Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#27
Happy Reading...
.
.
.
Naira berdiri di halaman sebuah rumah yang tampak sangat sederhana namun memancarkan ketenangan yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Udara di sekitarnya terasa sejuk, tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Seolah- olah alam sedang mencoba memeluk dirinya dengan lembut. Rumah itu memiliki dinding kayu yang mulai tampak tua, namun warnanya yang kusam justru membuat suasana terasa lebih damai. Di sekitar halaman, terdapat beberapa tanaman liar yang tumbuh tanpa ada yang mengurusnya, namun tetap terlihat rapi.
Naira mengedarkan pandangannya perlahan, mencoba memahami mengapa tempat ini terasa begitu akrab padahal ia yakin tidak pernah menginjakkan kaki di sini sebelumnya. Perasaannya tiba-tiba dipenuhi dengan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan selama beberapa waktu terakhir. Ia menghela napas panjang, mencoba mengatur degup jantungnya yang entah kenapa mulai terasa berbeda. Jantungnya berdegup sangat kencang.
Tidak jauh dari tempat ia berdiri, terlihat sosok seorang perempuan berambut panjang yang duduk di atas sebuah ayunan kayu tua. Ayunan itu bergoyang perlahan seiring hembusan angin yang bertiup lembut. Naira mematung beberapa saat, memperhatikan sosok perempuan itu dari belakang. Rambut panjang yang tergerai, bahu yang kecil namun tampak kokoh serta suasana hangat yang mengelilinginya membuat hati Naira bergetar.
Dengan langkah perlahan dan sangat hati-hati, Naira melangkah mendekati sosok itu. Jarak di antara mereka semakin dekat, namun tiba-tiba langkah Naira terhenti ketika sosok perempuan itu menolehkan kepalanya sedikit. Naira membulatkan kedua matanya, tubuhnya bergerak mundur selangkah karena terkejut.
“Kakak..” ucap Naira lirih, hampir seperti bisikan yang keluar tanpa ia sadari.
Perempuan berambut panjang itu kini menoleh sepenuhnya. Senyum hangat merekah di wajahnya, senyum yang begitu familiar dan begitu dirindukan Naira. Senyum yang dulu selalu menenangkan di dalam setiap ketakutannya.
“Naira..” suara itu lembut, hampir sama persis seperti yang selalu ia dengar dalam bayangannya.
“Kakak.. ” panggil Naira lagi, kali ini suaranya bergetar dan ia melangkah mendekat dengan kedua kaki yang terasa lemas. Setiap langkah yang ia ambil seperti membawa kembali potongan-potongan kenangan yang selama ini berusaha ia lupakan namun terus menghantuinya.
“Kakak..” ucapnya sekali lagi, bahkan kini terdengar hampir seperti rintihan.
Naira akhirnya mendudukkan dirinya tepat di sisi Nayla, kakaknya yang selama ini hanya hidup dalam ingatan dan rasa sakitnya. Tidak menunggu waktu lebih lama, ia langsung memeluk Nayla dengan erat. Pelukan itu begitu hangat, terasa begitu nyata, seolah-olah ia benar-benar dipertemukan kembali dengan seseorang yang selama ini ia rindukan.
“Kakak.. aku merindukanmu.. aku benar-benar merindukanmu..” suara Naira pecah di antara isakannya.
Nayla membalas pelukannya dengan lembut. Tangan Nayla bergerak pelan mengusap punggung Naira, gerakan yang dulu selalu berhasil menenangkan dirinya sejak kecil. “Sudah.. kakak di sini. Kakak selalu ada di dekat kamu.” ucap Nayla pelan. “Kakak selalu di sini.”
Naira semakin menangis, tangis yang tidak ia tahan lagi. Semua rasa sakit, ketakutan, kehilangan dan rasa penyesalan seolah keluar begitu saja. Di pelukan kakaknya, untuk pertama kalinya setelah waktu yang panjang, ia merasa aman.
“Kakak jangan pergi.. Kakak jangan pernah meninggalkanku lagi” Naira berkata dengan suara yang tercekat.
Nayla tersenyum kecil, sebuah senyum yang lembut namun penuh makna. “Tidak, Naira. Kakak tidak pernah meninggalkanmu. Kakak selalu ada di dekat kamu.”
Naira menutup matanya, membenamkan wajahnya di bahu kakaknya, seakan tidak ingin melepaskan lagi. Di tempat yang entah nyata atau tidak ini, untuk pertama kalinya ia merasa pulang. Ia merasa di lindungi.
