NovelToon NovelToon
Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Kisah Nyata - Harga Sebuah Kesetiaan

Status: sedang berlangsung
Genre:Menikah Karena Anak / Beda Usia / Kontras Takdir / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Sad ending / Janda
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

HARGA SEBUAH KESETIAAN
100% diambil dari kisah nyata
Dewanga hanya ingin diterima. Setelah ditolak berkali-kali karena miskin, ia menikahi Tini—janda delapan tahun lebih tua—dengan harapan menemukan pelabuhan. Yang ia dapat adalah badai tanpa henti. Enam tahun pernikahan menjadi neraka: bentakan setiap hari, hinaan di meja makan, ancaman diusir dari rumah yang bukan miliknya.
Ia terperangkap. Ingin pergi, tapi Aini—putri kecilnya—adalah satu-satunya cahaya dalam kegelapan. Ketika cinta berubah menjadi penjara, dan kesetiaan menjadi racun, Dewanga harus memilih: bertahan hingga hancur, atau berani menyelamatkan dirinya dan anaknya.
Sebuah kisah yang memilukan tentang cinta yang salah, kesetiaan yang keliru, dan keberanian untuk memilih hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15: Rasa Kasihan yang Tumbuh

Seminggu setelah percakapan malam itu, Dewanga tidak bisa berhenti memikirkan cerita Tini.

Setiap kali ia menggoreng tempe atau membungkus pisang cokelat, wajah Tini yang penuh beban muncul di pikirannya. Bagaimana wanita itu berjuang sendirian. Bagaimana ia harus menanggung malu ditinggal suami yang selingkuh. Bagaimana ia tetap tersenyum di depan Eka meski hatinya hancur.

"Berat banget hidupnya," bisik Dewanga sambil membalik tahu di wajan panas.

Ia teringat ibunya—Rini—yang juga berjuang sendirian setelah ayahnya meninggal. Perjuangan seorang perempuan yang ditinggalkan, yang harus kuat demi anak-anaknya.

Dan entah kenapa, Dewanga merasa... ia harus membantu.

***

Sabtu malam itu, Tini dan Eka datang lagi ke pasar malam.

Eka berlari kecil menghampiri gerobak Dewanga, wajahnya ceria seperti biasa. "Om Dewa! Eka datang lagi!"

Dewanga tersenyum lebar. "Wah, Eka udah sembuh dari demamnya?"

"Udah, Om! Sekarang Eka sehat lagi!" Gadis kecil itu tertawa riang.

Tini berjalan di belakang anaknya, tersenyum malu-malu. "Maaf ya, Mas. Eka emang suka banget sama gorengan Mas."

"Gak papa, Bu. Saya seneng kok ada yang suka." Dewanga jongkok, sejajar dengan Eka. "Eka mau pisang cokelat lagi?"

Eka mengangguk semangat. "Mau, Om!"

"Oke. Tapi sekarang Om kasih dua ya. Satu buat Eka, satu buat Mama."

"Benaran, Om?!" Mata Eka berbinar.

"Benaran. Gratis. Gak usah bayar."

Tini langsung menggeleng cepat. "Mas, gak usah... saya bisa bayar kok..."

"Gak papa, Bu. Anggep aja... temen." Dewanga tersenyum tulus sambil menyerahkan dua bungkus pisang cokelat hangat.

Eka langsung memeluk bungkusan itu erat-erat. "Terima kasih, Om Dewa! Om baik banget!"

Dewanga mengacak rambut Eka pelan. "Sama-sama, Dek."

Tini menatap Dewanga dengan mata berkaca-kaca. "Mas... terima kasih. Mas gak tau betapa berartinya ini buat Eka. Dia jarang jajan. Saya... saya gak sering bisa beliin."

"Saya ngerti, Bu." Dewanga berdiri. "Makanya, setiap kali Ibu datang, Eka boleh ambil satu gratis. Biar dia seneng."

"Mas..." Tini tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Ia hanya mengangguk pelan, suaranya serak. "Terima kasih..."

***

Sejak hari itu, Dewanga mulai rutin memberi gorengan gratis untuk Eka.

Tidak hanya itu. Kadang ia juga menyelipkan uang lima puluh ribu di dalam bungkusan—dengan alasan "kembalian lebih" meski Tini tidak pernah membayar lebih.

