NovelToon NovelToon
Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Senjakala Di Madangkara Dalam Kisah Mengais Suka Diatas Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Action / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:96
Nilai: 5
Nama Author: Eric Leonadus

Setelah mengusir Arya Widura dari Madangkara, Permadi dan Shakila menjadi orang kepercayaan Prabu Wanapati. Hubungan Dewi Garnis dan Widura pun kandas. Akan tetapi, Widura bersumpah, tidak akan pernah berhenti membongkar kedok Permadi dan Shakila sebagai orang Kuntala. Dewi Garnis dan Raden Bentar berjanji untuk membersihkan nama baik Widura.

Ternyata, bukan hanya Widura saja yang tahu identitas Permadi dan Shakila, ada orang lain lagi, seorang laki-laki misterius yang selalu mengenakan cadar hitam. Lewat si cadar hitam, Bentar dan Garnis mendapatkan kebenaran tentang siapa Permadi dan Shakila itu. Mereka adalah orang-orang licik yang berusaha untuk menggulingkan Kerajaan Madangkara dan mengembalikan kejayaan Kerajaan Kuntala. Menghadapi orang seperti mereka tidak bisa menggunakan kekerasan akan tetapi, harus menggunakan siasat jitu. Berhasilkah Bentar dan Garnis membongkar kedok mereka ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eric Leonadus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Babak Kelima Belas

# 15

Pria itu duduk di sebuah pondok kecil tak jauh dari kotaraja. Ia mengenakan baju biru tua, wajahnya tertutup oleh cadar hitam. Ia berdiri sambil memandangi perbukitan hijau yang terpampang di hadapannya sementara, jari-jemari memutar-mutar sebuah cangkir kristal berwarna hijau. Asap putih tipis mengepul dari mulut cangkir, menebarkan bau harum, berbaur dengan udara sejuk di sekitar tempat itu.

“Hm, kali ini berita apa yang hendak kau jual untukku, Langkor ?” tanya orang itu pada seorang pemuda bertompel sebesar 2 ibu jari orang dewasa pada pipi sebelah kiri yang baru saja masuk dan duduk berlutut di hadapannya.

“Tuan, benar... Dursapati mengkhianati kawannya sendiri, bahkan dia sendiri pergi bersama dengan Mahali ke arah Utara,” kata pemuda yang dipanggil Langkor itu.

“Ke arah mana mereka pergi ?” tanya pemuda bercadar itu.

“Utara, Tuan... “ jawab Langkor.

“Pekerjaanmu bagus sekali, Langkor. Nah, terimalah uang ini sebagai hasil jerih payahmu itu, “ pemuda bercadar itu melemparkan sebuah kantong berisi uang perak ke arah Langkor. Langkor tampak girang sekali menerimanya, “Terima kasih, Tuan... kapanpun Tuan memerlukan hamba, hamba akan selalu siap membantu Anda,” katanya.

“Baik. Untuk sementara, aku akan menangani mereka sendiri, kau kembalilah ke rumah Pamanmu itu. Aku akan menghubungimu lagi jika aku memerlukanmu. Dan, ingatlah... jangan sampai pertemuan kita ini tersebar kemana-mana, atau, nyawamu jadi taruhannya,”

“Baik, Tuan. Hamba mohon diri,” kata Langkor sambil bergegas meninggalkan tempat itu. Sementara, sepasang mata pria bercadar itu menatap tajam ke arahnya tanpa berkedip.

_____

Fajar baru tiba dengan segala keindahannya, kabut tipis masih menyelimuti sebagian dinding – dinding istana kerajaan kecil yang memiliki penduduk cukup padat dan masih merupakan salah satu wilayah dari PAKUAN PAJAJARAN itu mulai ramai dengan aktifitas keseharian para penduduknya. Namun, begitu pintu gerbang istana dibuka perlahan – lahan, para penduduk itu bagai di komando, mereka semua buru – buru duduk berlutut di tepi jalan saat serombongan pasukan prajurit berkuda berjalan beriringan.

Ada lebih kurang 3 rombongan prajurit bersenjata lengkap dan sebuah kereta kencana diapit oleh beberapa orang yang cukup familiar di kalangan penduduk Madangkara.

