Zahira terpaksa menerima permintaan pernikahan yang diadakan oleh majikannya. Karena calon mempelai wanitanya kabur di saat pesta digelar, sehingga Zahira harus menggantikan posisinya.
Setelah resepsi, Neil menyerahkan surat perjanjian yang menyatakan bahwa mereka akan menjadi suami istri selama 100 hari.
Selama itu, Zahira harus berpikir bagaimana caranya agar Neil jatuh cinta padanya, karena dia mengetahui rencana jahat mantan kekasih Neil untuk mendekati Neil.
Zahira melakukan berbagai cara untuk membuat Neil jatuh cinta, tetapi tampaknya semua usahanya berakhir sia-sia.
Bagaimana kelanjutan kisahnya? Ikuti terus cerita "100 Hari Mengejar Cinta Suami" tentang Zahira dan Neil, putra kedua dari Melinda dan Axel Johnson.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.16
...Pura-pura lupa ingatan mungkin lebih baik, dari pada mengingat tapi aku ingat saat kamu menyakitiku....
Tak terasa malam pun semakin larut, tapi Maureen tak kunjung memejamkan mata. Dia malah menatap gadis yang sedang terlelap, takut-takut dia bangun dan membutuhkan sesuatu. Atau lebih parahnya, Maureen takut dia membunuhnya.
"Astaga, pikiran macam apa itu." Batin Maureen menggeleng pelan.
"Lagian, Kak Julian. Kenapa malah di taruh di kamarku," gerutu Maureen.
Lama kelamaan mata Maureen mulai berat, dia pun terlelap disisi Zahira. Waktu menunjukan pukul tiga dini hari, Zahira mulai mengerjapkan mata dan mengingat apa yang terjadi padanya.
Tapi, hanya kenangan saat Neil meninggalkannya, demi wanita lain. Ya wanita lain, walau status wanita tersebut adalah kekasih dari suaminya.
Zahira menatap sekeliling, rumah sederhana dengan penerangan minim. Bahkan terasa dingin karena tidak adanya penghangat ruangan, Zahira menggosok tangannya yang terasa dingin.
Dia menatap sosok perempuan yang meringkuk membelakanginya, tanpa menimbulkan suara Zahira keluar dari kamar. Ingin tahu dimana dia sekarang.
"Ya Tuhan, ini dimana?" gumamnya, dia juga lapar dan haus.
Sangat mudah menemukan dapur, karena rumah tersebut sangatlah kecil. Zahira menatap sisa nasi goreng yang berada dalam wajan yang tertutup. Juga kentang yang tersisa satu potong.
"Lumayanlah, daripada lapar." Zahira memakannya dengan menggunakan tangan, karena pencahayaan yang minim. Dia kesulitan mencari letak sendok.
"Keras sekali," keluh Zahira, tapi dia tetap memakannya dengan sangat lahap.
Saat asik memakan sisa makanan yang ada di dapur, tak sengaja Zahira mendengar suara jatuh. Dia menelan ludahnya dengan kasar, sangat takut jika itu pencuri. Padahal itu hanya gelas yang tak sengaja disenggol oleh Julian.
"Siapa itu?" bisik Zahira.
Astaga Zahira, mana mungkin mereka dengar suaramu. Tapi, kalau teriak pun pasti akan membuat malingnya kabur. Batin Zahira takut.
Dia pun terus berjalan, sialnya dia malah menyenggol meja yang membuat barang di atasnya terjatuh. Julian pun terbangun dengan tiba-tiba, karena terkejut dengan benda jatuh.
"Siapa kamu?" pekik Julian.
"Kamu maling," teriak Zahira, tanpa disangka dia memukul Julian dengan teflon yang dia bawa dari dapur.
"Aduh ... Hey, hentikan." Teriak Julian. Namun, Zahira tak mendengar ucapan Julian.
"Tidak kamu, maling kan?"
Zahira terus memukul dengan sekuat tenaga, tak peduli Julian memohon ampun. Bisa saja Julian melakukan perlawanan, tapi mengingat yang di hadapannya adalah perempuan. Jadi, dia diam saja.
Maureen yang terlelap tentu langsung bangun, dan berjalan cepat menuju ruang tengah dimana keributan itu terjadi.
"Ada apa, ini?" pekik Maureen, kini semuanya jelas karena lampu menyala.
Zahira menjatuhkan teflonnya, dan menoleh pada Maureen.
"Kak, kamu gak apa-apa?" tanya Maureen.
"Ma-maaf, aku ... Aku gak sengaja. Aku kira pencuri tadi," ujar Zahira membela diri.
"Ck ... Mana ada pencuri, lagian kami miskin. Memang apa yang akan mereka ambil?" ketus Maureen.
"Maureen sudah," tegur Julian.
Namun, sang adik tak hentinya mengomel pada Zahira yang menunduk.
"Aku tidak apa-apa. Reen, sudah kasian dia ketakutan."
Maureen langsung terdiam saat melihat Julian melotot padanya.
