Di balik tirai kemewahan dan kekuasaan, Aruna menyembunyikan luka yang tak terobati, sebuah penderitaan yang membungkam jiwa. Pernikahannya dengan Revan, CEO muda dan kaya, menjadi penjara bagi hatinya, tempat di mana cinta dan harapan perlahan mati. Revan, yang masih terikat pada cinta lama, membiarkannya tenggelam dalam kesepian dan penderitaan, tanpa pernah menyadari bahwa istrinya sedang jatuh ke jurang keputusasaan. Apakah Aruna akan menemukan jalan keluar dari neraka yang ia jalani, ataukah ia akan terus terperangkap dalam cinta yang beracun?
Cerita ini 100% Murni fiksi. Jika ada yang tak suka dengan gaya bahasa, sifat tokoh dan alur ceritanya, silahkan di skip.
🌸Terimakasih:)🌸
IG: Jannah Sakinah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jannah sakinah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Air mata mulai menggenang di mata Aruna. Ia merasakan perasaan campur aduk, rindu, kesedihan, dan juga pembebasan. “Aku… aku juga akan selalu menghargaimu, Revan. Tapi ini waktunya bagi kita untuk melepaskan semuanya. Aku harus melangkah maju, dengan atau tanpa kamu. Kamu juga harus melakukan hal yang sama.”
Revan menghela napas panjang. "Aku mengerti, Aruna. Mungkin kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama, tetapi aku akan selalu menghormati keputusanmu. Terima kasih telah memberi aku kesempatan untuk mencintaimu."
Dengan langkah berat, Revan membalikkan tubuhnya dan pergi. Aruna menatapnya pergi, merasakan hati yang hancur tetapi juga merasa lebih ringan. Keputusan yang telah ia buat terasa semakin jelas di matanya ia tidak lagi terjebak dalam masa lalu. Ia memilih untuk hidup untuk dirinya sendiri, untuk masa depannya.
Malam itu, Aruna duduk di balkon, menikmati angin malam yang sejuk. Ia tahu, meskipun perjalanan ini sulit, ia akhirnya telah menemukan kedamaian dalam dirinya. Dengan Rio yang setia di sampingnya, ia merasa lebih kuat. Aruna menyadari bahwa meskipun cinta bisa datang dan pergi, yang terpenting adalah cinta kepada diri sendiri.
Sebelum tidur, Aruna mengirimkan pesan singkat kepada Rio: “Terima kasih karena selalu ada untukku. Aku merasa lebih baik sekarang. Aku siap untuk melangkah maju.”
Rio membalas dengan cepat, “Aku akan selalu ada untukmu, Aruna. Selamanya.”
Dengan senyum di wajah, Aruna akhirnya bisa merasakan kedamaian yang selama ini ia cari. Ia tahu bahwa apapun yang akan terjadi di masa depan, ia akan menghadapinya dengan kepala tegak, bersama orang yang ia cintai, dalam perjalanan baru yang penuh dengan harapan.
Aruna bangun pagi itu dengan perasaan yang lebih ringan dari sebelumnya. Beberapa minggu terakhir telah menguji kekuatan emosionalnya, tetapi juga memberikan pelajaran berharga. Seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk menerima kenyataan dan membiarkan dirinya sembuh. Cinta memang memiliki daya tarik yang kuat, tetapi ia juga menyadari bahwa kekuatan sejati datang dari dalam dirinya sendiri.
Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana Aruna merasa siap untuk melangkah lebih jauh ke depan, tanpa beban masa lalu yang terus mengganggu. Ia duduk di depan cermin, menatap dirinya sendiri. Wajah yang dulu penuh dengan kecemasan kini terlihat lebih tenang, matanya tidak lagi penuh dengan keraguan. Dengan hati yang mantap, Aruna merapikan rambutnya dan berpakaian dengan gaya yang sederhana namun elegan—sebuah tanda bahwa ia siap menghadapi dunia, tanpa takut dan tanpa rasa ragu.
Saat ia mempersiapkan diri untuk keluar, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Rio.
“Pagi, sayang. Aku sudah menunggu di kafe yang kita sukai. Tidak sabar bertemu kamu hari ini. Semoga hari ini penuh dengan kebahagiaan untukmu.”
Aruna tersenyum kecil membaca pesan itu. Rio, dengan caranya yang sederhana namun penuh perhatian, selalu tahu bagaimana membuatnya merasa dihargai. Ia mengirimkan balasan singkat.
“Aku akan segera ke sana. Terima kasih sudah selalu ada untukku.”
