NovelToon NovelToon
Shadows In Motion

Shadows In Motion

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: KiboyGemoy!

Karya Asli By Kiboy.
Araya—serta kekurangan dan perjuangannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KiboyGemoy!, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 16

Rintik-rintik mulai berubah menjadi deras, namun ia enggan ubtuk meninggalkan tempat. Gadis itu berdiri, ia mendongak menatap bentala yang berubah menjadi gelap.

Gadis itu menutup matanya, air mata turun membasahi wajahnya. Namun, mungkin tidak ada yang sadar apalah itu air mata atau air hujan.

Rifan berjalan ke arah Araya, menggenggam lengan gadis itu berniat membawanya pergi karena angin yang semakin kencang, begitupun dengan hujan yang semakin riuh.

Araya menghempaskan tangan Rifan dengan kasar, mata keduanya bertemu.

"Raya, cuaca tidak baik. Hujannya deras begitupun dengan angin," ucap Rifan sedikit berteriak agar Araya mendengar apa yang ia katakan.

"Kalaupun derasnya hujan menghantamku lebih keras dari ini, aku terima Rifan," ucapnya terdengar putus asa.

"Raya, bagaimana kalau kamu sakit."

Araya mengedipkan matanya tidak percaya, ternyata masih ada yang mengerti akan perasaannya. Ternyata masih ada yang peduli, dan mengkhawatirkan nya. Biasanya gadis itu lah yang khawatir karena takut ditinggalkan sekarang, seorang pemuda khawatir karena takut dirinya demam.

Araya melirik tangannya yang digenggam dengan erat. Gadis itu tersenyum pahit. Ia mendongak dan menatap Rifan lekat.

"Rifan, apa kamu tau?"

Rifan menggeleng sebagai jawaban.

"A-aku banyak takutnya." Bibir gadis itu bergetar saat mengucapkan kata tersebut.

Saat ingin kembali bersuara Rifan segera memeluk gadis itu dengan erat, memasukkannya ke dalam dekapan erat agar Araya bisa meluapkan perasaan yang sedari tadi ia pendam.

Araya terkejut saat Rifan mendekapnya begitu saja, namun ia tidak keberatan, lebih baik seperti itu.

"Raya, kamu manusia. Kamu berhak menjadi diri kamu sendiri tanpa harus mendengar kata orang lain. Raya, jangan mengubah sikapmu, hanya karena kamu tidak ingin kehilangan orang-orang di sekitarmu!" ucap Rifan.

Tangan pemuda itu terangkat, memegang kepala Araya dengan lembut.

"Luapkan, Araya! Luapkan apa yang kamu rasakan, lepaskan beban yang menghantui pikiranmu, jika tidak pikiranmu akan berantakan!"

Araya mendorong dada Rifan keras, dekapan mereka terlepas. Gadis itu menatap Rifan dengan tajam, matanya memerah serta napas memburu yang mulai terdengar diantara hujan-hujan.

Air mata gadis itu mulai turun satu persatu bersama air hujan. Ia melengkungkan bibirnya ke atas membentuk sebuah senyum yang belum pernah Rifan lihat sebelumnya.

"Aku tidak boleh seperti ini, Rifan! Aku tidak boleh menangis! Kenapa! Kenapa!" Gadis itu berteriak, melangkah ke arah Rifan lalu memukul dada pemuda itu.

Pecah!

Araya menangis dengan keadaan memukul Rifan.

"Hiks! A-aku lelah, Rifan. Aku bingung, aku takut, aku khawatir! Kenapa." Gadis itu mendongak, ia terlihat lelah dengan semua yang menghantamnya.

"Rifan ... selama ini aku hanya mempunyai Devan, namun sekarang dia bukan milikku lagi. A-aku mengecewakan Rifan, hiks!" Gadis itu terduduk lemah di bawah tanah yang basah, menutup wajahnya dengan kedua tangan dan membiarkan dirinya menangis sebisanya.

Rifan berjongkok ia menatap Araya dengan iba, perasaannya ikut tercubit melihat partner Dancenya berantakan seperti ini.

"Kamu tau... sedari kecil aku kagum pada Ayahku karena dia dikenal banyak orang. Aku ... aku ingin menjadi seperti dirinya, menjadi seorang dancer terkenal namun ...." Suara gadis itu tercampur dengan sesegukan.

"Namun, ternyata dia tidak sekeren apa yang aku pikirkan. Dia menyakiti Mama ku, Rifan!" Gadis itu memukul-mukul tanah, melampiaskan amarah-amarahnya di sana.

Dadanya terasa panas, hingga membuat pikirannya kacau. Sangat kacau dari biasanya.

"Dan, aku ikut menyakiti perasaan Mama! A-aku hanya ingin ... hiks!"

"Aku hanya ingin mendapatkan dukungan dari mereka semua, namun kenapa aku tidak bisa merasakannya!"

"Semuanya m-e-nyakitkan!"

Rifan hanya diam, memperhatikan wajah yang menangis dengan kehancuran itu. Ternyata wajah yang selama ini datar menyimpan banyak luka, ternyata ia sengaja melakukan itu demi orang-orang yang dia sayangi. Namun, banyak yang tidak mengerti perasaannya.

"Rifan ... sebenarnya untuk apa aku hidup! Orang yang aku sayangi semuanya sudah lenyap, jalan pulang pun aku tidak tahu di mana," lirih Araya.

"Aku tidak pernah menunjukkan rasa sedih di wajahku karena orang-orang membencinya, aku tidak pernah mengemis kasih sayang karena orang-orang hanya menyukai sikap dewasa. Sekarang ... aku melakukan kesalahan sehingga mereka semua menjauh, meninggalkanku."

Rifan memegang kedua bahu Araya dengan lembut. Pemuda itu tersenyum. "Kamu hebat, Raya."

Araya melihatnya tidak percaya.

"Kamu hebat," ucapnya lagi dengan nada lembut.

"Jangan berniat untuk menghiburku dengan kata-kata seperti itu," balas Araya.

Rifan menggeleng. "Aku serius, Raya. Kamu hebat, kamu memendam semuanya demi orang yang kamu sayang, namun salahnya mereka tidak bersyukur akan kamu," ucap pemuda itu.

"Kalau kamu tidak memiliki tempat untuk pulang, kan masih ada aku, masih ada impian kamu, dan masih ada teman-teman dance- kamu."

"Kamu hebat, karena kamu bisa menjalaninya dan tetap hidup sampai sekarang. Wujudkan mimpi kamu Araya, biarkan mereka memandangmu rendah untuk sekarang. Namun, di hari berikutnya biarkan mereka menyesal."

Mata mereka bertemu dan saling memandang, Araya berusaha mencerna apa yang Rifan katakan. Gadis itu benar-benar terdiam, mendengar kalimat-kalimat semangat yang keluar.

"T-tapi ..."

Rifan menyentil jidat gadis itu. "Tidak ada kata tapi, aku akan selalu berada di sisimu hari ini dan seterusnya, jadi ... bersyukurlah karena aku siap dan bersyukurlah karena aku menjadi temanmu," ucap Rifan penuh arti.

Debaran yang tadinya penuh amarah kini mereda di saat Rifan berusaha menenangkannya. Pemuda itu benar-benar membuat Araya bungkam—sebelumnya Araya tidak pernah mendengar kalimat seperti itu.

Rifan berdiri. "Baiklah, sekarang adalah kehidupan untukmu. Berdirilah, ikut denganku," ucap Rifan, memajukan tangannya.

Araya menatap tangan Rifan, dengan cepat ia meraih tangan pemuda itu dan berdiri.

"Raya, bagaimana pun masalahnya aku siap mendengarkannya. Dan ... berikanlah yang terbaik, soal support aku siap memberikannya," ucap Rifan serius.

Araya menatap pemuda itu tidak percaya, Rifan benar-benar pemuda yang baik. Bagaimana pun dalam hati Araya merasa dia bersyukur bertemu dengan Rifan, walaupun mereka belum cukup sebulan berteman.

