⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 34
“Yang bikin aneh, istri Papa itu mantannya Om Reno. Tante, dan ibu Baskara… orang yang hampir bikin aku meninggal,” ucap Aluna sambil menangis tersedu.
“Apa??” Ray dan Tania sontak kaget.
“Terus itu gimana? Kok bisa gitu? Apa sengaja?” tanya Ray, matanya membulat.
“Papa juga baru tahu, pas Baskara datang ke rumah. Aku juga kaget. Tadinya aku cuma kesal sama dia, cuma ngebully karena dia terlalu berani. Tapi waktu dia cekik aku, aku makin benci. Makanya aku pindahin dia ke gelombang A, biar dia sadar diri—dia itu siapa.”
Air mata Aluna jatuh lagi. “Pas tahu dia anaknya Om Reno, aku makin jijik. Tapi tadi… dia malah nyium aku. Katanya dia suka sama aku. Jijik banget.”
“Kurang ajar itu anak! Kalau Papa kamu tahu, habis dia,” ucap Tania geram, tangannya mengepal.
“Tadi Ray udah hajar dia, Ma,” ujar Ray dengan nada pelan, menunduk.
“Nggak bakal kamu dipanggil kan, Ray?” tanya Tania, khawatir.
“Nggak lah, siapa yang berani manggil,” jawab Ray santai sambil mengusap air mata di pipi Aluna.
Tania menghela napas, lalu menatap Aluna penuh kasih. “Udah, sekarang kamu tenang, ya. Tante sayang kamu. Ada Papa Axel, ada Papa Romi—semuanya sayang kamu. Kamu nggak akan kekurangan kasih sayang. Soal Reno, biar Tuhan yang balas. Buktinya, hidup dia nggak bahagia. Dia aja cerai sama istrinya, itu tandanya hidupnya nggak tenang.”
Aluna mengangguk sambil tersenyum lemah. “Iya, Tante. Makasih udah mau dengerin Aluna.”
“Kamu udah Tante anggap anak sendiri,” ucap Tania lembut.
“Calon menantu,” sela Ray sambil tersenyum menggoda.
Tania melirik sinis. “Hmm, ngarep.” Ia menyesap tehnya pelan.
Aluna terkekeh kecil. “Aku pulang dulu ya, Tante.”
“Hati-hati, ya, sayang,” ucap Tania, membalas dengan senyum hangat.
“Ya, Tante.” Aluna berjalan keluar bersama Ray.
Di dalam mobil, suasana sempat hening. Hanya suara mesin dan detik jarum jam digital terdengar.
“Udah mendingan?” tanya Ray pelan.
Aluna mengangguk pelan, menatap jendela.
“Kalo kamu nggak betah sama ibu tiri kamu, pindah aja ke rumah Papa Romi,” ucap Ray serius.
“Nggak mau! Nanti Papa aku diambil. Ogah!” jawab Aluna dengan cemberut.
Ray tertawa kecil, geli. “Iya, iya, oke. Nggak bakal diambil kok.”
Mobil berhenti di depan rumah Aluna. Malam sudah larut.
“Thanks,” ucap Aluna sambil tersenyum manis.
Sama sama ucap Ray sambil menatap wajahnya lama. Ia menelan ludah, lalu perlahan mendekat. Bibirnya menyentuh bibir Aluna dengan lembut.
Aluna sempat kaget, tapi entah kenapa, ia malah membalas ciuman itu—hangat, singkat, tapi nyata, tiba-tiba.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan keras di kaca mobil membuat mereka berdua terlonjak.
Romi sudah berdiri di luar mobil, menatap tajam.
Ray dan Aluna buru-buru keluar.
“Sudah malam. Dari mana kalian?” tanya Romi tegas.
“Tadi… Al dari rumah Tante Tania, Pah,” jawab Aluna gugup, berusaha tersenyum.
“Ray, Om udah bilang, jangan terlalu dekat. Kalian masih kelas dua SMA,” ucap Romi keras.
“Iya, Om. Maaf,” ucap Ray menunduk.
Mobil lain berhenti di depan rumah. Axel keluar, wajahnya serius.
“Ada apa ini?” tanyanya dingin.
Romi menatap Axel sekilas, lalu berkata, “Ini lagi negur Aluna. Pulangnya malam, chat nggak dibalas.”