Tini selalu menolak. "Mas, ini terlalu banyak. Saya gak bisa nerima..."

"Bu, anggep aja buat jajan Eka. Anak kecil butuh nutrisi. Biar dia sehat."

Tini terdiam. Lalu ia memeluk bungkusan itu erat, menunduk dalam-dalam. "Mas Dewa... kenapa Mas sebaik ini sama kami?"

Dewanga tersenyum pahit. "Karena saya tau rasanya susah, Bu. Saya juga pernah jadi anak yang gak bisa jajan. Jadi... kalau saya bisa bantu, saya mau bantu."

Tini menatapnya lama. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang lebih dari sekadar terima kasih.

"Mas... orang baik kayak Mas... pasti dibalas kebaikan sama Allah."

"Amin." Dewanga mengangguk pelan.

***

Suatu sore, di luar hari biasa, Dewanga sedang belanja bahan baku di pasar tradisional.

Ia baru saja membayar tepung terigu ketika mendengar suara kecil yang familiar.

"Om Dewa!"

Dewanga menoleh. Eka berlari kecil menghampirinya, diikuti Tini yang berjalan terburu-buru di belakang.

"Eka! Jangan lari-lari!" Tini berteriak khawatir.

Eka sampai di depan Dewanga, napasnya terengah-engah tapi senyumnya lebar. "Om! Eka ketemu Om di sini!"

Dewanga tertawa. "Iya. Om lagi belanja. Eka sama Mama juga belanja?"

"Iya, Om! Mama beliin Eka sayur buat makan malem!"

Tini sampai, wajahnya sedikit malu. "Maaf ya, Mas. Eka kaget liat Mas, langsung lari."

"Gak papa, Bu. Saya juga seneng ketemu Eka." Dewanga mengeluarkan permen dari sakunya—sisa beli kemarin untuk pelanggan anak-anak. "Nih, Eka. Buat kamu."

Eka langsung mengambil permen itu dengan mata berbinar. "Waaah! Terima kasih, Om!"

"Mas, gak usah sering-sering kasih Eka barang. Nanti dia manja..." Tini terlihat tidak enak hati.

"Gak papa, Bu. Anak kecil emang harus dimanjain dikit. Biar dia bahagia."

Tini tersenyum—senyum yang kali ini lebih hangat, lebih lama.

"Mas Dewa... Mas emang beda ya. Gak kayak cowok lain yang saya kenal."

Dewanga hanya tersenyum kecil, tidak menjawab.

Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang mulai bergetar.

***

Malam itu, setelah selesai berjualan, Dewanga duduk di pinggir gerobaknya yang sudah ditutup.

Ia menatap langit malam. Bintang-bintang bersinar samar di balik polusi kota.

"Eka anak yang baik," bisiknya pelan. "Polos. Ceria. Padahal hidupnya susah."

Ia teringat wajah Tini yang penuh lelah tapi tetap tersenyum demi anaknya.

"Bu Tini juga... kuat. Walaupun ditinggal suami yang brengsek, dia tetep berjuang."

Dewanga menarik napas panjang.

"Kalau aku bisa bantu mereka... setidaknya sedikit... itu udah cukup."

Ia tidak tahu.

Bahwa rasa kasihan ini perlahan berubah menjadi sesuatu yang lain.

Sesuatu yang kelak akan menjebaknya dalam keputusan terbesar—dan terkeliru—dalam hidupnya.

1
Chanikya Fathima Endrajat
umur adeknya 20, dewa 22, telah bekerja 5 th sejak umur 17. wkt dewa kls 9, adiknya msh SD. setidaknya selisih umur mereka 3 th.
Seroja_layu
Astagfirullah nyebut Bu Nyebut
Dri Andri: nyata nya gitu kak
total 1 replies
Chanikya Fathima Endrajat
umur dewangga membingungkan, ketika ingin melamar anis umurnya br 19th, ketika falshback 10th yll, dewa sdh kls 9 (SMP) tdk mungkin umurnya wkt itu 9th kan thor
Dri Andri: ya saya salah maaf yaa...
karena kisah nya kisah nyata jadi saking takut salah pada alur intinya
alur di minta sama
peran, tempat di minta di random
maaf ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!