Ketika Romeo dan Tina mengunjungi sebuah museum desa terpencil, mereka tidak pernah menyangka bahwa patung kuno sepasang Dewa Dewi Asmara akan membawa mereka ke dunia lain—Asmaraloka, alam para dewa yang penuh kemegahan sekaligus misteri. Di dunia ini, mereka bukan lagi manusia biasa, tapi reinkarnasi dari Dewa Kamanjaya dan Dewi Kamaratih—penguasa cinta dan perasaan.
Terseret dalam misi memulihkan keseimbangan cinta yang terkoyak akibat perang para dewa dan iblis, Romeo dan Tina harus menghadapi perasaan yang selama ini mereka abaikan. Namun ketika cinta masa lalu dan masa kini bertabrakan, apakah mereka akan tetap memilih satu sama lain?
Setelah menyadari kisah cinta mereka yang akan berpisah, Sebagai Kamanjaya dan Kamaratih mereka memilih hidup di dunia fana dan kembali menjadi anak remaja untuk menjalani kisah yang terpisahkan.
Asmaraloka adalah kisah epik tentang cinta yang melintasi alam dan waktu—sebuah petualangan magis yang menggugah hati dan menyentuh jiwa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Misi Ketuju
Asmaraloka malam itu bagai lukisan surgawi yang hidup. Bintang-bintang berpendar lembut di langit ungu keperakan, dan semerbak bunga abadi melayang di udara, seperti bisikan para dewa yang menyanyikan lagu cinta. Taman-taman bercahaya, kolam-kolam yang memantulkan kilau rembulan, dan angin yang membawa harum kenanga, semuanya menyatu dalam satu kata: keabadian.
Di tengah keheningan yang memabukkan indah itu, dua sosok berjalan perlahan. Sang Dewa Kamanjaya, dalam balutan jubah merah marun bersulam emas, menatap wajah di pelukannya dengan senyum yang tak lagi bisa ia sembunyikan. Di dalam dekapannya, sang Dewi Kamaratih—Tina—tersenyum malu, tapi tidak menolak. Ia memeluk leher sang dewa, membiarkan dirinya dibawa oleh cinta yang kini tak perlu ditahan-tahan lagi.
“Gue gak pernah nyangka lo bisa se-romantis ini,” bisik Tina pelan, pipinya merona seperti kelopak bunga cempaka.
Kamanjaya mengerling. “Dulu mungkin enggak. Tapi sekarang, gue inget semuanya, Tin. Dari pertemuan pertama kita di surga, sampai waktu lo dipisahkan dari gue. Sejak itu, gue janji... kalau kita ketemu lagi, lo gak akan pernah gue lepas.”
Tina menunduk, menyembunyikan senyumnya. Tapi hatinya bergemuruh—bukan karena takut, tapi karena akhirnya, ia tahu: cinta itu bukan soal siapa yang lebih dulu jatuh, tapi siapa yang mau jatuh bersama-sama.
Langkah demi langkah mereka menyusuri koridor istana. Dindingnya berhiaskan bunga yang bergerak lembut seperti bernapas, menyala dalam nuansa merah muda dan emas. Lantainya menyala di bawah kaki mereka, seolah semesta Asmaraloka merayakan kembalinya cinta suci yang dahulu terpecah oleh kutukan waktu.
Ketika mereka tiba di depan kamar yang dahulu adalah tempat bersemayamnya jiwa-jiwa mereka, pintu kayu jati langit itu terbuka perlahan dengan sendirinya. Di dalam, tirai-tirai tipis menari, dipeluk angin lembut. Ranjang berselimut kelopak mawar abadi menanti mereka—bukan hanya sebagai simbol asmara, tapi sebagai tempat pemulihan, penyatuan jiwa yang telah lama tersesat di dunia fana.
Kamanjaya menurunkan Kamaratih perlahan di tepi ranjang, lalu duduk di sisinya. Ia menggenggam tangan Tina, mengangkatnya, dan mencium punggung tangannya dengan lembut.
“Sekarang lo tahu,” bisiknya, “kita gak sekadar partner misi. Kita ini takdir.”
Tina memejamkan mata. Air bening turun perlahan di pipinya. Tapi bukan air mata duka. Itu adalah air mata cinta yang telah lama tertahan. Cinta yang selama ini ia pikir hanya remeh–kasar, saling ejek, saling ganggu. Ternyata... sejak awal, itu adalah cara semesta mempertemukan kembali dua jiwa yang seharusnya tak pernah dipisahkan.
Dan malam itu, Asmaraloka menjadi saksi.
Bukan hanya penyatuan kembali dua dewa cinta, tapi kebangkitan cinta sejati—yang telah melewati pengkhianatan, luka, perpisahan, ketakutan... namun tetap kembali, karena memang takdir mereka adalah satu.
Kamanjaya dan Kamaratih.
Romeo dan Tina.
Dua nama, satu hati.
Dan cahaya cinta itu kini kembali menyinari jalan semua manusia yang lupa bagaimana mencintai.
Cahaya lembut mentari Asmaraloka menembus tirai tipis yang melambai pelan di angin pagi. Burung-burung surgawi bernyanyi dengan suara merdu yang nyaris seperti alunan harpa. Tapi di dalam kamar itu—yang semalam jadi saksi penyatuan hati yang tak terucap—sebuah jeritan kecil memecah ketenangan.
“ROMEO! Bangun! Jangan peluk-peluk! Kita belum nikah!!” seru Tina dengan wajah merah padam dan mata membelalak.
Romeo yang masih setengah sadar membuka matanya perlahan. Lalu tersadar—kedua tangannya melingkar nyaman di pinggang Tina, yang kini duduk memelototinya dari atas ranjang mewah. Selimut berserakan, bantal beterbangan, dan jantung keduanya berdetak lebih kencang dari genderang perang para dewa.
