Aira, seorang wanita yang lembut namun kuat, mulai merasakan kelelahan emosional dalam hubungannya dengan Delon. Hubungan yang dulu penuh harapan kini berubah menjadi toxic, penuh pertengkaran dan manipulasi. Merasa terjebak dalam lingkaran yang menyakitkan, Aira akhirnya memutuskan untuk keluar dari lingkungan percintaan yang menghancurkannya. Dalam perjalanannya mencari kebahagiaan, Aira belajar mengenal dirinya sendiri, menyembuhkan luka, dan menemukan bahwa cinta sejati bermula dari mencintai diri sendiri.
Disaat menyembuhkan luka, ia tidak sengaja mengenal Abraham.
Apakah Aira akan mencari kebahagiaannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan yang dipercepat
Pagi itu, suasana rumah masih tenang ketika mama Abraham memanggil putranya ke ruang tengah.
Wajahnya tampak cemas, matanya memandangi taman belakang tempat Aira biasa duduk sambil membaca buku.
"Abraham," kata mama perlahan, "Mama tidak ingin ikut campur terlalu dalam… tapi mama khawatir."
Abraham duduk di hadapan ibunya, menatap penuh perhatian.
"Tentang apa, Ma?"
Mama menarik napas panjang. “Ariesta. Mama tahu dia tidak akan tinggal diam setelah penghinaan kemarin. Dan mama takut, kalau-kalau dia melakukan hal yang bisa membahayakan Aira.”
Wajah Abraham langsung menegang, namun tetap tenang mendengar kekhawatiran ibunya.
“Mama minta, kalau bisa… pernikahan kalian dipercepat. Tidak perlu megah dulu, cukup sederhana di sini, bersama keluarga. Yang penting sah dan Aira aman di sisimu,” lanjut mama dengan suara penuh harap.
Abraham mengangguk pelan. “Kalau itu demi kebaikan Aira, aku akan bicara dengannya. Aku yakin dia akan mengerti.”
Mama menepuk tangan Abraham lembut. “Terima kasih, Nak. Mama hanya ingin kalian bahagia. Tanpa bayangan masa lalu atau ancaman dari siapa pun.”
Abraham bangkit dan mencium tangan ibunya. Ia tahu, inilah saatnya membuat keputusan yang lebih besar, bukan hanya demi cinta, tapi juga untuk perlindungan dan kedamaian bagi Aira.
Abraham membuka pintu kamar dengan pelan. Di dalam, Aira sedang duduk di dekat jendela, menatap ke luar dengan wajah tenang, meski matanya menyiratkan sedikit kegelisahan.
“Aira…” panggil Abraham lembut sambil mendekat.
Aira menoleh dan tersenyum tipis. “Mas…”
Abraham duduk di sampingnya, menggenggam tangan Aira dengan hangat. “Aku ingin bicara soal sesuatu yang penting.”
Aira mengangguk. “Apa itu?”
Abraham menatap mata Aira dalam-dalam, memastikan ia merasa aman.
“Mama khawatir soal Ariesta. Dia takut kalau kamu terluka. Jadi... Mama ingin kita mempercepat pernikahan. Sederhana saja, cukup di sini, hanya keluarga.”
Aira terdiam, matanya membesar perlahan, lalu menunduk.
“Aku tahu ini mendadak,” lanjut Abraham cepat, “tapi aku setuju. Bukan karena tekanan. Tapi karena aku nggak mau nunggu lebih lama untuk melindungimu. Aku mau kamu jadi istriku. Sekarang.”
Aira menggigit bibir bawahnya, hatinya berdebar.
“Aku hanya takut... semuanya terlalu cepat.”
Abraham mengangkat dagunya lembut. “Kita sudah melalui banyak hal, Ra. Ini bukan tentang cepat atau lambat. Ini tentang kita. Kamu, aku, dan masa depan yang kita pilih sendiri.”
Aira menatapnya, lalu mengangguk pelan. “Baik, Mas. Aku siap.”
Abraham tersenyum lega, lalu memeluk Aira erat.
“Terima kasih… calon istriku.”
Sore harinya persiapan pernikahan telah siap dan saat ini Aira berada di kamarnya.
Aira berdiri mematung di depan cermin, memandangi dirinya dalam balutan gaun pengantin putih sederhana namun anggun. Matanya sedikit berkaca-kaca.
"Seperti mimpi…" gumamnya pelan, mengelus pelan bagian dada gaunnya yang dihiasi renda lembut.
Rambutnya disanggul rapi dengan beberapa helaian lembut menjuntai, menambah kesan alami namun elegan.
Beberapa pelayan mama Abraham membantunya merapikan bagian belakang gaun.
Sementara itu, mama datang perlahan dan berdiri di belakangnya.
"Kamu sangat cantik, Aira. Abraham beruntung."
