"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16 - Melangkah Pergi
Kali ini, langit sore nampak begitu muram, menyaksikan hati Nadine yang sedang diolok-olok oleh keluarga suaminya sendiri. Terlebih, caci maki itu bersumber dari sang mertua, Miranda. Sosok yang harusnya lebih sayang terhadap Nadine dan menjadi ibu baginya.
Miranda adalah otak dibalik sekumpulan hujatan dan amarah yang menerpa Nadine.
Dendamnya memiliki menantu miskin, tak memiliki landasan dan alasan logis yang berarti. Ia hanya enggan terseret kembali ke dalam hidup berantakan seperti dahulu kala, sebelum pertemuan dengan Hartono.
Arka menyaksikan Nadine berdiri di ambang pintu rumah megah milik kedua orang tuanya.
"Lo masih punya nyali juga berdiri di situ ya, dasar gembel? Enggak tahu malu ya?” suara Vania terdengar nyaring, menu-suk telinga dan hati Nadine.
"Saya cuma ingin bicara baik-baik dan mendengar kalimat itu sekali lagi dari mulut dan kesadaran mas Arka," jawab Nadine pelan, menahan gemetar di bibirnya.
"Bicara apa lagi, hah? Lo itu sudah ditalak tiga! Ngerti enggak?” teriak Miranda sambil melipat tangan di dada.
"Mas Arka...."suara Nadine melemah, menatap suaminya yang duduk pasrah di kursi roda dengan tatapan kosong.
"Mas Arka, kamu masih ingat aku, kan? Aku istrimu, Nadine... Istri sahmu! Jangan dengArkan yang lainnya," bisik Nadine, tapi yang menjawab bukan Arka, melainkan Miranda.
“Arka! Cepat katakan padanya, bahwa kamu sudah ceraikan dia untuk yang ketiga kali!" desak Miranda, sambil menggenggam tangan Arka.
Ucapan Miranda yang membawa tekanan berat pada anaknya, membuat Arka tidak punya pilihan lain.
Arka menatap Nadine cukup lama, matanya berkaca-kaca, tapi wajahnya tak menampakkan emosi sedikitpun. Kosong dan datar.
"A-aku... menceraikanmu... untuk ketiga kalinya...!" ucap Arka lirih, seperti robot yang mengulangi perintah dari sebuah sistem.
“Arka! Ucapkan yang tegas dong! Jangan kayak anak kecil!” sela Vania, sambil menepuk pundak keponakannya.
"Aku menceraikan kamu, Nadine! Aku tidak butuh kamu lagi. Kamu kutalak tiga! Mulai hari ini, kita bukan suami istri lagi!" ucap Arka lebih keras, meskipun terlihat jelas ada air mata di sudut matanya.
Arka sendiri pun bingung dengan yang barusan ia ucapkan. Seolah ada kendali penuh dari luar kuasa atas dirinya.
Miranda, Vania, dan Hartono puas mendengar hal demikian. Tampang ketiganya sumringah, menyaksikan wajah Nadine yang semakin kusut dan layu atas ucapan Arka barusan.
Nadine menggigit bibirnya, seolah itu bisa menahan pecahnya tangis yang sudah di ujung mata.
"Kenapa kamu nggak ngomong yang jujur, Mas Arka? Kenapa kamu rela dikendalikan oleh mereka? Terus, apakah aku sehina itu untukmu, mas?" tanyanya lirih. Wajah Nadine mulai basah oleh air mata.
"Jangan ngomong seolah lo korban di sini, ya! Bngsat...!!!" sahut Vania, mencegah agar Nadine tidak dapat menghasut Arka.
"Sudah lah...! Jangan sok drama mulu! Lo itu cuma janda mandul, jelek lagih... apa hebatnya sih? Apa yang mau lo banggain?" ejek Miranda tajam.
Nadine hanya diam mematung. Hatinya terasa sakit, lantaran mendengar segala olokan atau hinaan dari Miranda dan Vania.
Namun, satu hal yang lebih menyakitkan hatinya, karena Arka tidak mau mengaku dengan jujur. Nadine merasa, insiden kecelakaan yang menimpa suaminya, merenggut ingatan juga hati dari Arka. Hingga suaminya mau dikendalikan secara utuh oleh Miranda.
"Kami udah cukup sabar menampung gembel murahan kayak lo selama ini, tambah Vania dengan tawa mengejek.