“Eh—gue... gue nggak sengaja, Tin! Sumpah demi Dewata!” Romeo panik, langsung bangkit dan mundur sambil menarik bantal sebagai tameng.
Tina memeluk dirinya sendiri, menatapnya dengan ekspresi campur aduk antara kesal, malu, dan... sedikit—hanya sedikit—berdebar.
“Astaga, ini masih di Asmaraloka! Jangan sampai para dewa salah paham!” ucap Tina, buru-buru memperbaiki rambutnya yang berantakan. Tapi di balik kata-katanya, ada detak hati yang tak bisa ia kendalikan.
Romeo pun berdiri kaku, berdeham beberapa kali. “Eh... iya, iya. Sorry banget. Mungkin semalam kita... terlalu nyaman.”
Mereka saling diam sejenak.
Hening.
Sampai cahaya putih keemasan muncul tiba-tiba di sudut ruangan. Sebuah lonceng berdentang dari langit. Dan suara merdu Sang Brahmana menggema dari udara.
"Wahai Kamanjaya dan Kamaratih... misi terakhir kalian telah menanti. Cinta yang lupa bagaimana mencintai. Kalian harus turun sebelum rasa itu lenyap dari dunia fana..."
Tina dan Romeo menatap satu sama lain. Wajah mereka masih merah, tapi kini fokus telah berubah.
Romeo menarik napas dalam, lalu tersenyum kecil. “Oke. Waktunya kerja lagi.”
Tina mengangguk, masih sedikit menunduk. “Iya... Tapi—jaga jarak ya. Gue masih malu.”
Romeo tertawa kecil sambil mengangguk. “Siap. Titisan dewa, bukan titisan buaya.”
Dan dengan satu langkah menuju lingkaran cahaya di lantai, tubuh mereka kembali melayang perlahan menuju dunia fana—menuju misi terakhir yang paling berat: membangkitkan cinta yang telah lupa bagaimana mencintai.
Tapi tak ada yang lebih rumit dari hati mereka sendiri yang kini mulai meraba-raba... apakah misi ini akan menjadi akhir dari segalanya—atau awal yang baru bagi cinta mereka.
Dunia Fana - Rumah Batu Abu-Abu
Ketika cahaya Asmaraloka meredup di pandangan, tubuh Romeo dan Tina melayang turun di antara kabut tipis dan hawa dingin yang menyusup ke kulit. Mereka tiba di sebuah rumah tua di lereng bukit. Rumah itu sunyi, tak ada suara. Hanya dengusan angin dan gesekan daun kering.
“Apa ini tempatnya?” tanya Tina pelan, mengusap lengan untuk mengusir dingin.
Romeo mengangguk. “Iya. Katanya, cinta di tempat ini... sudah terlalu lama terdiam.”
Mereka melangkah ke dalam rumah, dan yang mereka temukan adalah sepasang suami istri—Surya dan Amara—yang tinggal bersama, namun seperti orang asing. Tidak ada pelukan, tidak ada tatapan hangat. Mereka duduk di satu meja makan, tapi tak saling bicara. Piring penuh, makanan tersentuh, tapi tak ada yang menjamah.
Amara menatap keluar jendela. Mata yang dulu mungkin bersinar, kini redup seperti lilin hampir padam. Surya menunduk, jari-jarinya sibuk menggulung tisu, berulang-ulang.
Tak ada pertengkaran. Tapi juga... tak ada cinta.
Tina menarik nafas panjang. “Ini... bahkan lebih menyakitkan dari pertengkaran.”
Romeo menatap keduanya dalam diam. “Mereka sudah terlalu lama bersama... sampai lupa kenapa mereka saling memilih.”
Kamaratih dalam diri Tina meneteskan air mata diam-diam.
Romeo memejamkan mata, lalu mengeluarkan serbuk cinta, sebutir benih dari Asmaraloka yang hanya bisa bekerja jika ada cinta yang tersisa, walau sekecil apapun. Ia menaburkannya perlahan di udara, dan cahaya lembut berpendar.
Dalam sekejap, ruangan itu berubah. Di dinding rumah tua itu, lukisan-lukisan lama muncul—kenangan masa lalu. Foto pertama mereka saat menikah, surat cinta yang pernah ditulis Surya tapi tak pernah dikirim. Sepatu bayi yang disimpan diam-diam oleh Amara—anak yang tak pernah mereka miliki.
Amara terisak. Tangannya meraba permukaan meja, lalu menoleh perlahan ke Surya.
“Kenapa kita seperti ini...?” bisiknya.
Surya menatapnya, matanya basah. “Aku takut menyakitimu lagi... jadi aku memilih diam.”
Amara menangis. “Aku tak butuh kau jadi sempurna. Aku hanya butuh kau masih cinta.”
Romeo dan Tina berdiri di balik tirai ruang tengah, menyaksikan cahaya cinta yang perlahan menyala kembali. Tak perlu panah asmara kali ini—hanya butuh keberanian untuk saling mengingat.
Dan ketika Amara memegang tangan Surya untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, cahaya keemasan menyelimuti mereka.
Misi ketujuh... selesai.
Tina bersandar di bahu Romeo ketika mereka melangkah kembali menuju lingkaran cahaya.
“Lihat,” bisik Tina, “ternyata cinta bisa lupa, tapi tidak benar-benar hilang.”
Romeo tersenyum, menatapnya lembut. “Dan mungkin... kadang kita semua butuh diingatkan bagaimana mencintai.”
Dengan satu langkah terakhir, mereka menghilang dari dunia fana, kembali ke Asmaraloka.