"Satu detik di sini adalah satu tahun di dunia nyata. Beranikah kamu pulang saat semua orang sudah melupakan namamu?"
Bram tidak pernah menyangka bahwa tugas penyelamatan di koordinat terlarang akan menjadi penjara abadi baginya. Di Alas Mayit, kompas tidak lagi menunjuk utara, melainkan menunjuk pada dosa-dosa yang disembunyikan setiap manusia.
Setiap langkah adalah pertaruhan nyawa, dan setiap napas adalah sesajen bagi penghuni hutan yang lapar. Bram harus memilih: membusuk menjadi bagian dari tanah terkutuk ini, atau menukar ingatan masa kecilnya demi satu jalan keluar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr. Awph, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14: Jerat ribuan tangan busuk
Mahluk ribuan tangan itu kini sudah berada tepat di belakang Baskara dan mulai melingkarkan salah satu jemarinya yang busuk ke leher pemuda itu. Aroma daging mati yang terendam air selama puluhan tahun menyeruak masuk ke dalam hidung Baskara hingga membuatnya tersedak secara terus-menerus.
Kuku-kuku hitam yang panjang mulai menusuk kulit lehernya dan mengeluarkan cairan kental berwarna keunguan yang terasa sangat perih. Baskara berusaha melepaskan diri namun ribuan tangan lain mulai merayap keluar dari sungai hitam untuk menangkap kedua kaki dan tangannya secara berulang-ulang.
Arini berteriak histeris sambil melemparkan sebotol cairan pembersih luka ke arah mahluk tersebut namun botol itu justru ditangkap oleh salah satu tangan yang melayang di udara. Mahluk itu meremas botol kaca tersebut hingga hancur berkeping-keping dan pecahannya jatuh membasahi tumpukan kain kafan di bawah mereka.
"Gunakan kunci perak itu sekarang atau kita semua akan menjadi santapan abadi sungai ini!" teriak Arini dengan suara yang melengking ketakutan.
Baskara menatap telapak tangan kanannya yang berdenyut hebat seolah ada jantung kecil yang sedang mencoba meledak dari dalam dagingnya. Ia tahu bahwa menggunakan kunci itu berarti menyerahkan sisa kemanusiaannya pada kutukan Alas Mayit yang sangat haus akan pengabdian secara terus-menerus.
Namun, cengkeraman pada lehernya semakin kuat hingga pandangan Baskara mulai dipenuhi oleh bayangan wajah-wajah korban yang pernah tenggelam di sungai hitam ini. Wajah-wajah itu menatapnya dengan penuh harap seolah meminta Baskara untuk membebaskan mereka dari siksaan yang tidak pernah berakhir secara berulang-ulang.
"Aku tidak punya pilihan lain jika ingin kita tetap hidup, Arini!" seru Baskara sambil menghantamkan telapak tangannya ke arah lubang kunci di gerbang kayu.
Seketika itu juga, cahaya keemasan meledak keluar dari jahitan telapak tangan Baskara dan menyambar seluruh rantai besi yang melilit gerbang kayu tersebut. Suara jeritan ribuan nyawa terdengar menggema dari dalam kayu tua itu saat kunci perak mulai berputar dan menyatu dengan mekanisme gaib di dalamnya.
Mahluk ribuan tangan itu terlempar mundur karena kekuatan panas yang terpancar dari tubuh Baskara hingga lengannya hancur menjadi debu hitam yang sangat pekat. Baskara jatuh berlutut dengan napas yang terengah-engah sementara gerbang kayu itu perlahan-lahan terbuka dan memperlihatkan sebuah jalur baru yang dipenuhi kabut.
"Cepat masuk ke dalam sebelum gerbang ini tertutup kembali oleh akar-akar pohon beringin!" perintah Arini sambil menarik paksa pundak Baskara yang masih lemas.
Mereka melompat masuk tepat saat akar-akar raksasa mulai merayap naik dan membelit kembali gerbang kayu tersebut hingga hancur berkeping-keping. Di balik gerbang, mereka mendapati diri mereka berada di sebuah padang rumput yang warnanya merah darah dan bergoyang mengikuti arah angin secara terus-menerus.
Baskara melihat ke arah telapak tangannya dan menyadari bahwa jahitan di sana telah hilang sepenuhnya namun berganti dengan simbol kunci perak yang permanen. Simbol itu memancarkan hawa dingin yang mulai menjalar ke arah jantungnya seolah-olah ia sedang membawa sebongkah es di dalam pembuluh darahnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada tanganku, Arini? Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang sedang menghisap jiwaku?" tanya Baskara sambil gemetar hebat.