"Kenapa bangun, malam-malam?" tanya Julian dengan lemah lembut.
"Aku ... Aku lapar," ungkap Zahira, Julian mengangguk dan meminta Zahira untuk duduk dengan Maureen.
Lima menit kemudian Julian membawa roti dengan selai coklat dan juga segelas susu hangat. Julian menatap sang adik yang sudah terlelap di kursi.
"Ini makanlah, hanya itu yang ada di rumah kami." Kata Julian.
"Terima kasih."
Beberapa menit kemudian, Zahira selesai makan dan Julian meminta Zahira untuk tidur kembali di kamar sang adik.
Keesokan paginya, Zahira bangun lebih dulu. Dan bisa melihat rumah Julian yang sederhana, walau kecil rumah tersebut sangat bersih dan rapi.
Zahira mulai melakukan aktifitas pagi seperti biasa, membersihkan rumah tersebut lalu membuat sarapan. Walau dengan bahan ala kadarnya.
Maureen bangun lebih dulu, dia menatap rumah yang sudah bersih juga sarapan tersedia. Maureen membulatkan matanya, karena banyak makanan yang dimasak oleh Zahira. Padahal selama ini, dia dan Julian selalu makan dengan satu menu.
"Astaga ... Kenapa kamu masaknya, banyak sekali?" protes Maureen.
"Telur, kentang, roti bakar. Kamu mau menghabiskan stok makanan di rumah ini, hah?" pekik Maureen.
"Maaf." Hanya satu saja kata yang Zahira ucapkan.
"Maaf, maaf. Enak saja bilang maaf!" geram Maureen.
"Memangnya gampang apa, cari duit." Gerutu Maureen tak ada habisnya.
"Ada apa sih? Masih pagi juga, udah ribut saja." Kesal Julian, mengucek matanya.
"Nih lihat, perempuan yang Kak Julian bawa. Dia memasak semua stok makanan kita," kata Maureen dengan menggebu.
“Itukan stok buat satu minggu,” lanjutnya lagi.
Julian menatap makanan di meja, lalu menatap Zahira yang menunduk merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Reen, ini bisa dipanaskan untuk makan siang dan malam nanti." Kata Julian mencoba menengahi adik dan perempuan asing yang dia tak tahu siapa namanya.
Maureen menghela napas dengan pelan, mencoba mengatur emosinya agar tak merusak moodnya hari ini.
"Ya sudahlah, aku mau mandi. Dan berangkat kerja," kata Maureen dengan ketus berlalu begitu saja.
"Maaf," ucap Zahira.
"Tidak apa-apa, adikku memang begitu dia sangat galak." Kekeh Julian. "ngomong-ngomong, siapa namamu?"
"Ehh, Nama ya?" Zahira menatap Julian.
"Iya nama, masa gak punya nama." Julian menggeleng menatap Zahira, yang seperti orang bingung.
"Apa aku harus, jujur? Mungkin, menjauh dari keluarga Johnson akan lebih baik," batin Zahira, dia menatap Julian.
"Nama ku ... Aku tidak ingat," lirih Zahira, lebih baik dia melupakan namanya, lebih baik dia tetap bersama Julian dan Maureen. Biarlah dia menepi sejenak dari kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan.
"Apa, kamu hilang, ingatan?" tebak Julian.
"Entahlah, saat sampai sini. Semua barang-barang ku hilang," bohong Zahira.
"Ya sudah tidak apa-apa, aku panggil kamu Cherry saja. Karena kamu sangat manis dan pipimu merah merona kaya Cherry," kekeh Julian, membuat Zahira tersenyum tipis.
Zahira menyentuh wajahnya, merah mungkin karena cuaca yang dingin. Tapi ... Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Ucap Zahira dalam hati, mulai sekarang. Dia akan menetap disini sampai hatinya tenang, anggap saja dia sedang tersesat di Negara orang.
Julian dan Maureen pun pergi bekerja, sementara Zahira hanya menunggu mereka di rumah. Beruntung ukuran tubuh Zahira dan Maureen sama, jadi Zahira bisa meminjam baju milik Maureen. Zahira sendiri mulai memikirkan bagaimana caranya, agar tidak selalu merepotkan mereka.
"Aku harus cari kerja," gumam Zahira dengan tekad yang kuat, jika saja dia membawa dompet dan ponsel saat itu. Mungkin tidak akan susah sayangnya kemarin, dia hanya membawa uang yang pas-pasan itu pun ada pada Neil.
"Bodoh, bodoh." Umpatnya pada diri sendiri.
Zahira menatap pemandangan pegunungan yang sangat indah, rasanya tenang dan damai. Lalu dia teringat akan Neil, pasti dia sudah sampai pada Livia.
Dan melupakan dirinya yang berada disini, begitulah pikiran Zahira. Karena cintanya pada Neil, Zahira sampai melupakan Melinda dan Axel yang mungkin sedang mencarinya.
Bersambung ...
Maaf typo
lanjut Thor
emang enak