Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 15
Rania mengerjapkan matanya perlahan, berusaha mengusir sisa-sisa kantuk yang masih menggelayuti kelopak matanya. Sore tadi, setibanya dari maraton belanja yang melelahkan bersama Ergan, ia langsung jatuh tertidur. Tubuhnya yang tidak terbiasa dengan hiruk pikuk kota seolah menuntut hak untuk beristirahat. Ia menoleh ke sisi ranjang yang kosong. Airon belum ada di sana.
"Tuan Airon..." gumamnya lirih.
Rania bangkit, merapikan gaun tidurnya, dan melangkah keluar kamar. Saat kakinya memijak lantai ruang tamu suite mewah itu, langkahnya terhenti seketika. Matanya menangkap sosok Airon yang duduk mematung di sofa, namun pemandangan di sekitarnya sungguh mengerikan. Serpihan kristal dari gelas yang hancur berhamburan di atas karpet mahal, berkilau tajam di bawah lampu gantung.
"Tuan? Tuan tidak apa-apa?" Tanya Rania dengan suara bergetar, mendekat dengan hati-hati agar kakinya tidak terkena pecahan kaca.
Airon tidak menjawab. Napasnya memburu, matanya menatap kosong ke depan dengan sorot penuh kemarahan yang tertahan. Saat Rania sampai di sampingnya, jantung gadis itu seolah berhenti berdetak.
"Astaghfirullah, Tuan Airon!" Pekik Rania tertahan.
Darah segar mengalir dari sela jemari Airon, menetes satu demi satu ke lantai, menciptakan noda merah pekat yang kontras. Tanpa membuang waktu, Rania berlari mencari kotak P3K yang ia lihat di lemari lorong tadi siang.
"Sini, Tuan, biarkan saya lihat tangannya," ucap Rania lembut setelah kembali dengan peralatan medis. Ia mencoba meraih tangan pria itu.
"Tidak perlu!" Airon menepis tangan Rania dengan kasar. Wajahnya yang tampan kini tampak seperti monster yang terluka, penuh dengan kebencian yang entah ditujukan pada siapa.
Rania menelan ludah, rasa takut kembali merayap di tengkuknya. Namun, melihat luka robek yang cukup dalam itu terus mengeluarkan darah, rasa khawatirnya mengalahkan rasa takutnya.
"Tuan, lukanya cukup parah. Biar saya obati dulu, ya?" Rania kembali mencoba, suaranya kini lebih tegas namun tetap penuh kasih.
"Kamu tidak dengar saya bilang apa, hah?! Pergi, Rania!" Teriak Airon, suaranya menggelegar memenuhi ruangan.
Rania tersentak, namun ia tidak mundur. "Tuan boleh marah pada saya nanti. Tuan boleh membentak saya sesuka Tuan setelah ini. Tapi tolong, biarkan saya mengobati luka ini dulu. Setelah itu, saya tidak akan mengganggu Tuan lagi," ucap Rania dengan mata yang berkaca-kaca namun penuh keteguhan.
"Apa kamu ingin saya berbuat kasar padamu?!" Ancaman Airon semakin menjadi-jadi.
"Silakan, Tuan. Jika itu bisa membuat Tuan tenang, lakukanlah. Tapi izinkan saya menjalankan tugas saya. Karena sudah menjadi kewajiban saya sebagai istri untuk mengurusi suami saya," ujar Rania pelan namun menusuk.
Kalimat itu, kata 'istri' dan 'suami', seolah menjadi air dingin yang mengguyur api kemarahan Airon. Ia tersentak. Untuk pertama kalinya, benteng pertahanan di hatinya sedikit goyah. Ia menatap Rania, menemukan ketulusan yang begitu murni di mata cokelat gadis itu. Airon terdiam, membiarkan Rania meraih tangannya yang terluka.
"Ini pasti sangat sakit," bisik Rania saat ia mulai membersihkan darah dan memberikan antiseptik. Ia meniup luka itu perlahan, gerakan yang begitu sederhana namun terasa begitu hangat bagi Airon.
"Jangan sampai terkena air dulu ya, Tuan," beritahu Rania setelah membalut luka itu dengan rapi.
"Saya tahu," sahut Airon pendek, segera menarik tangannya kembali. Gengsi masih mendominasi dirinya, meski rasa nyeri itu mulai berkurang.
"Saya bersihkan pecahan kaca ini dulu, Tuan." Rania hendak memungut serpihan itu, namun tangan Airon menahannya.
"Tidak perlu. Jangan sentuh itu," kata Airon. Ia meraih ponselnya, menghubungi resepsionis hotel dengan nada memerintah. "Layanan kamar. Segera."
"Tapi Tuan... apa mereka tidak akan marah melihat kekacauan ini?" Tanya Rania cemas. Ia membayangkan mereka akan diusir karena merusak fasilitas.
Airon meliriknya sekilas, sudut bibirnya terangkat tipis, nyaris tak terlihat. "Mereka akan dipecat jika berani menunjukkan wajah kesal di depan saya."
Rania tertegun, tidak mengerti. Ia tidak tahu bahwa hotel berbintang lima ini adalah salah satu dari sekian banyak aset milik Airon. Di tempat ini, Airon adalah raja yang hukumnya tak boleh dibantah.
Seminggu telah berlalu sejak insiden berdarah di hotel. Mereka kini telah kembali ke vila. Namun, misteri tentang apa yang memicu kemarahan besar Airon waktu itu masih tersimpan rapat. Rania tidak berani bertanya; ia tahu Airon bisa berubah menjadi singa yang siap melahap siapa saja jika terusik.