Aira menoleh dan tersenyum haru. “Terima kasih, Tante… eh, Mama.”
Mama Abraham mengangguk lembut. “Sekarang kamu anakku juga. Hari ini adalah awal yang baru untuk kalian berdua.”
Aira menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak cepat.
Tak pernah terpikirkan bahwa liburannya akan berakhir dengan sebuah pernikahan di tempat asing, dengan keluarga baru, dan pria yang kini akan menjadi pendamping hidupnya.
Di ruang sebelah, Abraham berdiri mengenakan setelan jas berwarna krem. Ia tampak gelisah, menatap pintu dan menarik napas panjang.
Salah satu kerabat mendekat. “Gugup, Mas?”
Abraham tersenyum singkat. “Sedikit… tapi bahagia.”
Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan yanga memanggil namanya.
Abraham segera berlari masuk ke kamar begitu mendengar panggilan panik dari mamanya.
Ia menemukan Aira duduk di kursi rias, bahunya bergetar hebat, dan air mata membasahi pipinya yang sudah dipoles riasan lembut.
Tanpa banyak tanya, Abraham menoleh ke arah penata rias.
“Tolong keluar sebentar,” pintanya pelan namun tegas. Penata rias segera angkat kaki, memberi ruang.
Abraham berlutut di depan Aira, menggenggam tangannya yang dingin dan gemetar.
“Sayang, lihat aku,” ujarnya lembut.
Aira mencoba menoleh, tapi air mata tak berhenti mengalir.
“Aku takut, Mas… Aku takut semua ini akan hancur seperti dulu… Aku…”
Abraham mengusap pipinya perlahan. “Tidak, Aira. Ini bukan seperti dulu. Kamu nggak sendiri lagi. Ada aku, ada mama dan papa juga. Kamu aman, dan akan selalu aman.”
Aira mulai menenangkan diri sedikit demi sedikit, suara Abraham seperti jembatan yang menariknya keluar dari jurang rasa takut yang gelap.
“Tarik napas pelan-pelan, ikut aku ya,” bisik Abraham sambil menuntunnya mengatur napas.
“Hari ini bukan tentang masa lalu. Hari ini tentang kita. Tentang kamu yang berani melangkah lagi.”
Aira mengangguk kecil, lalu memeluk Abraham erat.
“Terima kasih, Mas…,” bisiknya di bahu pria itu.
Abraham membalas pelukan itu dengan penuh kasih.
“Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku di sini untuk selalu jagain kamu.”
Rangga membuka pintu perlahan dan memanggil penata rias yang sedari tadi menunggu di luar.
“Silakan masuk lagi, Bu. Aira sudah lebih tenang,” ucapnya sambil memberi jalan.
Penata rias masuk kembali, lalu mulai memperbaiki riasan Aira dengan lembut, hati-hati agar tak membuatnya kembali gelisah.
Sementara itu, Mama menghampiri Abraham yang berdiri di sudut ruangan, wajahnya serius namun penuh perhatian.
“Mama lihat sendiri betapa rapuhnya Aira saat traumanya muncul,” ucap Mama dengan suara tenang namun penuh makna.
“Kamu janji ya, Nak... Jangan pernah menyakiti dia. Jangan membentaknya, sekecil apa pun alasannya.”
Abraham menatap mata mamanya, lalu mengangguk dengan mantap.
“Saya janji, Ma. Saya akan jaga Aira seumur hidup saya. Saya nggak akan pernah menyakitinya. Aira bukan cuma istri saya nanti—dia hidup saya.”
Mama tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca mendengar jawaban itu.
“Kalau begitu, mama serahkan Aira padamu, Nak. Tapi jangan pernah lupa, tanggung jawabmu besar.”
Abraham menunduk hormat. “Saya nggak akan sia-siakan kepercayaan mama.”
Mama tersenyum hangat, lalu dengan langkah anggun ia keluar kamar untuk menyambut para tamu yang mulai berdatangan.
Gaun batik modern berwarna pastel yang ia kenakan menambah kesan anggun dan hangat sebagai ibu dari mempelai pria.
Di luar, halaman rumah Abraham telah berubah menjadi taman yang indah, penuh bunga segar dan lampu gantung kecil yang berkelip seperti bintang.
Dekorasinya sederhana namun elegan persis seperti dalam kisah dongeng yang menenangkan.
Para tamu yang datang tak henti-hentinya mengagumi suasana rumah.
“Seperti pesta pernikahan di negri dongeng,” bisik salah satu tamu dengan kagum.
Aroma bunga mawar dan melati menyatu dengan angin sore yang sejuk, menambah suasana haru dan bahagia.
Di tengah semua itu, mama berdiri menyambut satu per satu tamu dengan senyum ramah, tapi sesekali melirik ke dalam menanti momen saat putranya keluar bersama wanita yang kini menjadi kebanggaan hatinya.