Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
016. Ibu Pahlawan Abadi
Mereka telah tiba di depan gang. Di kanan-kiri tangan ibunya tergenggam bungkusan berisi belanjaan. Tidak perlu mall mewah untuk membuat Dul merasa menjadi kaya raya. Cukup ke pasar dan membeli barang dengan hanya sekali menawar saja sudah membuat hatinya dipenuhi rasa lebih dari cukup.
“Sejak ada om Bara, Ibu banyak uang, ya ….”
"Baju kamu belinya memang pakai uang dari Om Bara. Ibu sudah izin."
"Ibu mau, kan, diangkat jadi istri sama Om Bara?"
Pasti enggak dijawab lagi ….
"Hari Sabtu nanti kalau pergi, jangan banyak minta yang aneh-aneh ya …. Jangan ngomong yang aneh-aneh juga ke Om Bara.”
Enggak dijawab ....
"Pentas seni kemarin, aku panggil om Bara Ayah. Om Bara enggak marah, kok."
Dengan kata lain Dul hanya ingin menegaskan pada ibunya bahwa pria bernama Bara itu tidak keberatan dipanggil ayah olehnya. Ibunya tetap bergeming dan akhirnya ia bungkam mengerucutkan bibirnya.
Mereka tiba di rumah diiringi tatapan Mbah Lanang yang penuh kecurigaan. Mengalihkan pandangannya sejenak dari televisi untuk menatap semua bungkusan yang baru diletakkan di lantai. Ibunya cekatan seperti biasa. Memintanya langsung mandi karena sudah hampir seharian berada di luar.
Dari dalam kamar mandi ia mendengar percakapan ibunya dan Mbah Lanang. Percakapan itu bernada tinggi dan cukup keras. Ia masih bisa mendengarnya dengan cukup jelas.
"Hari Sabtu nanti, aku bawa Dul jalan-jalan, ya, Pak. Minta tolong dibangunkan cepat. Nanti aku dateng bawain bajunya. Ini tadi baru beli baju. Mau aku cuci dulu.”
Aku bisa bangun pagi sendiri, Bu …. Aku bisa siap-siap sendiri.
Bagaimana pun ibunya mengatakan mempercayainya sebagai seorang anak, tetap saja dalam beberapa hal ibunya tetap tidak percaya. Malah lebih memilih mengatakan semuanya pada Mbah Lanang. Dul berdecak di dalam hati.
Selanjutnya Dul mengingat perasaannya hari itu adalah rasa kesalnya yang semakin jelas pada Mbah Lanang. Ia menganggap bahwa Mbah Lanang menghalang-halangi kebahagiaannya. Ada orang baik yang mau membawa ia dan ibunya jalan-jalan gratis, tapi malah dimusuhi. Sedangkan laki-laki yang menyiksa ibunya malah dibiarkan berkeliaran di dekat mereka.
"Di warung, orang sibuk nanya ke aku. Siapa laki-laki yang sama Dijah? Hati-hati dapat laki-laki yang lebih berengsek dari Fredy."
"Memangnya ada laki-laki yang lebih berengsek dari Fredy? Mana orangnya? Aku mau kenalan. Aku cuma ngomong mau bawa anakku jalan-jalan aja, kok, jadi ribut. Kalau nggak bisa ngomong nyenengin itu setidaknya jangan ngomong yang nyakitin, Pak.”
Mendengar suara ibunya yang semakin tinggi, Dul mempercepat mandinya dan keluar kamar mandi. Ia takut kalau ibunya kalah berdebat dan membatalkan acara jalan-jalan itu karena ucapan Mbah Lanang.
Saat melangkah keluar kamar mandi, ternyata Mbah Wedok sudah duduk di pintu dapur. Entah sudah berapa lama. Saking tak pernahnya Mbah Wedok bersuara saat Mbah Lanang dan ibunya berdebat, kehadiran wanita tua itu sering tak disadarinya.
Dul bergegas mendekati ibunya yang sudah mempersiapkan pakaian baru, sisir dan bedak putih yang berada di dekatnya. Ternyata perdebatan itu terhenti karena kedatangannya. Kepalanya menoleh cemas memandang wajah Mbah Lanang dan ibunya yang sama-sama mengetat karena rasa kesal masing-masing.
Alasan kenapa Dul akan tetap menganggap bahwa ibunya adalah pahlawan abadi buatnya. Wanita yang melahirkannya itu kuat meski tanpa perisai. Selalu bisa menghiburnya dengan kata-kata paling menenangkan.
"Itu nanti dimakan, ya. Jajanannya dihemat. Hari Sabtu pagi, ibu jemput ke sini. Jangan tidur larut malem.”
"Iya. Hari Sabtu aku janji bangun cepat," jawab Dul dengan lega. Mereka akan tetap pergi Sabtu nanti.
Perdebatan antara ibunya dan Mbah Lanang dilanjutkan dalam bahasa yang tak dimengerti olehnya. Mungkin Mbah Lanang sudah beranggapan bahwa semakin lama ia semakin mengerti dengan hal yang dibicarakan orang dewasa. Dan kini Mbah Lanang memilih bahasa daerah untuk tetap bisa menyerang ibunya dengan kata-kata yang tak dimengertinya.
Walau tak tahu apa yang dikatakan ibunya untuk menjawab Mbah Lanang, tapi Dul cukup senang saat ibunya cepat-cepat pergi dari rumah dan membanting pintu.
“Memangnya mau ke mana?” tanya Mbah Wedok saat Dul berada di dapur dengan wajah penuh bedak yang dipakaikan ibunya terburu-buru. Mbah Wedok duduk di ambang pintu belakang dan meraih tangannya agar ikut berjongkok. Wanita tua itu membantunya merapikan bedak.
“Mau ke Taman Bermain di Puncak."
"Sama teman Ibu yang naik motor besar?"
Dul mengangguk. "Yang boncengan aku ke pentas seni," jelas Dul.
"Orangnya baik ke kamu?"
"Aku seneng diajak jalan-jalan. Om Bara itu baik, Mbah. Baik ke Ibu ... baik ke aku. Kalau ngomong sama Ibu suaranya pelan kayak Mbah Wedok kalau ngomong ke Mbah Lanang. Juga enggak pelit. Aku suka,” lapor Dul pada Mbah Wedok.
Mbah Wedok tak menjawab. Hanya merapikan bedak di wajah Dul sedikit lebih lama.
To Be Continued