Barisan pertama dipimpin oleh Panglima Kaupati, terdiri dari 20 orang prajurit bersenjata lengkap bertubuh tegap dan kekar. Barisan kedua, terdiri dari pasukan tombak berjumlah 35 orang, mengiring sebuah kereta kencana yang di dalamnya duduk Sang Prabu Wanapati, Raden Paksi Jaladara dan Dewi Garnis. Barisan kedua ini dipimpin langsung oleh Raden Bentar. Sementara, barisan terakhir adalah terdiri dari 15 orang prajurit, juga bersenjata lengkap dipimpin oleh Panglima Jalateja dan Panglima Jalatuka.

“Hidup Paduka Prabu Wanapati, berumur panjang dan sehat selalu,”

Begitulah yang terdengar di sepanjang jalan. Hampir semua rakyat bersuka cita melihat rombongan kecil itu lewat. Lambaian tangan dari rakyat dibalas dengan senyum ramah penuh kehangatan dari Keluarga kerajaan itu. Yah, Prabu Brama Kumbara, telah mewariskan sesuatu yang paling berharga dan istimewa pada rakyatnya. Dan, sulit sekali dihilangkan untuk beberapa ratus tahun ke depan. Rendah hati, Kearifan, Keadilan, kasih sayang, kepedulian dan berjiwa ksatria. Rakyat belum siap untuk kehilangan sosok Brama Kumbara dan Dewi Mantili Si Pedang Setan. Dua sosok pendekar digdaya pada jamannya, juga sebagai Raja agung.

Rombongan kecil yang membawa Raja Muda Madangkara itu bergerak semakin lama semakin jauh menuju ke arah Barat, meninggalkan kepulan asap berbaur dengan kabut sementara rakyat belum juga berhenti mengelu – elukan Keluarga Kerajaan itu. Hingga rombongan itu berhenti di sebuah bangunan mewah dan bercat putih, menghentikan para prajurit yang berjaga di sekitaran bangunan yang tersusun dari kayu cendana itu. ISTANA WALET PUTIH.

Beberapa saat kemudian Permadi dan Shakila keluar dengan diiringi beberapa pengawal, mereka tampak terkejut melihat kedatangan Sang Prabu Wanapati.

“Daulat, Gusti Prabu Wanapati, hamba Permadi menghaturkan sembah “

“Daulat, Gusti Prabu Wanapati, hamba Shakila menghaturkan sembah “

Prabu Wanapati tersenyum, “Sembah kalian saya terima, bangunlah,”

“Maaf Gusti Prabu, hamba berdua tidak tahu jika Paduka datang berkunjung. Mari, silahkan masuk ke dalam, mohon maaf ... rumah kami kotor dan berantakan belum sempat berbenah,” kata Permadi sambil mengiring Prabu Wanapati dan yang lain melangkah masuk.

Setelah duduk di tempat yang telah disediakan, Prabu Wanapati, menatap Shakila dan Permadi secara bergantian, “Kelihatannya keadaanmu sudah membaik Shakila,” kata Prabu Wanapati.

“Daulat, Gusti Prabu, berkat perawatan para tabib istana, juga penawar racun yang diberikan oleh Tuanku Raden Bentar, keadaan hamba berangsur membaik,” ujar Shakila, “Tanpa mereka, mungkin hamba sudah tewas, hamba Shakila berterima kasih atas perhatian Gusti Prabu, semoga Gusti Prabu selalu diberikan kesehatan dan panjang umur selalu. Hamba tidak tahu bagaimana cara membalas budi dan kebaikan tersebut,” ujar Shakila.

“Sudahlah, Shakila... karena kau tingal di Negeriku, maka, kau kuanggap sebagai Rakyat Madangkara... dan aku wajib melindungi dan menjaga semua rakyatku, apalagi... kau terluka di hadapanku. Tanpa kau, bisa saja aku yang tewas... maka dari itu, jasamu cukup besar dan aku berhutang nyawa kepadamu, Shakila,” jelas Prabu Wanapati.

“Ampun, Gusti Prabu...” ujar Permadi, “Jika Gusti Prabu berkenan, ijinkanlah hamba mencari orang yang telah melukai adik hamba,”

“Saya sudah memberikan tugas tersebut kepada Kakang Mas Raden Bentar dan Kak Garnis untuk mencari pengacau itu. Maka, kau bisa merundingkan hal tersebut pada kedua kakak saya,” kata Prabu Wanapati.

“Ampun, Rayi Prabu .... ijinkan hamba, memberi saran,” kata Raden Bentar.

“Apakah saran Kakang Bentar itu ?”

