KISAH PERJUANGAN SEORANG LAKI-LAKI MENGEJAR CINTA GADIS BERCADAR YANG BELUM MOVEON SAMA PRIA MASA LALUNYA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cengzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
"Pan! Nyonya besar kok belum balik-balik ya?" Tanya Leon setelah selesai memantau perkembangan proyek selama satu jam lebih bersama Revan dan Bella.
"Mana gue tau! Le. Coba telpon dulu. Siapa tau lagi diperjalanan mau kesini!" Kata Revan memberi saran padanya.
"Dari tadi dah gue telpon, berulang kali. Pan. Tapi nomornya kagak aktif sama sekali, gue chat juga ceklis satu!" Lirih Leon, nadanya mulai cemas dengan kondisi nyonyanya.
"Masa sih?" Tanya Revan menelan ludahnya, tampak khawatir.
Bella meremas jari jemari, perasaannya mulai tak tenang. Sejak awal ia sudah merasa ada yang ganjil, tapi ia memilih diam tak ingin membuat suasana makin tegang. Namun sekarang, firasat buruk itu seperti menekan dadanya makin kuat.
"Jangan-jangan... Adikku diculik sama pria itu?" Tanya Bella pelan, namun cukup membuat jantung Leon dan Revan berdegup kencang.
"Mungkin juga sih. Soalnya si Tama Tama itu perawakannya ngeri banget, mana orang asing lagi! Wah! Gak beres ini! Gak beres!" Ucap Revan dengan ekspresi marah dan gelisah.
"Gak boleh suudzon dulu pan. Nggak mungkin dia sejahat itu sama Sabrina. Bukannya gue terlalu yakin sama orang baru ya. Tapi dari sudut pandang gue nih, Tama itu orangnya kelihatan peduli, perhatian, dan lembut banget, bahkan perlakuannya tadi aja udah nunjukin betapa menjaganya dia ke nyonya besar. Dia juga udah nyanyi buat nggak nyakitin nyonya besar sama sekali. Dia bilang, Kalo nyonya besar kenapa-kenapa dia siap diapain aja!" Terang Leon dengan nada serius, meski wajahnya tetap khawatir.
Bella terdiam. Apa yang dikatakan Leon memang benar, ia sendiri bisa melihat dan merasakan perlakuan Tama terhadap Sabrina yang sangat peduli, melebihi dia sendiri sebagai kakaknya. Padahal, Tama itu orang asing. Tapi anehnya, Sabrina terlihat begitu tenang, bahkan nyaman dengannya. Kenyamanan itulah yang membuat perasaan Bella sedih, entah sedih karena apa. Ia juga tidak tau dengan hatinya ini.
Revan menghela napas berat, lalu mengangguk pelan. "Iya, gue juga liat itu, sih... Tapi tetap aja, Le. Kita gak bisa ambil risiko. Sabrina belum balik dan gak bisa dihubungi. Itu udah tanda bahaya."
"Kita susul aja gimana?" desak Bella, kali ini lebih tegas. Matanya menatap keduanya penuh keyakinan meski ada kegelisahan di baliknya. "Diam di sini nggak akan bantu apa-apa."
"Oke, kita keparkiran dulu!" Ucap Leon mengajak.
Tanpa banyak omong, Revan dan Bella mengganguk. Ketiganya bergegas pergi menuju parkiran melewati lorong panjang. Suara langkah kaki mereka bergema cepat, mencerminkan kegelisahan yang menumpuk didada masing-masing.
'ya Allah! Aku ini khawatir sama adikku. Tetapi kenapa perasaanku selalu sedih memikirkan dia yang tampak akrab dengan adikku. Jantungku berdebar, ada getaran aneh sejak melihat tama. ada apa ini ya Allah?' batin Bella.
Langkah mereka langsung terhenti kala mendengar suara familiar seseorang yang marah, membentak, bahkan menyakiti perasaan. Bella mengedarkan pandangannya, matanya membulat... Tampak disana Sabrina tengah marah-marah dengan Tama, namun suaranya tidak terlalu jelas. Bella melangkah duluan meninggalkan Leon dan Revan yang membeku ditempat.
"Kamu pikir siapa kamu? Laki-laki rendahan seperti kamu, gak akan pernah sejajar sama aku! Jangan GR deh! Semua yang aku lakuin cuma karena kasihan, bukan karena sayang!" Suara Sabrina.
"Kamu itu cuma numpang hidup di dunia yang bukan levelmu. Liat diri kamu di cermin deh! Tampang pas-pasan, masa depan gak jelas, dan mental pecundang! Dasar mimpi ketinggian!" Lanjutnya dengan kata-kata menusuk.
