ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Pukul 11 siang, kota masih ramai dengan suara kendaraan, hiruk-pikuk pejalan kaki, dan aroma makanan dari deretan tenant. Gedung-gedung menjulang memantulkan sinar matahari, membuat trotoar tampak berkilau.
Di antara keramaian itu, aku dan Ari berjalan beriringan. Siang ini terasa… janggal hangat. Setelah semua ancaman dan kekacauan, rasanya aneh bisa berjalan santai seperti ini.
Ari tampak sangat berbeda dari beberapa hari lalu—tidak lagi tegang atau gelisah. Ia berjalan dengan langkah ringan, sesekali mengayun- ayunkan lengan kecilnya seperti anak kecil yang baru keluar dari sekolah.
Meski dia bilang akan melakukan apapun yang kuminta… Untuk sekarang, aku hanya mengajaknya jalan-jalan seperti sebelumnya.
Setelah beberapa menit hening, aku melirik ke arah seragamnya dan akhirnya bertanya,
“Eh, Ari…” panggilku pelan.
Ari menoleh cepat, matanya berbinar seperti anak kucing yang dipanggil pemiliknya.
“Ya? Ada apa, Arya?”
“Kenapa kau… selalu pakai seragam sekolah?” tanyaku sambil menggaruk pipi yang tidak gatal.
Ari melihat ke arah roknya, lalu tersenyum—senyum tipis, lembut, dan jujur yang jarang kulihat.
“Hm? Ah… aku suka saja,” jawabnya ringan. “Seragam ini nyaman. Dan… entah kenapa, aku merasa seperti ‘diriku’ saat memakainya.”
Dia menambahkan dengan sedikit malu,
“Lagipula… kau bilang aku lucu pakai ini.”
Aku hampir tersedak udara.
“K-kapan aku bilang begitu?!”
Ari tertawa kecil sambil menutup mulutnya.
“Aku ingat kok~.”
Aku mendengus, tapi tidak membalas.
Meski terlihat aneh bagi orang lain, setiap orang punya selera. Dan selama itu membuatnya senang, aku tak terlalu mempermasalahkan.
Waktu yang Aneh… Tapi Menenangkan
Sepanjang hari itu, kami benar-benar larut dalam rutinitas yang tampak biasa—seperti dua remaja yang tak memiliki beban dunia.
Kami makan siang di sebuah kedai ramen kecil. Ari memesan semangkuk ramen pedas, dan setiap suapan membuat matanya berair. Tapi dia tetap tersenyum, matanya bersinar ceria. Kadang dia menyeka air matanya sambil tertawa pelan, dan aku tak bisa menahan senyum sendiri melihatnya. Suasana hangat, jauh dari bayangan pembunuh yang kutahu sebelumnya.
Lalu kami bermain bowling. Ari memilih bola yang terlalu berat untuknya. Saat ia mencoba melempar, tubuhnya hampir terjatuh, dan aku spontan menangkapnya. Ia tersenyum canggung, pipinya memerah, lalu tertawa kecil, malu-malu. Aku hanya bisa tertawa sambil menyuruhnya hati-hati, tapi rasanya menyenangkan melihat sisi lugu itu dari dirinya.
Selanjutnya, kami ke Timezone. Ari dengan cepat menguasai game rhythm, jari-jarinya menari di layar sentuh. Suara tawa lepasnya terdengar, penuh kegembiraan yang tulus—jarang kudengar selain saat ia merasa benar-benar bebas. Aku kalah dalam beberapa ronde, tapi tidak marah sama sekali. Malahan, aku ikut tertawa melihat ekspresinya saat melakukan gerakan berlebihan demi memenangkan permainan.
Saat berjalan di trotoar kota, Ari sering melirikku diam-diam. Matanya mengikuti langkahku, lalu ia cepat-cepat memalingkan wajah, seolah ketahuan mencuri sesuatu yang manis. Cara matanya berbinar itu, caranya tersenyum malu, membuatnya terlihat sangat manusiawi—bukan pembunuh, bukan makhluk menakutkan yang selama ini kuduga.
Entah sejak kapan, rasa waspada yang selalu kurasakan padanya perlahan memudar. Di tengah kota yang ramai, dengan lampu jalan yang hangat dan suara kendaraan, aku merasa… aman. Sesuatu yang tak pernah kurasakan saat bersamanya sebelumnya. Hari itu terasa anehnya damai, meski aku tahu, dibalik semua itu, ada sesuatu yang jauh lebih besar menunggu kami.
Pukul sembilan Malam. Angin malam terasa dingin ketika kami berjalan menuju tempat berikutnya. Lampu toko mulai menyala, menciptakan nuansa hangat di sepanjang jalan.
Namun tiba-tiba—
Aku melihat Kelvin Prawiratama dan Aluna Sena berdiri kaku di trotoar depan toko minuman. Wajah mereka pucat seperti baru melihat hantu.
“A-Arya…” suara Kelvin bergetar.
“S-siapa orang di sampingmu itu…?”
Aku menatap Ari.
Dia menatap balik Kelvin dan Luna dengan tatapan tajam—terlalu tajam. Suasana berubah dingin.
