sampingnya ada sebuah inkubator besar yang berisi cairan biru.
Di dalam cairan itu, terlihat janin yang sedang berkembang.
"...eksperimen X-22 menunjukkan keberhasilan," suara Dr. Syarifuddin muda terdengar di latar belakang video. "Subjek alami (Yasmin) berkembang di rahim Eliza, sementara Subjek Rekayasa (Firman) berkembang di dalam bio-reaktor menggunakan sel punca dari Eliza dan Baskara yang sudah dimodifikasi dengan genetik saya sendiri. Firman bukan kembaran Yasmin secara alami. Firman diciptakan untuk menjadi 'suku cadang' organik bagi Yasmin. Jika Yasmin sakit, organ Firman akan menjadi kecocokan 100% tanpa penolakan imun."
Firman dan Yasmin terpaku. Kenyataan ini jauh lebih mengerikan dari sekadar inses.
Firman menyadari bahwa eksistensinya hanyalah sebagai "cadangan". Ia bukan manusia yang lahir karena cinta, melainkan produk medis yang dirancang untuk melayani kehidupan Yasmin. Itulah kenapa ia merasa begitu protektif pada Yasmin itu bukan hanya cinta, tapi "pemrograman" genetik yang tertanam di sel-sel tubuhnya.
"Jadi... kami bukan saudara?" tanya Firman, suaranya bergetar.
"Secara biologis, kalian berbagi 50% DNA Eliza, tapi 50% sisanya berbeda," jawab Ibu Diana pedih. "Syarifuddin menggunakan DNA-nya pada Firman untuk memastikan dia memiliki kendali penuh atas 'produk' ciptaannya. Itulah kenapa ayahmu, Baskara, menculik kalian berdua dari laboratorium. Dia tidak ingin Firman hanya menjadi suku cadang, dan dia tidak ingin Yasmin menjadi boneka Syarifuddin."
Yasmin menatap Firman dengan tatapan yang kini berubah bukan lagi jijik, tapi rasa kasihan yang sangat dalam. Ia menyadari bahwa penderitaan Firman jauh lebih besar. Firman selama ini hidup untuk menjaganya, bahkan sebelum Firman mengenal namanya, karena itu adalah tujuan penciptaannya.
"Mas... Firman..." Yasmin mencoba meraih tangan Firman.
Namun kali ini, Firman-lah yang mundur.
"Jangan sentuh saya, Yas," ucap Firman, suaranya terdengar sangat kosong. "Saya bukan manusia. Saya hanya suku cadang. Semua perasaan saya padamu... semua keinginan saya untuk melindungimu... apakah itu nyata, atau hanya kode genetik yang ditulis oleh Syarifuddin?"
"Man, jangan ngomong gitu!" Rendy menyela, matanya berkaca-kaca. "Lo adalah orang paling manusiawi yang pernah gue kenal! Nggak ada mesin atau kode yang bisa bikin seseorang nekat terjun ke jurang demi orang lain!"
"Syarifuddin benar," Firman tertawa getir. "Saya adalah hantu. Saya adalah bayangan. Dan sekarang, bayangan ini harus menyelesaikan tugasnya."
Firman menatap Ibu Diana. "Di mana data induk Proyek Lentera disimpan? Data yang bisa mematikan seluruh hak paten genetik Syarifuddin?"
Ibu Diana menunjukkan sebuah koordinat di peta satelit. "Di sebuah pulau pribadi di Kepulauan Seribu. 'The Hive'. Itulah jantung dari segalanya. Tapi tempat itu dijaga oleh tentara bayaran, Firman. Kamu tidak bisa masuk ke sana sendirian."
"Saya tidak sendirian," Firman melirik ke arah Sarah. "Sarah, kamu masih punya akses ke sistem navigasi ayahmu, kan?"
Sarah mengangguk mantap. "Aku akan membawamu ke sana, Firman. Sebagai penebusan dosaku."
Malam Hari, di Atas Geladak Kapal.
Firman berdiri menatap hamparan laut yang hitam. Angin laut yang kencang menghempas rambutnya. Di lehernya, ia masih memakai stetoskop Yasmin benda yang kini terasa sangat berat.
Yasmin datang mendekat, ia menyelimuti bahu Firman dengan jaketnya. Mereka berdiri dalam keheningan yang panjang, hanya suara mesin kapal yang menemani.
"Firman..."
"Ya?"
"Aku minta maaf atas apa yang aku katakan tadi di kabin," Yasmin menggenggam tangan Firman. "Aku takut. Tapi setelah melihat video itu... aku sadar kalau kamu adalah anugerah terbesar dalam hidupku. Terlepas dari bagaimana kita diciptakan, kamulah yang memilih untuk mencintaiku. Pilihan itu... itu bukan pemrograman. Itu adalah kehendak bebas."
Firman menoleh, menatap Yasmin dengan tatapan yang sangat lelah. "Jika saya harus mati di pulau itu untuk menghapus semua data tentangmu agar kamu bisa hidup bebas sebagai manusia normal... saya akan melakukannya, Yas."
"Jangan bicara soal mati!" Yasmin memeluk Firman dari belakang, menenggelamkan wajahnya di punggung Firman. "Kita sudah di Level 5, Firman. Level di mana kita menghadapi dunia bersama. Jika kamu pergi ke 'The Hive', aku akan ikut. Aku dokter, aku tahu bagaimana mematikan sistem biotik mereka."
"Terlalu berbahaya, Yas."
"Hidupku sudah berbahaya sejak aku lahir, Mas. Biarkan aku berjuang di sampingmu sebagai satu-satunya keluarga yang aku akui. Bukan sebagai produk, bukan sebagai pasien... tapi sebagai Yasmin-mu."
Firman membalikkan tubuhnya, membalas pelukan Yasmin dengan sangat erat. Di bawah langit yang tak berbintang, di tengah pelarian mereka dari hukum dan sains yang gila, mereka membuat sebuah janji baru. Sebuah janji yang melampaui level mana pun.
Namun, di kejauhan, radar kapal mulai berbunyi nyaring.
"Man! Kapal patroli laut mendekat! Dua kapal cepat!" teriak Rendy dari anjungan.
Firman melepaskan pelukannya. Ia melihat kilatan lampu sorot di cakrawala. Syarifuddin tidak menunggu mereka sampai di Jakarta. Dia datang untuk menjemput "produk"-nya yang hilang.
"Sarah! Siapkan perahu sekoci! Rendy, alihkan perhatian mereka ke arah barat!" perintah Firman. "Yasmin, ikut saya!"
Pelarian mereka memasuki babak yang paling mematikan. Di tengah laut yang luas, mereka harus bertaruh antara kebebasan atau kembali menjadi subjek di bawah mikroskop Syarifuddin.
Kapal nelayan 'Pharos' mulai ditembaki oleh kapal patroli. Firman dan Yasmin berhasil melompat ke sekoci, namun Ibu Diana tertinggal di kapal utama untuk meledakkan barang bukti kaset video tersebut agar tidak jatuh ke tangan musuh. Saat ledakan terjadi, Firman melihat sosok misterius di kapal patroli tersebut seorang pria yang wajahnya sangat mirip dengan ayahnya, Baskara Putra, namun dengan sorot mata yang jahat. Benarkah ayah Firman masih hidup dan bekerja untuk Syarifuddin? Ataukah itu adalah klon lain dari proyek Lentera?