Tenggorokan Bella tercekat, hatinya terasa sangat sesak mendengar lontaran kata-kata dari adiknya terhadap Tama, seolah ikut merasakan luka yang ditoreskan dihati Tama.
"Aku jijik bahkan harus ngobrol sama kamu. Jangan pernah datang lagi ke hidup aku. Kamu itu noda kesalahan yang bahkan aku sesali!"
Deg!
Jantung Bella Bella terhenti bersamaan dengan langkahnya.
"Kamu itu aib dalam hidupku. Jijik aku harus pura-pura baik ke orang kayak kamu. Aku nyesal memberikanmu pakaian. Mulai sekarang, lenyaplah dari hidup aku. Kamu gak pantes bahkan untuk lihat aku!"
Sungguh, Kalimat pedas itu menusuk. Mata Bella memanas, napasnya memburu, hatinya pedih sekali melihat Tama yang menunduk, dimarah-marahin adiknya. Ia memaksa langkahnya maju, menahan gemetar di dadanya.
"Dek! Cukup!" Bentak Bella, suaranya bergetar menahan emosi.
Tama yang menunduk menoleh. Sabrina spontan menoleh, terkejut melihat kakaknya berdiri dihadapannya dengan mata memerah, rahang mengeras.
"Mbak? Sejak kapan mbak ada disini?" Tanya Sabrina, masih kaget.
Bella memejamkan matanya, mencoba menahan amarahnya. "Dek, kamu kenapa ngerendah-rendahun orang lain?" Ucapnya berusaha tetap lembut, meski hatinya nyaris meledak, ingin memarahi dan membentak-bentak tanpa peduli itu adiknya sendiri.
"Dia yang mulai dulu, Mba-"
"Dek, gak sepantasnya kamu hina-hina dan rendahin dia seperti itu. Allah melarang kita menyakiti orang dengan kata-kata. Kamu gak mikirin perasaannya? Kakak yang dengar aja sakit hati, apalagi Mas Tama," potong Bella tegas, tak memberi Sabrina kesempatan menjelaskan yang sebenarnya.
"Maaf, mbak!" Hanya itu yang bisa diucapkan Sabrina.
Bella menghembuskan nafas berat, menatap ke arah Tama. "Mas, maaf ya. Maafin adik saya." Ucapnya dengan suara lembut, merasa tidak enakan.
"HM, gak papa!" Kata pria itu mengganguk pelan, tersenyum.
Bella menatap Tama yang tersenyum. Jelas, senyuman itu palsu hanya topeng dan kata-katanya barusan bentuk menutupi rasa luka yang ditanamkan adiknya. Dibelakang bella, Leon dan Revan diam-diaman, bingung mau mengatakan apa.
"Permisi, mbak, mas." Ucap pria itu sopan dan berlalu begitu saja tanpa menunggu jawaban, tanpa menoleh lagi. Keempat orang itu memandanginya. Hati bella tiba-tiba sesak, sakit menatap kepergian tama dengan netra berkaca-kaca. Ada luka yang tidak bisa ia jelaskan, perih, seolah dirinya ikut tercabik. Entah mengapa, Bella tidak rela melihat Tama yang tersakiti dan pergi dengan hati yang remuk. Nalurinya seakan tergerak ingin melindungi, menyayangi, bahkan membela tama—sosok asing yang baru saja ia temui. Aneh, namun itulah yang ia rasakan.
Dengan perasaan sedih bercampur kesal, ia mengomeli Sabrina lewat bisikan. Sabrina yang tidak terima diomeli, mulai meninggikan suaranya
"Dek, apa yang kamu bilang bener, mbak akan marah. Tapi mbak gak akan tega memarahi dia seperti barusan, mau gimanapun juga dia laki-laki. Laki-laki itu gak suka direndahin, dan laki-laki sangat mempertahankan harga dirinya. Perkataan kamu tadi terlalu parah loh dek, menginjak-injak harga diri seorang laki-laki." Ucap Bella suaranya lembut, memegang pundak adiknya.
"Sudahlah mbak, jangan ceramahin aku Mulu, mendingan kita kemobil!" Kata Sabrina muak terus diceramahkan.
Dimobil, Revan kini bergantian menyetir mobil, dalam perjalanan pulang. Hp Bella bergetar, menandakan ada pesan. Bella meraih ponselnya, membuka pesan itu dengan penasaran.
Aurel: Assalamualaikum mbak Bella, gimana kabar mbak?
Bella: waalaikumsalam salam, Alhamdulillah dek. Gimana kabar kamu?
Aurel: Alhamdulillah baik mbak, tapi....
Bella: tapi apa?