“Maaf, Rayi Prabu ... hamba akan sangat berterima kasih sekali apabila Saudara Permadi bersedia membantu hamba. Sepengetahuan hamba, Saudara Permadi adalah bekas saudagar muda yang memiliki bisnis besar dan perusahaannya terkenal di seantero Jawa Dwipa. Pastinya, jumlah temannya cukup banyak. Maka dengan adanya Permadi, maka, pekerjaan istana ini akan selesai dalam waktu yang tidak terlalu lama,” jelas Raden Bentar.

“Kalau menurut kakang itu baik dan dirasa perlu, maka, aku akan memberi ijin. Untuk sementara, biarlah Rayi Paksi Jaladara yang membantuku mengurus jalannya roda pemerintahan . Kalian pergilah. Lebih banyak orang yang membantu, maka, urusan ini akan cepat selesai,” tegas Prabu Wanapati.

“Terima kasih atas kebijaksanaan Rayi Prabu,” sahut Raden Bentar. Tanpa sepengetahuan semua orang, Raden Bentar melirik ke arah Dewi Garnis.

Wanita perkasa itu menganggukkan kepala lalu melangkah mendekati Prabu Wanapati, “Ampun Rayi Prabu,” sapa Garnis, “Ijinkan hamba berbicara dengan Nona Shakila,”

“Silahkan, Kak Garnis,”

“Nona Shakila, apakah nona masih menyimpan belati yang melukaimu itu ?”

“Ya, masih tersimpan dengan aman dan rapi ? Itu sebagai kenang – kenangan bahwa belati itu nyaris merenggut nyawaku,” jawab Shakila.

“Bolehkah aku melihatnya ?”

Shakila menganggukkan kepala, setelah mendapat ijin dari Prabu Wanapati, ia melangkah ke dalam kamarnya dan keluar lagi sambil membawa sebuah kotak kayu cendana dan memberikannya kepada Garnis. Garnis membuka penutup kotak tersebut. Di dalam kotak tersebut terdapat sebilah pisau dengan gagang berwarna kuning keemasan dan memiliki panjang lebih kurang sepuluh senti. Sepasang matanya tak berkedip memandangi mata pisau yang pada bagian ujung hingga tengah terdapat bercak – bercak darah merah kehitaman.

“Apakah yang kakak lakukan ?” tanya Shakila.

“Dari belati ini, kita bisa tahu banyak hal,” kata Garnis dan memberikan belati itu pada Shakila. Dengan hati – hati Gadis Hindustan itu menaruhnya ke dalam kotak, “Bentuk belati itu ... gagangnya terbuat dari besi baja berwarna hitam, guratannya pun halus, ada ukiran burung merpati halus sekali, sekilas hanya berupa gagang biasa, akan tetapi, apabila diamati lebih lanjut ukiran itu tampak jelas sekali. Kalau perkiraanku tidak salah, pembuat pisau ini bukan berasal dari Jawa Dwipa, tapi, wilayah Hindustan,” jelas Dewi Garnis.

“Artinya, kita harus ke Hindustan untuk mencari siapa pembuat besi ini ?” tanya Prabu Wanapati.

“Tidak perlu sejauh itu, Rayi Prabu ... di Kadipaten Kapandean, banyak sekali para pendatang dari berbagai negeri. Disanalah para pandai besi biasanya berkumpul, kita bisa mencarinya disana,” ujar Garnis, “Rayi Prabu... kalau boleh hamba menyarankan, sebaiknya kita berbagi tugas. Rayi Bentar dan Permadi, tetap mencari pria bertopeng itu sementara, aku dan Shakila akan mencari informasi tentang siapa saja pemesan dan pembuat belati ini. Dari situlah kita bisa tahu siapa pengacau itu,”

Prabu Wanapati termenung sejenak, lalu memandang wajah Garnis dengan wajah berseri – seri, “Usul Kak Garnis bagus. Dengan demikian urusan ini lebih cepat selesai. Kapan kakak berdua mau berangkat ?”

“Secepatnya, Rayi Prabu,” ujar Bentar dan Garnis bersamaan.

“Baiklah Kakang Mas Bentar dan Kak Garnis... saya harap Kakak berdua berhati – hati dan kembalilah ke Madangkara dengan selamat, tidak kurang suatu apapun,”

“Terima kasih, Rayi Prabu,”

..._____ Bersambung _____...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!