"Kalau bukan karena rasa iba dan sedikit kebaikan suami gue, lo enggak bakal bisa tinggal di rumah ini selama itu," sambung Miranda, mendekat dan menatap Nadine dengan tatapan jijik.
“Woy... lo pikir Arka butuh wanita sampah seperti lo? Yang bisanya cuma numpang dan hidup enak! Ponakan gue butuh wanita cantik yang bisa ngasih keturunan!” cetus Vania tanpa perasaan.
"Iya, kayak Karin. Lihat tuh, dia cantik, muda, dan mau urus Arka tanpa banyak nuntut," kata Miranda.
"Mas, tolong ucapkan bahwa kamu nggak serius memberi talak tiga kepadaku," Nadine masih berharap sedikit keajaiban sambil menatap wajah Arka.
Menyadari bahwa tekanan Miranda dan Vania sangat besar dan menakutkan, Arka yang saat itu masih bingung atas siapa dirinya yang sebenarnya, hanya mencari aman dengan cara membuang muka.
Mendapat respon demikian, Nadine semakin sakit hati dan semua kepercayaannya terhadap Arka mulai runtuh seketika.
"Bu Minah... ayo kita pergi," ajak Nadine pelan, sambil menoleh ke asistennya yang sudah berdiri di belakangnya sambil memegang koper.
"Nah bagus! Harusnya lo sadar dari awal dan ngomong itu lebih cepet!" ucap Vania.
"Nyonya, beneran mau pergi? Saya enggak rela liat nyonya dierlakukan kayak gini,” ujar Bu Minah dengan mata berkaca-kaca.
"Enggak apa-apa, Bu Minah. Mungkin ini jalan Allah buat aku." jawab Nadine dengan suara pecah.
"Emangnya Bu Minah mau aku berlama-lama di neraka ini?" tanya Nadine dengan wajah yang sudah berlinang air mata.
Bu Minah cuma merespon dengan menggelengkan kepala. Jemarinya pun ikut menyeka air matanya sendiri, lantaran menyaksikan langsung penderitaan Nadinde.
“Halah! Kalau memang benar, kenapa lo masih mandul?” sergah Vania kejam.
"Vania! Jangan terlalu kasar. Stop sampai disitu. Bukan wilayah kita," ucap Hartono, pura-pura menenangkan. Lelaki paruh baya itu masih sedikit memiliki rasa takut jika, menyangkut perkara dengan Tuhan nya.
“Biarin aja, sayan. Wanita rendahan itu harus sadar diri! Rumah ini bukan tempatnya lagi,” sahut Miranda.
"Kalian puas banget ya, menghina saya? Sekarang itu jadi hobi baru kalian, hah?!" akhirnya Nadine bersuara keras, suaranya gemetar tapi penuh tekad.
"Kalian semua dengar! Saya nggak pernah minta dilahirkan mandul. Dan saya yakin, siapapun wanita di dunia ini nggak mengharapkan hal itu. Jika kami belum diberikan keturunan, artinya Allah masih punya rencana khusus dan indah, untuk memberikan rejeki itu di waktu yang lain," ucap Nadine panjang lebar.
"Woy! Kalo mau ceramah jangan di sini... Noh, ke tempat ibu-ibu pengajian!" sentak Vania, merasa tertekan oleh ucapan Nadine.
Keyakinan atas ucapannya itu terdengar sangat kuat. Terbukti dari sorot matanya yang bersinar. Apalagi setelah menangis, tatapan dari bola lensa Nadine terpancar lebih berkilau dan indah sekali.
"Dan saya nggak pernah maksa atau minta untuk tinggal di rumah ini!” lanjutnya dengan mata memerah.
Miranda dan Vania hanya mendengar dengan membuang muka.
"Tapi, kalian perlakukan saya seperti sampah, seperti manusia tak berharga!" Ia menahan dan mengatur napas, mencoba menguasai diri.
"Kalau saya memang tak pantas, seharusnya dari dulu kalian bicara baik-baik. Bukan malah diungkapkan dengan perlakuan dan omogan jahat!" lanjutnya.
"Bicara baik-baik sama lo? Hahaha! Lo pikir, lo itu siapa sih? Nyadar diri!" cibir Vania.
"Orang kayak lo emang enggak pantes disayang siapa-siapa di rumah ini!" tambah Miranda tajam.
Bersambung......