Aurel: tapi aku kangen sama mbak tau.... Selama semingguan ini aku belum ketemu-ketemu sama mbak Bella, nggak seperti dulu yang sering banget ketemu... Sekarang, jarang banget. Mbak Bella gak ada niatan kepondok lagi? Mbak nggak rindu sama aku? Gak rindu Abi sama ummi?
Bella tersenyum simpul membaca pesan adik angkatnya yang sudah ia anggap seperti adik kandung sendiri. Pasalnya, Aurel sangatlah dekat dengan Bella, dari kecil sampai umur 25 ( umur Bella sekarang).
Bella: Kangen banget dek. Aku boleh main kesana?
Aurel: boleh dong, mbak. Jelas boleh banget, nggak ada yang ngelarang, hehehe. Kesini aja mbak kalau mau Dateng. Aku, umi, abi siap sambut mbak.
Bella: makasih banget dek. Kesannya jadi ngerepotin....
Aurel: nggak kok, mbak. Mbak Bella gak pernah ngerepotin, justru aku, umi sama Abi senang banget kalau mbak mau Dateng kesini, Dateng ya mbak! Dateng dong (emote harap dan memelas)
Bella terkekeh pelan membaca pesan adiknya itu. Jemarinya mengetik dan pesan terkirim. Ia menutup ponselnya, lalu dengan sopan ia meminta Revan untuk mengantarkannya ke pondok pesantren An-Nur. Revan mengganguk singkat, tanpa banyak bertanya.
Hanya satu yang ada dipikiran Revan, yaitu keinginan lucky semalam. Ia diam sejenak, mengambil keputusan. Menyampaikan atau tidak?
Setelah lama berpikir, ia mengambil keputusan untuk segera menyampaikan saja.
"Mbak Bella, Bang Lucky nitip salam," kata Revan sambil cengar-cengir. Tadi pagi, abangnya itu menitipkan pesan jika Revan bertemu Bella.
"Terima kasih," ucap Bella singkat, wajahnya datar.
Revan mengerutkan dahi. Ia berharap Bella akan tersipu malu. Tak menyerah, ia menambahkan, "Kata Bang Lucky, jaga kesehatan ya, Mbak. Jaga diri juga baik-baik."
"Terima kasih atas perhatiannya. Ada lagi?" sahut Bella datar.
"Gak ada sih, cuma itu," jawab Revan sambil menggaruk kepala.
Leon menyahut, "Gencar amat abang lu, Van, langsung ngincer Mbak Bella gitu!"
"Biasalah, ABT jatuh cinta," celetuk Revan.
"ABT apaan?" tanya Leon heran.
"Anak Baru Tua," sahut Revan, disambut tawa Leon.
"Parah, Mas revan, abang sendiri dikatain," komentar Bella sambil geleng kepala.
"Maaf, Mbak. Soalnya gayanya dia kayak remaja yang baru jatuh cinta."
"Emangnya abang kamu tua banget?" tanya Bella mengalihkan.
"Kelihatannya sih masih muda. Tapi aslinya 35 tahun, beda 5 tahun sama saya." Jawab Revan
"35? Wah, saya kira masih 25! Berarti dia sama kamu beda 5 tahun ya?" kata Bella terkejut.
"Iya. Makanya saya milih nikah aja, takut nggak laku kayak bang lucky," canda Revan.
Bella hanya bisa menghela nafas, capek dan malas jika sudah menyangkut tentang lucky.
Tiba-tiba Revan beralih pada Sabrina. "Sabrina, kalau Kak Arhan masih hidup dan disukain cewek SMA, kamu cemburu gak?"
"Kalau kak arhan disukain cewek SMA yang cantik ya? Saya bakalan bersaing sih sama cewek itu. Tetapi kalau status saya masih istrinya. Jelas saya bakalan cemburu da-"
"Dan ngambek setahun? Gitu kan dek, kakak tahu kamu cinta banget sama dia. Dan pastinya kamu gak rela, milik kamu disukain sama siapapun, bener kan?" Potong Bella, sudah paham dengan sikap Sabrina yang cemburu dan posesif luar biasa.
Sabrina mengganguk, membenarkan.
"Kalau kakak suka sama suami kamu gimana?" Tanya Bella, mengulum senyum dibalik cadarnya.
Sontak ketiga orang itu menoleh dengan tatapan yang sulit ditebak. Terutama Sabrina.
"Aku siap ribut sama mbak, walaupun mbak saudari aku sendiri. Aku gak akan rela berbagi suami." Kata Sabrina posesif.
"Wah, bahaya nih mbak Bella, gua jadi yakin kalau ipar itu beneran maut." Kata Revan menyeletuk. "Udah bel, jangan suka sama suami adik sendiri, mendingan kamu suka sama bang lucky aja dah. Sama-sama single tuh" Lanjut Revan mempromosikan lucky.
