Setelah orang tuanya bunuh diri akibat penipuan kejam Agate, pemimpin mafia, hidup siswi SMA dan atlet kendo, Akari Otsuki, hancur. Merasa keadilan tak mungkin, Akari bersumpah membalas dendam. Ia mengambil Katana ayahnya dan meninggalkan shinai-nya. Akari mulai memburu setiap mafia dan yakuza di kota, mengupas jaringan kejahatan selapis demi selapis, demi menemukan Agate. Dendam ini adalah bunga Higanbana yang mematikan, menariknya menjauh dari dirinya yang dulu dan menuju kehancuran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Our Time
Tepat setelah Indra pergi, Araya tiba sesuai janji.
Beberapa saat kemudian, Araya tiba dengan Porsche Carrera GT berwarna putih miliknya. Mobil sport itu tampak kontras dengan lingkungan perumahan yang tenang, tetapi Araya mengendarainya dengan hati-hati.
Seperti biasa, ia membawa bahan masakan segar, berniat memasak makan malam untuk dirinya dan Akari. Akari menyambutnya di pintu depan dengan senyum.
"Selamat datang, Araya-san!" sapa Akari ceria.
"Terima kasih, Akari. Aku sudah janji akan menjagamu malam ini," jawab Araya, sambil menenteng tas belanjaan.
Akari mengatakan ia akan membantu di dapur.
"Aku akan bantu! Aku harus belajar memasak seperti Goto-san dan Araya-san!"
Dan Araya mengiyakannya dengan senang hati.
"Tentu saja! Aku bisa mengajarimu beberapa resep untuk bekal kuliahmu nanti," kata Araya.
Mereka menikmati waktu bersama di dapur yang hangat, memotong sayuran dan menyiapkan bumbu. Suasana terasa damai, jauh dari konspirasi dan kekerasan AgateX.
Sesekali Akari mencicipi masakan Araya yang baru dimasak, memberikan pujian tulus.
"Wah, ini enak sekali, Araya-san! Pantas saja Goto-san selalu memuji masakanmu," puji Akari.
Araya tersenyum, kehangatan yang ia rasakan bersama Akari adalah pengisi energinya sebelum operasi besar yang harus mereka hadapi.
Setelah makan malam yang menyenangkan dan hangat di dapur, Araya dan Akari pindah ke ruang tamu.
Setelah itu, Araya mendengarkan cerita Akari di ruang tamu. Akari, yang merasa nyaman dan percaya pada Araya, mulai membuka diri tentang kehidupan sehari-harinya.
Akari menceritakan kesehariannya yang diisi dengan latihan keras, membaca buku, dan interaksi yang menghangatkan hati dengan tetangganya, termasuk kunjungan ke toserba dan pertarungannya melawan bodyguard AgateX (meski ia mengurangi detail kekerasan dan fokus pada penemuan perekrut AgateX).
"Aku bertemu dengan pembully-ku yang dulu, Araya-san. Dia bekerja untuk AgateX. Aku menyerahkannya kepada Akihisa-san," cerita Akari. "Dan aku minta Akihisa-san meringankan hukumannya. Dia terlihat sangat ketakutan dan putus asa."
Sesekali Araya menanyakan hal itu dengan tenang dan penuh perhatian, mencoba memahami kedalaman mental dan emosional Akari.
"Dan apa yang kau rasakan setelah melihat pembully-mu sendiri terjebak oleh AgateX?" tanya Araya.
"Aku merasa kasihan, Araya-san," jawab Akari jujur.
"Aku sadar, dia sama seperti orang tuaku. Dijerat utang. Cuma bedanya, dia memilih menyeret orang lain bersamanya."
Araya tersenyum lembut. Pengamatan Akari menunjukkan bahwa meskipun ia dilatih untuk membalas dendam, ia tidak kehilangan kemanusiaannya.
Waktu berlalu, dan Akari, yang merasa aman dan lelah setelah seharian berlatih dan bercerita, mulai mengantuk.
Setelah beberapa saat, Araya menemani Akari tidur di kamarnya. Ia duduk di tepi tempat tidur Akari, menunggu gadis itu pulas.
Araya mulai bersenandung menidurkan Akari dengan lembut—sebuah melodi lama yang sering dinyanyikan ibunya saat ia masih kecil. Suara Araya yang tenang dan lembut, jauh dari teriakan di kantor polisi, terasa menghangatkan.
Araya merasa dirinya seperti seorang ibu saat melihat Akari yang tertidur pulas dengan wajah damai. Kehadiran Akari dalam hidupnya telah mengisi kekosongan yang ia tidak sadari ada.
Namun, dalam pikirannya, ia berdebat dengan dirinya tentang secara keseluruhan seharusnya setelah menikah dengan Indra nanti ia menjadi ibu—sebuah pemikiran yang sering muncul tetapi tidak pernah diucapkan.
Sambil tersenyum tipis, Araya memandang Akari.
("Indra memang bodoh. Dia tidak tahu betapa bahagianya dia akan menjadi ayah. Ah, tapi pertama-tama, aku harus menangkap Haruna dan membiarkan Akari menyelesaikan dendamnya. Baru setelah itu aku bisa fokus mengurus rumah tangga dan si bodoh itu.")
Araya tetap duduk di sana, memastikan Akari benar-benar aman dan terlindungi, sebelum ia kembali fokus pada rencana penangkapan.