Pagi itu, saat mereka duduk untuk sarapan dengan makanan katering mewah yang dikirim seperti biasa, Rania memberanikan diri untuk bicara.
"Tuan Airon... bisakah kita berhenti memesan makanan dari luar?" Tanya Rania hati-hati.
Airon meletakkan sendok peraknya, tatapannya beralih sepenuhnya pada Rania, menunggu penjelasan.
"Bolehkah saya saja yang memasak di sini?" Sambung Rania.
"Kamu? Memasak?" Airon menatapnya ragu. Di dunianya, memasak adalah tugas koki bersertifikat, bukan tugas seorang wanita simpanan—eh, istri—yang ia tebus dari klub malam.
"Iya, Tuan. Saya bisa memasak. Ya... meskipun mungkin bukan makanan mewah seperti yang biasa Tuan pesan," kata Rania, menyadari keraguan di mata suaminya.
Airon terdiam sejenak. "Baiklah. Tapi masak untuk keperluanmu saja. Saya tidak menjamin akan memakannya," tegas Airon.
Meskipun tanggapan Airon dingin, hati Rania bersorak senang. Diberi izin untuk menyentuh dapur adalah sebuah kemenangan kecil baginya.
Insiden Supermarket dan Rahasia Ergan
Siangnya, Ergan menjemput Rania atas perintah Airon. Mereka pergi ke sebuah supermarket kelas atas. Rania berjalan di antara rak-rak yang menjulang, matanya membulat melihat label harga yang tertera pada sayuran organik dan daging impor.
"Ergan... kenapa semuanya begitu mahal?" Bisik Rania, mendekati telinga asisten pribadi itu. "Ini... apa harganya bisa ditawar?"
Ergan berusaha sekuat tenaga menahan tawa agar tidak menyinggung perasaan majikan mudanya ini. "Tidak bisa, Nyonya Muda. Di sini harganya sudah pas," bisiknya balik.
"Nyonya Muda tidak perlu memikirkan harga. Tuan Airon tidak akan bangkrut hanya karena Nyonya memborong seisi toko ini," tambah Ergan meyakinkan.
Saat sedang memilih bumbu dapur, sebuah suara feminin yang ceria memanggil dari belakang. "Ergan!"
Ergan menegang. Ia berbalik dan mendapati Airish, adik kembar Airon, berdiri di sana dengan gaya modisnya. "Nona Airish..." gumam Ergan, keringat dingin mulai membasahi punggungnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Kak Airon tidak mungkin ikut belanja sayur, kan?" Canda Airish.
"Tuan Airon menyuruh saya mencari sesuatu yang spesifik, Nona," jawab Ergan cepat, berusaha mengatur napasnya agar tidak terdengar panik.
"Lalu... siapa dia?" Mata Airish beralih pada Rania yang berdiri terpaku di belakang Ergan.
Ergan menelan ludah. Jika identitas Rania terbongkar sekarang, ia bisa dibuang ke Segitiga Bermuda oleh Airon. "Nona ini... beliau juga sedang mencari sesuatu dan bertanya pada saya," bohong Ergan dengan wajah sedatar mungkin.
"Oh, begitu. Baiklah, aku pergi dulu ya! Airish, ayo!" Teriak teman-temannya dari kejauhan. Airish mengedipkan mata pada Ergan sebelum berlalu.
Ergan mengembuskan napas lega yang luar biasa panjang. "Dia adalah adik Tuan Airon, Nyonya Muda. Maafkan saya karena harus berpura-pura tidak mengenal Nyonya," ucap Ergan penuh penyesalan saat mereka kembali ke mobil.
"Tidak apa-apa, Ergan. Saya mengerti. Jika ketahuan, Tuan Airon pasti akan sangat marah pada kita berdua," sahut Rania tenang.
Sesampainya di vila, Rania langsung beraksi di dapur. Ia merasa hidup kembali saat mencium aroma bawang yang ditumis. Ergan membantunya membawa belanjaan hingga ke dapur.
"Ergan, kamu pasti belum makan siang, kan?" Tanya Rania.
"Belum, Nyonya Muda."
"Kalau begitu, tunggu sebentar. Saya akan memasak, dan kita makan sama-sama," ucap Rania penuh semangat.
Tak butuh waktu lama, aroma tumis kangkung terasi, ikan goreng yang garing, dan sambal terasi yang pedas menyeruak di ruang makan. Rania menyajikan piring di hadapan Ergan.
"Mungkin kamu tidak terbiasa, tapi cobalah," kata Rania malu-malu.
Ergan menatap hidangan sederhana itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia menyuap sesendok kangkung dan ikan goreng itu ke mulutnya. "Ini... ini luar biasa, Nyonya. Rasanya persis seperti masakan ibu saya."
"Benarkah?" Rania tersenyum lebar.
"Ya. Terakhir kali saya makan seperti ini adalah saat usia saya empat belas tahun, sebelum ibu saya pergi," ucap Ergan lirih, ada kerinduan yang mendalam dalam suaranya.
Rania merasa haru. Di balik vila yang dingin dan tuan yang kejam, ia menemukan bahwa masakan sederhananya bisa memberikan kehangatan bagi seseorang. Ia hanya berharap, suatu saat nanti, Airon juga mau mencicipi dan merasakan kehangatan yang sama.
******
Jangan lupa dukung terus kisah Rania dengan cara VOTE/BINTANG, berikan LIKE, dan tuliskan KOMENTAR kalian yang paling seru! Dukungan kalian adalah nyawa bagi Author untuk terus lanjut. Salam sayang, Author.
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