"Promosiin terus Van, kayak sales!" Leon berdecak pelan.
Revan tersenyum, melirik Bella sekilas dari kaca spion. "Bel, kamu beneran suka sama arhan?" Tanyanya, memastikan
"saya cuman bercanda doang, mas. Saya gak pernah suka sama suaminya Sabrina" ucap Bella menarik napas dalam-dalam. Matanya menatap lurus kedepan, dengan sorot mata yang sulit ditebak.
Semua langsung terdiam. Revan menghela nafas lega, lalu dengan cepat mengalihkan, "Eh, kalian inget laki-laki semalem yang mirip almarhum? Itu dia beneran atau arwahnya ya?"
Suasana mendadak berubah hening.
*
*
Ditempat lain
Kantor Lucky setinggi 100 lantai, megah dan mewah, dengan desain futuristik, kaca kristal, dan teknologi tercanggih. Ruangannya di puncak menampilkan panorama kota 360 derajat, simbol kekuasaan pengusaha nomor 2 dunia.
Tepatnya, didalam ruangan. Lucky duduk dikursi kebesarannya. Tampak serius mengamati, mencatat serta mempelajari apa saja hal yang diajarkan Nero—asistennya tentang perusahaan.
Disela-sela penjelasan, ponsel lucky berdering. Menandakan panggilan masuk.
Lucky membaca nama penelpon 'revan' dahinya mengerut, bingung. "Sebentar Nero! Saya mau angkat telpon dulu!"
"Baik tuan, saya izin ke kamar mandi." Ucap Nero formal. Lucky mengganguk, memberi izin. Barulah Nero pergi dan menutup pintu ruangan.
Lucky menggeserkan tombol hijau itu, panggilan keduanya tersambung.
"Ada apa pan?" Tanya lucky berdehem keras.
"Bang! Bang! Gawat!" Teriak Revan di seberang sana, suaranya bercampur ilalang kendaraan.
"Apanya yang gawat?" Tanya lucky keheranan sekaligus penasaran dengan adiknya yang heboh sendiri.
"Aduh bang! Gawat banget demi dah! Ini..."
"Jelaskan! Jangan berbelit-belit gue gak suka!" Tegas lucky to the point.
"Bang! Bella bang! Bella ke pondok..."
"Terus?"
"Gak kenapa-kenapa sih!"
"Gak jelas Lo setan! Ganggu orang kerja aja!" Umpat lucky kesal bukan maen.
"Kalau nggak ada yang penting gue matiin!" Ucap lucky hendak memutuskan panggilan.
"Bang! Lo tau nggak kenapa Bella kepondok?"
"Lalu? Apa urusannya sama gue? Dia kepondok ya kepondok aja! Suka-suka dia.... Mung-"
"Bang! Bella mau dijodohin sama ustad-ustad dari pondok bang!"
"Yang bener?" Tanya lucky, matanya seketika membulat, kaget.
"Seriusan bang! Bella kan banyak yang suka tuh! Gus-gus lah, ustad lah, ini lah itulah! Rata-rata orang paham agama semua bang! Sekarang dia dipondok ma-"
"Sherlock pan! Dimana pondoknya?" Tanya lucky reflek bangkit dari duduknya, memotong ucapan Revan yang belum selesai menjelaskan.
"Pondok an nur bang! Cari aja! Bella kesitu! Cepet bang! Lari lari! Kejar! Jangan sampe Bella kepinang sama orang lain!" Teriak Revan bener-bener heboh, bikin lucky panik sendiri.
"Bang! Kok diem! Buruan! Sebelum nyesel ngeliat Bella dimilikin orang lain!"
"Iya, iya. Rewel banget sih jadi orang!" Gerutu lucky keluar ruangan. Ia bergegas pergi dengan langkah tergesa-gesa.
"Semangat bang! Semangat! Ayo jangan kalah start sama mereka! Tunjukin, buktiin, saingin sekalian! Jangan mau kalah!" Cerocos Revan diseberang sana.
Lucky menghela nafas, lalu memutuskan panggilannya dan meletakkan kembali ponselnya ke saku jas.
"CK! Belum apa-apa saingannya langsung pemuka agama!" Gerutu lucky terbirit-birit.
Sementara itu.
"Hahahah! Si pea! Malah percaya-percaya Bae sama omongan gue!" Ucap Revan terbahak. Puas betul ia mengerjai dan menipu sang Abang. Di kepalanya terbayang ekspresi lucky yang prangat-prungut disana memikirkan Bella yang katanya dilamar orang. Padahal semua itu cuman bulan semata darinya.