“Dia temanku,” jawabku cepat. Meski… aku tak sepenuhnya yakin hubungan kami apa.
Kelvin menelan ludah.
“Be-begitu, ya…”
“Kenapa kalian sepucat itu?” tanyaku.
Namun sebelum mereka sempat menjawab—
DUUUP—!
Udara terbelah.
Cahaya di sekitar kami meredup.
Deru dunia menghilang.
Sebuah pemisah ruang terbentuk dengan cepat dan menelan semua orang di jalan. Seketika, keramaian kota menghilang—yang tersisa hanya kami berempat.
“Arya!”
Sebuah suara lantang dari belakang membuatku refleks menoleh.
Adelia.
Ia melompat turun dari punggung Sky. Burung raksasa itu mengepakkan sayap keperakannya di udara, meniupkan angin kuat yang membuat rumput di sekitar bergoyang. Begitu kakinya menyentuh aspal, ia langsung berdiri di belakang Adelia.
Adelia berjalan cepat ke arah kami, langkahnya terburu-buru, wajahnya menegang seolah baru saja melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.
“Adelia?” seru Kelvin kaget.
Aku menatap Kelvin dan Luna.
Jika mereka bisa masuk ke pemisah ruang… Itu berarti mereka sama denganku. Atau… seorang penyihir.
Adelia berhenti beberapa langkah dari kami, matanya langsung tertuju pada Ari.
“Kenapa kau pasang pemisah ruang, Adelia?” tanyaku.
Dia tidak menjawab pertanyaanku.
Sebaliknya, dia bertanya balik—nada suaranya dingin.
“Itu Ari yang kau ceritakan?”
“Ya.”
Ari tetap diam. Senyumnya hilang, matanya berubah datar tanpa emosi.
Kelvin dan Luna saling pandang—bingung, shock, dan takut karena melihat aku dan Adelia tampak… dekat.
Adelia menarik napas dalam-dalam, menatapku serius.
“Dengar, Arya… wanita di sampingmu itu bukan penyihir.”
Aku menatapnya, terhenti sejenak.
“Apa… maksudmu?”
“T-tunggu… Adelia, kenapa kau membicarakan ini padanya?” tanya Luna panik.
“Tidak apa,” jawab Adelia. “Arya sudah terlalu dalam terlibat. Dia sudah tahu soal penyihir dan kutukan.”
Luna terdiam. Kelvin tampak sulit mempercayai.
Aku menelan ludah.
“Adelia. Jelaskan. Apa maksudmu Ari bukan penyihir?”
Adelia menatapku dengan mata gelisah.
“Wanita itu… bukanlah penyihir atau bahkan manusia.”
Suara Adelia bergetar halus.
“Dia adalah… kutukan.”
Dunia seperti berhenti berputar.
“A-apa…?”
Aku menoleh pada Ari—yang berdiri tanpa perubahan ekspresi.
“D-dilihat dari manapun, dia manusia,” protesku.
“Tidak semua kutukan wujudnya mengerikan,” jelas Adelia dengan suara datar namun tegang. “Ada kutukan yang bisa berubah menjadi manusia… bahkan ada juga yang terlahir dengan bentuk manusia sejak awal.”
Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering saat akhirnya aku berani membuka mulut. “Lalu… kenapa kalian terlihat begitu takut?” tanyaku, suaraku nyaris lebih kecil dari bisikan.
Hening panjang.
Kelvin menatap jalan tanpa berani mengangkat wajah.
Luna menutup mulutnya dengan tangan, bahunya bergetar halus.
Dan Adelia… bahkan dia butuh waktu sebelum akhirnya bicara.
“Itu karena…”
Ia menarik nafas pendek.
“…kutukan yang berdiri di sampingmu itu adalah…”
Diam lagi.
Jantungku berdetak di telinga.
“…kutukan tingkat 4.”
Darahku seperti berhenti mengalir.
Kutukan tingkat 4… yang bisa menghapus kota dari peta hanya dengan satu kesalahan?
Aku bahkan tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
Adelia melanjutkan,
“Awalnya, saat kau bilang teknik pesonanya tidak mempan padamu, aku pikir dia tingkat 10. Tapi… ternyata aku meremehkannya. Tingkat 4, Arya. Monster kelas bencana.”
Aku ingin bicara—tapi suara itu tidak keluar.
Lalu—
Huuuuuhhh…
Sebuah napas panjang terdengar.
Ari—yang sejak tadi diam—tersenyum samar.
“…Apa kalian sudah selesai bicaranya?” katanya pelan.
Suasana langsung retak.
Ari mengeluarkan aura—bukan aura biasa, tapi tekanan yang terasa seperti ratusan tangan mencengkeram dadaku. Udara bergetar, lampu-lampu di pemisah ruang meredup.
Sky menjerit, merasakan ancaman.
Adelia refleks mundur setapak dan mengangkat kedua tangannya.
Kelvin dan Luna langsung membentuk posisi bertarung, wajah mereka memucat.
Keringat dingin menetes dari pelipis mereka bertiga.
Di tengah semua itu, Ari berdiri dengan senyum lembut… yang terasa lebih menakutkan daripada monster mana pun.