NovelToon NovelToon
Di Bawah Aturan Suami Baruku

Di Bawah Aturan Suami Baruku

Status: sedang berlangsung
Genre:Dokter / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Konflik etika
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ziafan01

Saat Shima lyra senja seorang dokter berbakat di rumah sakit ternama, menemukan suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri, dunianya hancur seketika.
Pengkhianatan itu tidak hanya merenggut pernikahannya, tapi juga rumah, nama baik, dan tempat untuk pulang.
Di titik terendah hidupnya, ia menerima tawaran tak masuk akal datang dari Arru Vance CEO miliarder dingin dengan aturan yang tidak bisa dilanggar. Pernikahan kontrak, tanpa cinta, tanpa perasaan. Hanya ada aturan.
Namun, semakin dekat ia dengan Arru, semakin ia sadar bahwa sisi dingin pria itu menyembunyikan rahasia berbahaya dan hati yang mampu merasakan semua yang selama ini ia rindukan.
Ketika pengkhianatan masa lalu kembali muncul dan skandal mengancam segalanya, Shima harus memilih: mengikuti aturan atau mempertaruhkan segalanya demi cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziafan01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

NASEHAT DARI SAHABAT

Arru tidak menjawab.

Lampu kota berkelip di kejauhan, seolah menandai awal dari sebuah langkah yang tidak bisa ditarik kembali.

Dan di suatu tempat lain

Shima Lyra Senja sedang tertidur,

tanpa tahu bahwa hidupnya akan segera masuk ke dalam aturan seorang pria yang dingin, penuh perhitungan… namun tidak sepenuhnya kejam.

***

Malam di apartemen mereka terasa lebih sempit dari biasanya.

Lampu ruang keluarga menyala redup. Shima duduk di ujung sofa, masih mengenakan pakaian rumah sakit. Rambutnya terurai, wajahnya lelah bukan karena pekerjaan, tapi karena sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan logika medis.

Arya baru keluar dari kamar mandi, mengeringkan rambut dengan handuk. Ia terlihat santai. Terlalu santai.

“Mas,” panggil Shima pelan.

Arya menoleh. “Hm?”

“Kita bisa ngobrol sebentar?”

Arya menatap jam di pergelangan tangannya. “Sekarang? Aku capek.”

“Aku juga,” jawab Shima jujur. “Tapi aku ngerasa… kita perlu.”

Arya menghela napas, lalu duduk di sofa seberangnya. Jarak di antara mereka terasa aneh. Dulu tidak sejauh ini.

“Ada apa?” tanyanya.

Shima meremas jemarinya sendiri. “Akhir-akhir ini kamu berubah. Kamu jarang pulang, sering menghindar. Aku cuma mau tahu… ada yang salah sama kita?”

Arya menatapnya beberapa detik. Wajahnya datar.

“Berubah menurut kamu,” katanya. “Bukan menurutku.”

Kalimat itu jatuh pelan tapi menghantam.

“Mas, aku serius,” lanjut Shima. “Aku cuma pengin kita jujur satu sama lain.”

Arya tersenyum kecil, bukan senyum hangat. “Kamu terlalu banyak mikir, Shima.”

Shima terdiam.

“Kamu dokter,” lanjut Arya, nadanya tenang. “Harusnya kamu tahu kalau kelelahan bisa bikin persepsi jadi nggak objektif.”

“Aku nggak capek sampai halu,” bantah Shima lirih.

Arya mengangkat bahu. “Kamu lihat aku sama Laura ketawa sedikit, langsung mikir macam-macam. Itu normal di tempat kerja.”

“Aku nggak bilang apa-apa soal Laura,” Shima refleks menjawab.

Arya menatapnya tajam sesaat lalu kembali santai.

“Nah, kan. Kamu sendiri yang mikir ke sana.”

Shima menelan ludah.

“Aku cuma ngerasa… kamu makin jauh,” katanya pelan.

Arya berdiri. “Aku kerja keras buat keluarga ini.”

Nada suaranya tidak meninggi, tapi ada tekanan di sana.

“Kamu punya karier, aku juga. Jangan jadikan aku penjahat cuma karena aku sibuk.”

Shima memandang punggungnya. “Aku cuma ingin ditemani.”

Arya berbalik. “Dan aku ingin kamu lebih percaya.”

Hening.

Shima merasa kata-katanya dipelintir. Ia datang membawa kegelisahan, pulang membawa rasa bersalah.

“Maaf,” ucapnya akhirnya. Bukan karena ia yakin salah tapi karena ia lelah.

Arya mendekat, mengecup keningnya singkat. Gerakannya dingin, formal.

“Istirahatlah,” katanya. “Besok kamu operasi besar lagi.”