Hujan perlahan menghilang, cahaya mulai muncul kembali menyinari Araya yang mulai menoleh ke arahnya. Gadis itu benar-benar lega, benar kata Rifan.

"Kehidupan baru, dari sekarang," lirihnya.

(⁠╥⁠﹏⁠╥⁠)

Araya melanglah masuk ke dalam rumah yang begitu besar, belum pernah dia lihat. Tapi, bagaimana bisa Rifan membawanya ke tempat ini.

"Ini adalah apartemen milikku, sudah lama tidak digunakan. Tapi, bibi selalu datang membersihkannya setiap Minggu, kamu bisa tinggal di sini untuk sementara." Rifan melangkah masuk membawa koper milik Araya.

Araya mengedip tidak percaya. "Maaf," ucapnya merasa tidak enak.

Rifan menatap Araya dengan tatapan lelah. "Bukankah sudah ku katakan padamu? Jadilah diri sendiri, jadi ucapkan apa yang ingin kamu katakan," ucap Rifan kesal.

Araya menarik napas dalam-dalam, ia berusaha melengkung bibirnya agar tersenyum. "Aku merasa tidak enak," ucapnya sedikit ragu.

Rifan terkekeh geli. "Kamu seperti anak kecil saja. Diajar untuk berbicara," ucapnya.

"Di lantai dua terletak kamarku, kamu tidur di sana saja. Oh, yah, berikan aku nomor ponselmu. Jika kamu butuh apa-apa kirimi saja aku pesan." Pemuda itu memberikan Araya ponselnya, dengan cepat Araya mengetik nomornya di sana, lalu kembali memberikan ponsel milik Rifan.

Gadis itu menggigit bibir bawahnya erat, ia ingin berterimakasih pada Rifan namun ia sungguh ragu mengeluarkan setiap kata yang ingin dia ucapkan.

"R-rifan, terimakasih," ucapnya.

"Untuk apa?" tanya Rifan dengan satu alis terangkat

"Untuk semuanya ... j-jika tidak ada kamu mungkin aku sudah menghilang dari dunia ini," ucapnya melempar wajahnya ke lain arah.

Rifan terkekeh pelan. "Tidak usah sungkan, sekarang kita teman, bukan?"

Araya tersenyum kemudian mengangguk dengan senang.

"Baiklah, aku akan pulang. Masih ada yang ingin aku kerjakan," ucap Rifan melangkah keluar apartemen.

Sebelum benar-benar pergi Araya berlari dan menahan pergelangan pemuda itu. Rifan berbalik.

Araya mengeluarkan sesuatu dalam kantong celananya, dan hal itu membuat Rifan terkekeh gemas.

"Ini untuk kamu, terimakasih. Walaupun tidak seberapa namun aku akan bekerja keras untuk berterimakasih selayak mungkin," ucapnya menyodorkan sebuah gantungan boneka beruang pada Devan.

Devan menerimanya dengan senang hati namun itu membuat Araya khawatir. Ia takut hadiah itu tidak disukai oleh Rifan.

"Lucu, aku menyukainya."

Mendengar itu Araya mengangkat wajahnya. "Benarkah?" tanyanya masih tidak percaya.

Rifan mengangguk. "Serius, aku tidak pernah memilikinya."

Araya tersenyum senang merasa lega karena Rifan menyukai hadiah miliknya. "Tapi... bonekanya sedikit kotor karena terkena tanah basah."

"Tidak masalah, aku akan merawatnya sebaik mungkin. Kalau begitu aku duluan, bye!" Pemuda itu berlaku pergi dengan sebuah lambaian singkat.

Saat Rifan sudhs menjauh dari pandangan, Araya baru mengangkat tangannya untuk melambai Rifan.

"Sudah telat," lirihnya.

1
Alexander
Ceritanya bikin aku terbuai sejak bab pertama sampai bab terakhir!
Kiboy: semoga betah😊
total 1 replies
Mèo con
Terharu, ada momen-momen yang bikin aku ngerasa dekat banget dengan tokoh-tokohnya.
Kiboy: aaa makasih banyakk, semoga seterusnya seperti itu ಥ⁠‿⁠ಥ
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!