“Iya, Al. Papa chat nggak dibalas,” ucap Axel menatap putrinya.
“Tadi ngobrol sama mama aku lama banget,” sahut Ray cepat, mencoba menolong.
“Oh, Tania,” gumam Axel.
Romi mendekat pada Ray, lalu berbisik dengan nada penuh tekanan, “Jangan diulang lagi, ya.”
“I-iya, Om. Maaf,” bisik Ray cepat.
Ray pun pamit dan meninggalkan rumah itu.
“Kenapa pulang malam?” tanya Romi tegas setelah Ray pergi.
“Tadi di sekolah, Baskara cium Al. Ray marah, terus hajar dia sampai tangannya luka. Al obatin. Terus ada Tante Tania, kita ngobrol lama sambil makan,” ucap Aluna pelan, menunduk.
“Apa?? Siapa Baskara?” Romi membelalak, marah.
“Dia anaknya Reno. Dan lo tau, Mi,” sela Axel emosi, “dia anaknya Laura!”
“Apa?!” Romi kaget setengah mati. “Si Reno biang segala masalah, dan sekarang anak sama istrinya ada di lingkungan kita?” teriaknya penuh amarah.
“Gue juga bingung, Mi,” ucap Axel, nada suaranya tegang.
“Kita harus ke sekolah! Anak gue udah dilecehkan! Gak bisa didiemin!” bentak Romi.
“Lo aja yang ke sekolah besok. Gue ada rapat penting,” ujar Axel tegas.
“Oke.” Romi mengangguk, ia menghela nafasnya.
“Mari masuk,” ajak Axel sambil merangkul bahu Aluna.
“Papa, aku masuk dulu ya,” ucap Aluna pada Romi.
“Iya, sayang,” jawab Romi lembut sebelum pulang.
Sesampainya di dalam rumah, Laura sudah menunggu di ruang tamu.
“Eh, sudah pada pulang?” ucapnya dengan senyum tipis.
“Iya,” jawab Axel dingin.
Aluna menatapnya tajam. “Tante, tolong kasih tau anak Tante jangan kurang ajar!”
Loh, kenapa? Apa yang Baskara lakukan?” tanya Laura, kaget.
“Dia tadi kasar banget sama aku! Dia dorong aku… terus nyium aku di toilet!” seru Aluna dengan mata berkaca-kaca.
Laura menutup mulutnya. “Ya Tuhan... maafkan Baskara...”
Axel yang sedari tadi menahan diri akhirnya meledak.
“Nggak bisa gitu! Dia udah kurang ajar sama Aluna! Lain kali siapa tau lebih parah! Anak kamu tuh nggak diajarin sopan santun apa?” bentak Axel.
Laura berusaha tenang. “Maaf, Mas. Aku didik Baskara dengan baik. Aku nggak tahu dia bisa begitu.”
Axel mendengus kasar. “Emang nurun dari bapaknya. Kurang ajar.”
Laura menatapnya heran. “Apa? Kamu kenal Reno, Mas?”
Axel menatap tajam. “Iya. Dia orang yang udah hancurin keluargaku dulu. Dia yang bikin hidup Kayla hancur—sehancur-hancurnya!”
Laura terkejut. “Apa… bagaimana bisa?”
Axel berdiri, napasnya memburu, emosi menguasai dirinya.
“Papa, duduk dulu ya. Jangan emosi. Minum dulu, Pa,” ucap Aluna lembut, menyerahkan segelas air.
Axel perlahan duduk, mencoba menenangkan diri.
Sementara itu, Laura keluar ke taman. Dengan tangan gemetar, ia menelpon Baskara.
“Halo, Bu,” sapa Baskara di ujung sana.
“Kamu apa-apaan, Baskara?! Apa yang kamu lakukan sama Aluna?!” bentak Laura.
“Itu... itu, aku...” Baskara terbata-bata.
“Kamu minta maaf sama Aluna besok! Titik!” tegas Laura.
“Tapi Bu—”
Telepon langsung ditutup.
Baskara memukul meja keras. “Sialan! Dia ngadu!”
Ia menghela napas berat. “Siap-siap, Baskara... besok lo habis.”
Bersambung...
tapi aku suka ama anaknya🤣