Ia masuk ke kamar, meninggalkan Shima sendirian di ruang keluarga.

Shima duduk lama di sana.

Ia bertanya pada dirinya sendiri: Apa aku berlebihan? Atau aku hanya tidak ingin melihat kenyataan?

Dan tanpa ia sadari itulah cara gaslighting bekerja.

***

Di ruang kerjanya, Arru duduk sendirian.

Tumpukan berkas terbuka di meja profil medis, rekam jejak profesional, laporan personal. Nama Shima Lyra Senja tercetak jelas di halaman depan.

Arru membaca tanpa ekspresi.

Prestasi akademik.

Reputasi klinis.

Catatan etik bersih.

Ia menutup berkas itu perlahan.

“Cukup,” katanya.

Ethan yang berdiri di dekat jendela menoleh. “Kita lanjut?”

Arru berdiri, merapikan manset kemejanya. “Masuk tahap selanjutnya.”

Ethan mengangguk. Tidak bertanya. Ia tahu maksudnya.

Tahap di mana Arru tidak lagi sekadar mengamati.

Tapi mulai ikut campur.

Di rumah sakit, Shima tidak tahu apa yang sedang bergerak di luar kendalinya.

Ia hanya tahu hari itu terasa lebih berat dari biasanya.

Di ruang rapat kecil departemen, Laura duduk di seberangnya. Senyum profesional terpasang rapi.

“Untuk jadwal operasi minggu depan,” kata Laura sambil membuka laptop, “aku pikir Dokter Shima sebaiknya fokus di kasus ringan dulu.”

Beberapa kepala menoleh ke Shima.

“Kenapa?” tanya dokter senior.

Laura melirik Shima sebentar. “Belakangan performanya terlihat… terdistraksi.”

Kata itu dijatuhkan pelan.

Tapi cukup untuk menempel.

Shima menatap Laura. “Tidak ada keluhan resmi terhadap tindakanku.”

“Tidak,” jawab Laura cepat. “Tapi sebagai teman, aku khawatir.”

Sebagai teman.

Shima merasakan sesuatu runtuh di dadanya.

Di UGD, Arya semakin sulit dikenali.

“Shima, kamu salah input,” katanya dengan suara rendah cukup keras untuk didengar dua perawat.

“Itu data pasien bed tujuh,” jawab Shima tenang.

Arya mendekat. “Kamu yakin? Atau kamu lagi nggak fokus?”

Nada itu.

Bukan marah.

Tapi merendahkan.

Shima membenarkan tanpa debat. Ia tahu jika ia melawan, ia akan terlihat defensif. Emosional. Tidak profesional.

Beberapa jam kemudian, Arya melewatinya tanpa menyapa.

Laura menyusul. “Shim, kamu jangan bawa perasaan ke kerjaan, ya.”

Shima menoleh. “Aku tidak.”

Laura tersenyum tipis. “Kelihatannya iya.”

Sore hari, Shima duduk sendirian di ruang ganti.

Buku catatan kecil itu kembali terbuka.

Hari ini:

Laura mempertanyakan kompetensiku di rapat.

Arya bicara padaku seolah aku anak didiknya.

Tidak ada yang membelaku.

Tangannya berhenti menulis.

Untuk pertama kalinya, Shima tidak merasa ragu.

Ia merasa didorong.

Dan di tempat lain

Arru Vance baru saja memberi izin pada roda yang akan menghancurkan kebohongan itu.

Bukan dengan amarah.

Bukan dengan kekerasan.

Melainkan dengan kebenaran yang tidak bisa lagi disembunyikan.

***

Malam kembali menyelimuti rumah sakit.

Koridor lantai atas nyaris kosong. Lampu-lampu menyala dingin, memantul di lantai mengilap yang menyimpan jejak langkah para tenaga medis yang belum pulang.

Shima baru saja keluar dari ruangannya ketika langkah seseorang berhenti tepat di depannya.

Ia mendongak.

Arru Vance.

Malam membuatnya tampak lebih dingin dari biasanya. Jas gelap tanpa dasi, kemeja terbuka satu kancing. Tatapannya tajam, tapi tidak mengancam.

“Dokter Senja,” sapa Arru singkat.

“Tuan Vance,” balas Shima, refleks menunduk sopan.

“Masih bekerja?” tanyanya.

Shima mengangguk. “UGD belum benar-benar tenang.”

Arru menatap koridor yang sunyi. “Anda seharusnya pulang.”

Kalimat itu bukan perintah. Bukan juga perhatian yang berlebihan. Tapi entah kenapa Shima merasa diperhatikan.

“Saya terbiasa,” jawabnya.

Arru mengangguk kecil. “Terlalu terbiasa, kadang, membuat orang lupa kapan harus berhenti.”