Dengan langkah mantap, Aruna berjalan keluar dari apartemennya, merasakan udara pagi yang menyegarkan. Kota di luar jendela terasa hidup, penuh dengan hiruk-pikuk, tetapi di dalam dirinya, ia merasakan kedamaian yang langka. Ia tahu, meskipun ada banyak hal yang belum pasti, ia memiliki kekuatan untuk memilih arah hidupnya sendiri.
Di kafe yang tidak terlalu jauh, Rio sudah menunggu dengan secangkir kopi di depannya. Ketika Aruna masuk, ia melihat Rio tersenyum lebar, senyum yang selalu membuat hatinya hangat. Tanpa berkata apa-apa, Rio bangkit dari kursinya dan menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Kamu terlihat luar biasa pagi ini,” ujar Rio dengan lembut, sambil melepaskan pelukannya.
Aruna hanya tertawa pelan, merasa sedikit canggung dengan perhatian yang diberikan. "Kau tahu bagaimana cara membuatku merasa spesial, ya?"
Rio duduk kembali dan mempersilakan Aruna untuk duduk di sebelahnya. "Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan. Kamu memang luar biasa, Aruna."
Mereka duduk berhadapan, dan Aruna merasa sesuatu yang berbeda. Ada kedamaian yang datang ketika ia berada di dekat Rio. Tanpa keraguan, tanpa kekhawatiran tentang masa lalu. Rio adalah kenyataan yang hadir di hadapannya—sebuah kenyataan yang ia butuhkan setelah sekian lama terperangkap dalam mimpi yang tidak menentu.
“Ada yang ingin kamu bicarakan, Aruna?” tanya Rio, sambil menatapnya dengan penuh perhatian.
Aruna memandangnya sejenak, merasakan ketenangan yang datang dalam pelukan waktu yang tepat. “Aku… aku hanya ingin berterima kasih, Rio. Terima kasih karena selalu ada. Terima kasih karena tidak pernah memaksaku untuk menjadi seseorang yang bukan diriku. Terima kasih karena kau memberiku kesempatan untuk sembuh.”
Rio tersenyum, matanya penuh pengertian. “Aku hanya ingin kamu bahagia, Aruna. Kamu tidak perlu merasa tertekan. Kita akan melewati ini bersama, apapun itu.”
Aruna mengangguk, merasa ada kedamaian yang semakin mengalir dalam dirinya. “Aku sudah banyak berpikir, Rio. Dan aku sadar satu hal, aku harus melepaskan masa lalu sepenuhnya. Itu termasuk Revan.”
Mendengar nama Revan, Rio mengangkat alis, namun ia tidak tampak terkejut. Rio tahu bahwa Aruna masih terikat dengan kenangan itu, meskipun ia tidak pernah memaksanya untuk membicarakannya. “Aku mengerti, Aruna. Aku tahu itu tidak mudah, tetapi aku di sini untukmu.”
Aruna menggenggam tangan Rio, merasa kekuatan dari sentuhannya memberi ketenangan. “Aku tidak ingin terus membawa luka itu. Aku ingin kita punya kesempatan untuk memulai yang baru, dengan cara kita sendiri.”
Rio mengangguk pelan. “Aku ingin itu juga, Aruna. Aku ingin kita berjalan bersama ke masa depan yang lebih baik.”
Percakapan mereka mengalir lancar, penuh dengan kehangatan. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi kebingungan. Aruna tahu, dengan Rio, ia bisa membangun kembali segalanya dari awal sebuah hidup yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan yang sederhana.
Namun, perasaan Aruna tetap terbagi. Ketika ia meninggalkan kafe itu bersama Rio, ada rasa kosong yang muncul, bukan karena kebersamaannya dengan Rio, tetapi karena ia tahu, meskipun telah melepaskan Revan, bagian dari dirinya tetap merasa bersalah. Revan tetap ada dalam hidupnya, dan Aruna tahu bahwa ia harus memberikan penutupan yang lebih baik, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk pria yang pernah begitu berarti dalam hidupnya.
Malam itu, Aruna memutuskan untuk menulis surat. Surat yang tidak akan pernah ia kirimkan, tetapi surat yang akan memberinya kebebasan. Dalam surat itu, ia menulis tentang segala yang ia rasakan, tentang cinta yang dulu ada, tentang kenangan indah bersama Revan, tetapi juga tentang bagaimana ia harus melepaskan semuanya agar bisa melangkah ke depan. Ia menulis tentang perasaannya, tentang rasa sakit yang ia sembuhkan, dan tentang keputusan yang ia buat untuk memilih dirinya sendiri.