Arini tidak segera menjawab melainkan hanya menatap ke arah horison di mana sebuah menara tinggi yang terbuat dari tulang manusia mulai terlihat di balik kabut. Ia mengambil sebuah kain bersih dari tas medisnya dan membalut tangan Baskara dengan sangat hati-hati namun tatapannya tampak menyimpan rahasia yang sangat besar.
"Kunci itu sekarang sudah menyatu dengan aliran darahmu, dan setiap kali kamu menggunakannya, umurmu akan berkurang satu tahun," jelas Arini dengan nada suara yang sangat datar.
Baskara tertegun mendengar penjelasan tersebut dan merasa bahwa dirinya kini hanyalah sebuah alat yang digunakan oleh kekuatan yang jauh lebih besar dari sekadar misi penyelamatan. Ia teringat pada pesan ayahnya tentang harga yang harus dibayar bagi siapa pun yang berani mengusik ketenangan para penghuni Alas Mayit secara berulang-ulang.
Mereka mulai berjalan melewati padang rumput merah yang setiap helainya terasa sangat tajam dan mampu mengiris permukaan sepatu tim SAR yang Baskara kenakan. Suara bisikan-bisikan dari bawah tanah kembali terdengar dan kali ini mereka memanggil nama lengkap Baskara dengan nada yang sangat merayu dan penuh dengan janji palsu.
"Jangan dengarkan suara mereka, itu hanyalah mahluk peniru yang mencoba menyesatkan langkah kita menuju menara tulang," ucap Arini sambil terus berjalan di depan.
Tiba-tiba, tanah di bawah kaki mereka meledak dan mengeluarkan ribuan ulat putih yang ukurannya sebesar jari tangan orang dewasa secara terus-menerus. Ulat-ulat itu memiliki wajah manusia yang sangat kecil dan mereka mulai merangkak naik ke kaki Baskara sambil menggigit dagingnya dengan gigi yang sangat tajam.
Baskara berteriak kesakitan dan mencoba mengibaskan ulat-ulat tersebut namun mereka justru semakin banyak yang keluar dari dalam tanah merah tersebut. Ia melihat Arini justru berdiri diam dan tidak diserang sedikit pun oleh ulat-ulat menjijikkan itu seolah-olah ia memiliki pelindung yang tidak terlihat.
"Arini! Tolong aku! Kenapa mahluk-mahluk ini hanya menyerangku saja?" teriak Baskara sambil berusaha mencabut ulat yang sudah masuk ke dalam kulit kakinya.
Arini hanya menatap Baskara dengan tatapan yang sangat asing dan perlahan-lahan kulit wajahnya mulai mengelupas hingga memperlihatkan lapisan otot merah yang sangat basah. Ia tersenyum tipis dan suara yang keluar dari mulutnya bukan lagi suara Arini melainkan suara Komandan yang selama ini menjadi pimpinannya.
"Karena kunci itu hanya ingin memakan daging dari pemilik aslinya, bukan dari bayangan seperti kami," ucap sosok yang menyerupai Arini tersebut.
Baskara menyadari bahwa ia kembali tertipu oleh mahluk peniru yang sangat cerdik dan telah menggunakan wajah rekannya untuk mendapatkan kepercayaan yang sangat dalam. Ia mencoba meraih belati peraknya namun seluruh tubuhnya sudah tertutup oleh ribuan ulat putih yang mulai membungkusnya seperti sebuah kepompong manusia.
Di tengah rasa sakit yang luar biasa, Baskara melihat sebuah cahaya perak muncul dari arah menara tulang dan menghantam gerombolan ulat tersebut hingga mereka hangus terbakar. Sesosok pria dengan pakaian seragam tim SAR yang asli namun sudah sangat compang-panting berlari mendekati Baskara dengan memegang sebuah senjata rakitan.
"Tetaplah sadar, Baskara! Aku akan mengeluarkanmu dari jeratan mahluk-mahluk pemakan daging ini sekarang juga!" seru pria itu dengan penuh semangat.
Baskara menatap wajah penyelamatnya dan ia merasa jantungnya hampir berhenti berdetak saat melihat bahwa pria itu adalah rekan timnya yang pertama kali dinyatakan hilang. Namun, pria itu memiliki luka yang sangat lebar di bagian perutnya hingga ususnya yang sudah menghitam terlihat menggantung keluar secara terus-menerus.
Pria yang terluka parah itu kemudian menarik Baskara masuk ke dalam sebuah lubang perlindungan yang di dalamnya penuh dengan botol-botol berisi darah manusia.