Takdir kejam menuntutnya menjadi pengantin pengganti demi menebus sebuah kesalahan keluarga. Dan yang lebih menyakitkan, ia harus menikah dengan musuh bebuyutannya sendiri: Rendra Adiatmaharaja, pengacara ambisius yang berkali-kali menjadi lawannya di meja hijau. Terjebak dalam pernikahan yang tak pernah ia inginkan, Vanya dipaksa menyerahkan kebebasan yang selama ini ia perjuangkan. Bisakah ia menemukan jalan keluar dari sangkar emas Rendra? Ataukah kebencian yang tumbuh di antara mereka perlahan berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elin Rhenore, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Chaotic Kiss
Seperti hari biasanya, sebelum ia menikah, Rendra memasuki rumahnya pada dini hari. Pria itu gila kerja, ia tidak akan pulang sebelum menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Bahkan kebiasaannya ini pernah membuatnya harus dipanggil oleh Komite Tenaga Kerja, karena ia sering kali membuat timnya bekerja lembur di atas jam rata-rata.
Kali ini ada yang sedikit berbeda, sebelumnya jika ia pulang maka langkahnya akan langsung memasuki bar pribadinya, mencari koleksi wine yang ingin ia sesap sebelum pergi tidur. Namun, malam ini berbeda. Dia langsung menaiki tangga ke lantai dua, langkahnya seperti orang yang buru-buru.
Entah kenapa ada keinginan besar di dalam hatinya untuk pergi ke kamar tempat dimana Vanya berada. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hati Rendra, setelah semalaman ia duduk di seberang ruangan dengan mata yang terus menatap ke arah ranjang di mana perempuan itu terlelap, ia ingin melakukannya lagi—memperhatikannya menjelajah mimpi.
Tapi apa ini, mengapa kamar ini terasa dingin? Rendra melihat ranjang kamar itu kosong, orang yang seharusnya tidur nyaman di sana tak ada. Rendra melangkah lebih dekat untuk memastikan bahwa pandangan matanya tak salah. Setelah tubuhnya sudah berdiri hanya sejengkal lebih jauh dari ranjang ia masih tak melihat perempuan itu di sana.
"Dimana dia," gumamnya sembari mengangkat tangan kirinya, melihat waktu di jam yang dia kenakan. Jarum jamnya menunjukkan pukul dua lebih lima belas menit. Seharusnya perempuan itu ada di sini.
Gemuruh mulai merayap ke dalam dadanya, Rendra lantas melangkah lagi membuka setiap pintu yang menghubungkan ke wardrobe dan ke kamar mandi. Tapi sosok yang ia tak ada di salah satu tempat itu. Panik menjalar melalui pembuluh nadinya, lantas ia segera pergi dari kamar itu dan menggeledah ke seluruh pelosok rumahnya yang sangat besar dan memiliki banyak sekali kamar.
"Sialan," umpatnya lirih.
"Tuan ...." Sebuah suara memanggil Rendra, ia berbalik dan mendapati seorang wanita paruh baya bertubuh agak sedikit tambun, itu berdiri agak jauh darinya. Menatap Rendra penuh tanda tanya. "Apa Tuan butuh sesuatu, saya dengar sepertinya Tuan mencari sesuatu."
"Dimana perempuan itu?" Rendra enggan basa-basi. Murti yang agaknya terkejut sebentar, lalu ia tahu apa maksud dari majikannya.
"Nyonya pergi sejak tadi jam delapan, Tuan. Apakah Nyonya tidak memberitahu?" tanya Murti.
"Ah, astaga saya lupa." Rendra berpura-pura telah melupakan sesuatu, padahal ia sama sekali tak menerima kabar apapun dari perempuan yang saat ini membuatnya kelimpungan mencari ke setiap sudut rumah ini. "Sepertinya saya terlalu lelah, terima kasih."
Rendra pun langsung beranjak pergi, setelah merasa bahwa dirinya sendiri dan tak ada yang mengawasinya. Rendra pun segera membuka ponselnya dan mencari kontak seseorang, setelah menemukannya ia pun langsung memencet tombol panggil.
Lama tak ada jawaban, tapi setelah deringan keenam, panggilan itu akhirnya diangkat juga oleh pemiliknya.
"Hallo, Saga. Ini Gue."
"Gue tahu ini lo, tapi ini tengah malam, Ren. Ada apa?" Itu adalah sahabatnya, sekaligus kakak iparnya, Saga.
"Sorry gue ganggu malem-malem gini. Gue mau tanya, Vanya ke rumah lo, nggak?"
"Vanya? Eh tunggu, gue dikasih tahu Miray ... lo nikahin Vanya? Nikah siri lagi!"