“Kak.. maafkan aku..” ucap Naira lirih, tetapi kata-katanya kembali pecah di sertai isakan yang tidak bisa ia tahan lagi.. Ia terus mengulangnya, seakan rasa bersalah yang menumpuk di dadanya tidak akan pernah cukup ditebus hanya dengan satu permintaan maaf. “Maafkan aku.. Maaf karena aku tidak tahu kalau kakak waktu itu masih hidup.. maaf karena aku kakak menjadi cacat.. maaf karena kakak harus hidup jauh dari Mama dan Papa.. dan maaf.. karena kakak harus hidup sendirian selama ini..”
Nayla hanya memandang adiknya itu dengan sorot mata yang lembut, sorot mata yang tidak menuntut apa pun. hanya ada kasih sayang. Perlahan, ia mengangkat tangannya dan menghapus air mata yang terus jatuh dari kedua pipi Naira. Sentuhan itu terasa begitu hangat, begitu nyata, hingga membuat Naira kembali terisak.
“Naira.. lihat kakak.” ucap Nayla pelan namun tegas.
Naira mengangkat wajahnya sedikit, meski sulit karena tubuhnya masih bergetar menahan tangis.
“Semua itu bukan kesalahan kamu.” lanjut Nayla. “Tidak ada satu pun yang terjadi karena kamu. Kakak melakukan semua itu atas keinginan kakak sendiri. Kakak memilih untuk pergi membeli es krim. Kakak memilih untuk melindungi kamu. Itu semua bukan kesalahan kamu.”
“Tapi Kak.. kalau aku tidak menangis waktu itu.. kalau aku tidak memaksa Mama.. kakak tidak akan...”
“Tidak..” potong Nayla dengan suara lembut namun penuh ketegasan. “Jangan pernah menyalahkan dirimu. Bahkan jika waktu terulang kembali, kakak akan tetap melakukan hal yang sama. Kakak akan tetap melindungi kamu. Kakak akan tetap memastikan kamu tumbuh dalam kasih sayang dan kebahagiaan. Kamu adalah adik kakak, dan kakak menyayangi kamu. Tidak ada rasa penyesalan sedikitpun.”
Naira menggigit bibirnya, menahan suara tangis yang hampir pecah lagi. Ia menundukkan kepalanya lalu kembali memeluk Nayla erat-erat, seakan takut sosok itu kembali hilang dari hidupnya untuk kedua kalinya.
“Kak.. bolehkah aku ikut dengan kakak?” tanyanya lirih, hampir seperti bisikan takut. “Aku ingin bersama kakak.. aku mohon izinkan aku.”
Nayla tersenyum tipis, namun senyum itu menyimpan kesedihan. Ia menggeleng perlahan. “Belum saatnya, Naira. Kamu masih harus hidup.”
Naira mengangkat wajahnya, bingung dan terkejut. “Untuk apa aku hidup, Kak? Aku lelah.. aku sudah tidak mau…”
“Kamu kuat.” Potong Nayla sambil mengusap rambut Naira. “Kamu jauh lebih kuat dari yang kamu kira.”
Nayla lalu menggenggam kedua tangan adiknya, membuatnya menatap langsung ke arahnya. “Dengarkan kakak. Kamu masih punya seseorang yang harus kamu jaga. Kamu harus menggantikan kakak menjaga Jingga dan menjaga Raka.”
Wajah Naira langsung berubah. Ia menggeleng kuat-kuat. “Tidak.. jangan suruh aku menjaga dia.. kakak tahu apa yang dia lakukan padaku..”
“Naira.. ” Nayla menatapnya penuh keyakinan. “Kamu akan bahagia suatu hari nanti. Kakak bisa melihatnya, bahkan jika kamu tidak bisa merasakannya sekarang." Nayla menjeda ucapannya. "Raka bukan orang jahat. Dia hanya sedang tersesat. Dia berada di jalan yang salah. Tapi hatinya.. hatinya tidak seburuk yang kamu pikirkan.”
Naira menggenggam ujung bajunya, menahan napas yang terasa sesak. “Aku.. aku tidak bisa ..”
“Kamu bisa..” bisik Nayla. “Kamu tidak hidup untuk menanggung luka itu selamanya. Maafkan Raka, Naira... bukan untuk dia, tapi untuk diri kamu sendiri.”
Naira menunduk lagi, tenggelam dalam pertarungan batin yang tidak pernah ia duga akan terjadi kepada dirinya.
Nayla kembali memeluk sang adik. Pelukan Nayla terasa semakin hangat, semakin nyata, seakan memaksa Naira untuk percaya bahwa kebahagiaan masih mungkin ia genggam, meski terasa sangat jauh.
.
.
.
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK...