Satu malam naas mengubah hidup Kinara Zhao Ying, dokter muda sekaligus pewaris keluarga taipan Hongkong. Rahasia kehamilan memaksanya meninggalkan Jakarta dan membesarkan anaknya seorang diri.
Enam tahun kemudian, takdir mempertemukannya kembali dengan Arvino Prasetya, CEO muda terkaya yang ternyata adalah pria dari malam itu. Rahasia lama terkuak, cinta diuji, dan pengkhianatan sahabat mengancam segalanya.
Akankah, Arvino mengetahui jika Kinara adalah wanita yang dia cari selama ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Ingin mengakhiri kebohongan itu.
Sore menjelang malam. Langit Jakarta tampak kelabu. Hujan tipis mulai turun ketika mobil hitam Arvino melaju cepat menuju salah satu restoran di pusat kota, tempat ia berjanji akan makan malam dengan Savira.
Savira duduk anggun di meja VIP yang sudah dipesan sebelumnya. Gaun merah darahnya kontras dengan warna bibirnya yang tegas, senyum manis terpampang ketika Arvino datang.
“Vino, kamu terlambat,” ujarnya lembut sambil berdiri.
“Maaf, ada urusan yang harus aku bereskan segera,” balas Arvino datar, tanpa ekspresi.
Savira duduk kembali, mencoba mencairkan suasana.
“Aku pesan wine favorit kamu, dan...”
“Tidak usah basa-basi,” potong Arvino pelan tetapi terdengar tegas. Nada suaranya membuat Savira membeku sesaat. Arvino jarang berbicara setegang itu padanya.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” lanjut Arvino.
Savira berdehem, mencoba tersenyum. “Tentu, apa pun.”
Arvino menatapnya tajam, pandangan yang membuat siapa pun bisa merasa telanjang di hadapannya.
“Enam tahun lalu … malam itu di hotel. Kau pernah bilang kalau wanita yang bersamaku malam itu adalah kau, bukan?”
Savira terdiam, jantungnya berdetak cepat.
“I-iyalah, Vino. Kamu lupa?” jawabnya tergagap.
“Benarkah?” tanya Arvino pelan, tapi nadanya menusuk. “Kau yakin itu kau? Karena aku mulai meragukannya sekarang.”
Savira memalingkan wajah, pura-pura meneguk wine di depannya. “Kenapa kamu tanya lagi soal itu?”
“Karena aku ingin tahu kebenarannya.” Jawab Arvino tanpa berpaling sedikit pun dari menatap wajah Savira penuh kebohongan itu.
Dia mencondongkan tubuhnya sedikit, menatap dalam-dalam.
“Kau tidak harus berbohong, Savira. Kalau memang bukan kau, katakan saja.”
Savira menarik napas panjang, menahan panik di dadanya. Ia tahu kebohongan itu tidak akan bertahan lama. Tapi jika ia mengaku sekarang, semua yang ia perjuangkan selama ini akan hancur, terutama statusnya sebagai tunangan Arvino Prasetya.
“Vino … aku tidak tahu kenapa kamu tiba-tiba membahas hal ini, tapi aku mencintaimu. Itu yang penting, kan?” jawab Savira dengan senyum yang dipaksakan.
Arvino bersandar ke kursi, menatapnya dingin. “Cinta tanpa kejujuran bukan apa-apa, Savira.”
Suasana meja makan berubah sunyi. Hanya suara sendok garpu dari meja lain yang terdengar samar. Savira mulai gelisah, menggenggam ujung gaunnya erat.
Akhirnya Arvino berdiri. “Malam ini selesai sampai di sini, tiba tiba aku merasa lelah,"
“Vino, tunggu...”
“Besok pagi aku ingin kau datang ke rumah. Ada hal penting yang ingin kubicarakan dengan Mama, tentu saja kau juga harus bertemu dengan mama,”
Savira mengangguk cepat, meskipun wajahnya pucat. Arvino berbalik pergi meninggalkannya sendirian di restoran itu. Begitu Arvino benar-benar menghilang dari pandangan, Savira menunduk, wajahnya berubah bengis.
“Kenapa tiba-tiba dia menanyakan hal itu?” desisnya. “Apa Zaki sudah bicara sesuatu? Atau ... Kinara? Pasti perempuan sialan itu yang diam-diam mendekati, Arvino.”
Dia mengepalkan tangannya kuat-kuat, matanya memancarkan kebencian yang semakin pekat.
“Kalau kau pikir bisa merebut segalanya dariku, Kinara … kau salah besar.”
Keesokan paginya.
Pagi itu, suasana rumah keluarga Prasetya begitu hening, namun di balik keheningan itu, ketegangan halus sudah terasa di udara. Savira melangkah dengan penuh percaya diri mengenakan gaun berwarna pastel lembut, penampilannya tampak sempurna, seolah siap menaklukkan hati calon ibu mertuanya. Ia sudah lama menantikan momen ini, momen yang ia pikir akan mengukuhkan posisinya sebagai tunangan Arvino Prasetya.
Begitu pintu ruang tamu terbuka, Savira tersenyum lebar.
“Selamat pagi, Tante Mawar,” ucapnya lembut, menundukkan kepala dengan sopan.
Namun, senyum itu langsung menguap ketika tatapan tajam Mawar menyambutnya dengan dingin, penuh penilaian. Di sampingnya, Arvino hanya berdiri diam, masih menatap ibunya dengan ekspresi campuran antara kebingungan dan kewaspadaan.
“Silakan duduk, Savira,” kata Mawar datar, namun suaranya tidak menyiratkan keramahan sedikit pun. Savira duduk, mencoba menjaga sikap, padahal di dalam dadanya ada sedikit kegelisahan.
Beberapa detik keheningan berlalu sebelum Mawar mulai berbicara.
“Kau datang ke sini untuk apa? Aku tidak pernah berniat untuk mengundangmu,”
Savira tertegun, tidak menyangka sambutan sekeras itu.
“Saya … ingin memperkenalkan diri, Tante. Saya pikir sudah waktunya bagi saya bertemu dengan keluarga Vino secara resmi,” jawabnya, berusaha menenangkan nada suaranya.
Namun Mawar justru tertawa kecil, dingin dan penuh sindiran.
“Keluarga? Kau pikir hubunganmu dengan anakku itu pantas disebut keluarga? Aku tidak pernah setuju Arvino bertunangan denganmu apalagi berniat untuk menikah, tidak akan pernah!”
Savira menatap Arvino, berharap pria itu menengahi dan membelanya. Tapi Arvino tetap diam saja, dia tahu ibunya bukan tipe yang bisa dihentikan saat sedang marah.
Mawar mencondongkan tubuh ke depan. “Kau bukan wanita yang selama ini berdiri tulus di sisi Arvino. Kau hanya memanfaatkan keberuntungan dari orang lain. Semua yang kau miliki ... nama, posisi, dan status ... kau dapatkan dari kebohongan.”
Savira menegakkan punggungnya, berusaha tersenyum meski wajahnya mulai menegang. “Tante, saya rasa Tante salah paham. Saya selalu mencintai Vino dengan tulus...”
“Cukup!” potong Mawar keras, membuat Savira terdiam. “Aku sudah mendengar percakapan Arvino dan Zaki kemarin.”
Kalimat itu membuat tubuh Savira menegang, matanya membulat tak percaya. Dia menoleh ke arah Arvino dengan wajah memucat. “Vino … apa yang ... apa yang Tante maksud?”
Arvino menatapnya tanpa ekspresi. Namun, tatapan itu tak lagi seperti dulu. Tidak ada kasih, tidak ada simpati, dan hanya amarah dan kecewa yang tertahan.
Savira bangkit berdiri dengan langkah gemetar.
“Kau … apa yang kau katakan pada mamamu?”
Mawar justru tersenyum dingin. “Dia tidak perlu memberitahuku apa pun, Savira. Aku hanya butuh mendengar sedikit untuk tahu siapa dirimu sebenarnya. Perempuan yang tega menghancurkan hidup orang lain hanya demi mendapatkan cinta yang bukan miliknya.”