Shima tidak tahu harus menjawab apa.

Sebelum suasana menjadi canggung, suara ponsel berdering keras bukan dari saku mereka, tapi dari nurse station di ujung koridor.

“Pasien gawat darurat masuk!” teriak seorang perawat.

Suasana langsung berubah.

Arru melangkah mundur, memberi ruang. “Lakukan pekerjaan Anda.”

Shima berlari menuju UGD.

Kekacauan datang cepat.

Pasien trauma berat. Tekanan darah menurun drastis. Semua bergerak serentak.

Laura berdiri di sisi pasien dengan wajah penuh percaya diri. “Aku ambil alih,” katanya cepat.

Shima mengamati dari seberang bed.

Laura memberi instruksi terlalu cepat. Terlalu yakin.

“Obatnya,” ujar Shima pelan, “dosisnya…”

“Sudah benar,” potong Laura. “Aku tahu.”

Beberapa detik kemudian, monitor berbunyi tajam.

Nada yang salah.

Shima melangkah maju. “Hentikan. Itu overdosis.”

Laura membeku.

Arya segera mendekat. “Tenang. Ini masih bisa dikoreksi.”

“Tapi kesalahan itu bisa fatal,” ucap Shima. Suaranya datar, profesional.

Arya menoleh tajam. “Jangan bikin panik tim.”

Laura menunduk, wajahnya pucat. “Aku cuma…”

“Aku yang bertanggung jawab,” potong Arya cepat. “Laura hanya mengikuti protokol.”

Shima menatap mereka berdua.

Bukan marah.

Bukan terluka.

Kosong.

Arru berdiri di dekat pintu UGD. Ia tidak masuk. Tidak mengganggu. Tapi ia melihat semuanya.

Tatapan itu tidak melewatkan satu detail pun.

Setelah pasien stabil, Shima tidak ikut berdiskusi.

Ia kembali ke ruangannya.

Duduk.

Menyalakan ponselnya.

Tangannya menggulir layar tanpa fokus pesan grup medis, notifikasi jurnal, berita yang tak ia baca.

Di luar, suara langkah Arya dan Laura terdengar. Arya tertawa kecil, mencoba menenangkan.

“Kamu terlalu keras sama diri sendiri,” kata Arya pada Laura. “Siapa pun bisa salah.”

Shima mematikan layar ponselnya.

Ia bersandar di kursi, menatap dinding putih di depannya.

Malam itu, untuk pertama kalinya, ia tidak menangis.

Tidak bertanya.

Tidak membela diri.

Ia hanya diam.

Dan Arru Vance yang berdiri beberapa meter dari ruang itu akhirnya yakin:

Perempuan ini sudah sampai di batasnya.

Dan ketika seseorang diam setelah sekian lama bertahan

Itu bukan kelemahan.

Itu awal dari perubahan.

1
Wita S
kereennnn
Sweet Girl
Siram bensin terus aja...
Sweet Girl
Buat memelihara bangkai di rumah, Laura... mending dibuang aja.
Sweet Girl
Dan bakal kehilangan Dana segar Luuu pada...
Sweet Girl
Asyeeek... beli yang kau mau, Shima...
bikin mereka yg menyakiti melongo.
Sweet Girl
Tunggu tanggal mainnya duo penghianat.
ketawa aja kalian sekarang sepuasnya, sebelum ketawa itu hilang dr mulut kalian.
Sweet Girl
Nah Lu... kapok Lu... sekalian aja seluruh Penghuni rumah sakit denger...
Sweet Girl
Kelihatan sekali yaaaa klo kalian itu bersalah.
Sweet Girl
Ada Gondoruwo🤪
Sweet Girl
Kamu pikir, setelah kau rampas semua nya, Shima bakal gulung tikar...
OOO tentu tidak... dia bakal semakin kaya.
Sweet Girl
Masuklah sang Penguasa 🤣
Sweet Girl
Dan pilihan mu akan menghancurkan mu... ojok seneng disek...
Sweet Girl
Kamu yang berubah nya ugal ugalan Brooo
Sweet Girl
Ndak bahaya ta... pulang sendiri dengan nyetir mobil sendiri?
Sweet Girl
Kok ngulang Tor...???
Sweet Girl
Wes ora perlu ngomong, Ndak onok paedaheee.
Sweet Girl
Naaah gitu dong... semangat membongkar perselingkuhan Suami dan sahabat mu.
Sweet Girl
Musuh dalam selimut, iya.
Sweet Girl
Gayamu Ra... Ra... sok bener.
Sweet Girl
Kamu jangan kebanyakan mikir tho Syma...
mending bergerak, selidiki Arya sama Laura.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!