Savira menatap Mawar dengan mata berkaca-kaca, lalu menatap Arvino, suaranya gemetar. “Kau diam saja, Vino? Setelah semua yang kulakukan untukmu? Mama mu menghinaku! Kau bahkan tidak membelaku?”
Namun Arvino tidak menjawab. Dia hanya memejamkan mata, menahan luapan amarah yang hampir pecah. Mawar berdiri, menatap Savira dari atas ke bawah.
“Kau tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami. Aku tidak akan mengizinkan anakku menikah dengan seorang pembohong sepertimu.”
Savira berdiri kaku di ruang tamu megah itu, wajahnya memucat, sementara beberapa pelayan yang lewat saling berbisik pelan di sudut ruangan. Tatapan mereka penuh rasa iba bercampur dengan rasa ingin tahu. Udara di ruangan terasa berat, seperti menekan dadanya. Ia tahu dirinya sedang dipermalukan, dan semua mata kini tertuju padanya, bukan sebagai calon nyonya rumah, tapi sebagai wanita yang dibuang.
Mawar melangkah perlahan mendekat, suaranya tajam dan menusuk.
“Cukup sandiwara ini, Savira. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi di rumah ini.”
Savira menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. “Tante, tolong ... biarkan saya jelaskan. Saya mencintai Vino. Saya memang salah, tapi perasaan saya tulus...” dia melirik pria yang berdiri diam saja di samping ibunya.
"Vin, katakan sesuatu!" teriak Savira lagi, Arvino yang sejak tadi diam akhirnya angkat bicara. Suaranya datar, tapi jelas mengandung luka dan kemarahan.
“Cinta? Kau bicara cinta setelah enam tahun berbohong, Savira?”
Savira terdiam, menatap Arvino dengan mata membesar.
“Aku ... aku hanya takut kehilanganmu, Vino. Aku melakukan semua ini karena aku mencintaimu!”
Namun Arvino hanya menggeleng pelan, rahangnya menegang. “Wanita yang bersamaku enam tahun lalu bukan kau. Kau tahu itu, tapi tetap mengakuinya demi keuntunganmu sendiri. Aku tak bisa terus bersama seseorang yang membangun hubungan di atas kebohongan.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menembus jantung Savira. Ia menatapnya dengan wajah yang hancur, berusaha mendekat, tapi Mawar segera menghalangi langkahnya.
“Cukup! Keluar dari rumah ini sekarang juga!” suara Mawar meninggi, membuat semua pelayan terkejut dan menunduk takut.
“Dan jangan lupa,” lanjutnya dengan nada tajam, “vila yang kau tempati itu masih pemberian anakku. Silakan tinggalkan segera. Mulai hari ini, kau bukan siapa-siapa di keluarga kami.”
Savira mematung, wajahnya merah padam menahan amarah dan rasa malu.
“Tante pikir aku akan diam saja? Kalian semua akan menyesal sudah memperlakukan aku seperti ini!” serunya dengan suara bergetar, tapi tidak satu pun menggubris.
Arvino menatapnya untuk terakhir kali, tatapannya dingin dan hampa. Lalu, tanpa sepatah kata, ia berbalik masuk ke dalam rumah bersama ibunya.
Pintu besar itu tertutup perlahan di depan wajah Savira, meninggalkannya sendirian di halaman rumah yang luas. Angin pagi menerpa rambutnya yang acak-acakan, sementara air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh. Dia menggenggam kuat tasnya, menatap ke arah pintu yang baru saja menutup.
Namun di balik air mata itu, Savira berbisik lirih, penuh dendam.
“Baiklah, kalau ini akhir yang kalian pilih ... maka aku akan pastikan, tak ada satu pun dari kalian yang hidup tenang setelah ini.”
udah salah belaga playing victim lagi
Zaki.... segera urus semua berkas pernikahan Arvino dan Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
dan Arvino harus pantau terus Kinara dan Ethan di manapun mereka berada . karena Savira dan Andrian selalu mengikuti mereka dan mencari celah untuk menghasut Kinara .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
up LG Thor 😍