Rendra menarik nafasnya dalam-dalam, dia tahu sahabatnya ini juga cukup protektif pada adik iparnya. Bahkan Rendra masih ingat betul saat Saga khawatir jika Vanya nantinya bertemu dengan pria yang brengsek. Tapi siapa sangka jika perempuan itu malah jadi nyonya rumah di rumahnya.
"Gue akan jelasin nanti—"
"Sialan, kenapa lo sampe nggak tahu dimana dia? lo apain adik gue? Kalo Miray sampai tahu, habis hidup lo, man."
Rendra bisa membayangkan amarah Miray nanti, tapi yang terpenting sekarang bukan itu. Dia harus tahu dimana Vanya, bagaimana keadaannya, karena dia bertanggung jawab atas diri Vanya saat ini.
"Bisa nggak lo dengerin gue dulu."
"Oke-oke, Vanya nggak ada di rumah. Lo nggak coba telfon dia?"
Telfon. Seandainya saja dia tahu nomor whatsapp perempuan itu, sudah sejak tadi ia meneleponnya, tidak perlu diingatkan oleh Saga. Dia tidak mungkin memberitahu Saga kalau dirinya tidak tahu nomor ponsel istrinya. Konyol sekali seorang suami tidak mengetahui nomor istrinya sendiri.
"Nggak diangkat, terima kasih, gue mau coba telfon dia lagi deh."
"Gue akan coba hubungi dia juga,"
Dan panggilan itu pun terputus.
Rendra menghela nafas berat, ia mencoba untuk berpikir dengan tenang, memikirkan segala kemungkinan yang ada. Jika tidak ada di rumah kakaknya, mungkin saja Vanya pergi ke rumah orang tua angkatnya.
Tidak.
Itu tidak mungkin. Meski tidak menunjukkannya, Rendra tahu betul perasaan Vanya. Tiba-tiba saja harus menjadi tameng bagi Harun Murya dengan menikah dengannya tidak akan membuat Vanya lantas sukarela untuk pergi ke rumah orang tua angkatnya itu.
"Mungkinkah dia kembali ke Nusantara?" tanyanya dengan bergumam. Itu adalah pilihan yang masuk akal.
Perempuan keras kepala itu hendak melawan keputusannya untuk memindahkannya ke Jakarta. Jelas, Nusantara adalah tujuannya, pergi sejauh mungkin darinya adalah pilihan bagi Vanya.
Rendra lantas kembali melihat ponselnya, kali ini dia memanggil asisten pribadinya. Tak butuh waktu lama bagi Shouta untuk menjawab panggilannya itu. Seolah tahu kebiasaan Rendra yang selalu bekerja sampai dini hari.
"Hallo, bang. Ada yang bisa dibantu?"
"Besok kamu wakili saya ke rumah Widjaya. Saya ada urusan."
"Urusan apa, bang?"
"Kamu tidak perlu tahu. Yang jelas saat ini urusan itu lebih penting daripada Widjaya."
*
Senang sekali rasanya bisa kembali ke tempat ini, ternyata secinta itu Vanya dengan kantornya. Meski hanya meninggalkannya untuk beberapa hari ia sudah sangat rindu dengan suasana kantor dan pekerjaan yang menumpuk. Rupanya dia juga merindukan suara nyaring Julia. Pagi ini dia sudah mendapatkan kultum dari seniornya itu karena pergi secara tiba-tiba dan hanya pamit ke atasannya melalui pesan whatsapp.
"Pria itu mengajukan banding, dia memang sudah gila." Julia menggelengkan kepala prihatin sembari menyesap jus buahnya. Mereka sedang makan siang di tempat makan seberang kantor.
"Hukuman itu sudah termasuk ringan, apa dia tidak sadar sudah menghilangkan nyawa ibunya sendiri? Dua puluh tahun itu sangat ringan!" Julia masih tidak terima karena terdakwa kasus yang ia tangani meminta banding.
"Tenang saja, banding itu belum tentu diterima." Vanya menyahut, ia baru saja menghambiskan makanan favoritnya, soto banjar.
"Vanya benar, kita berharap saja hakimnya tidak menyetujui banding itu." Hangger ikut menimbrung.
"Aku sudah tahu, Si Guntur itu tidak akan menyerah begitu saja. Dia tidak terima kalah telak dariku." Julia mengoceh kembali.
"Bukannya Pak Guntur dekat sama kamu?"
"Itu cerita lama ... dan ah sudahlah ...."
Julia terus saja mengoceh sampai mereka berjalan menuju kantor pun tetap saja bercerita. Perempuan itu memiliki energi yang sangat besar hanya untuk bercerita. Sementara Vanya dan Henggar memang tak bisa lelah untuk mendengarnya.
"Eh, siapa itu ... ganteng banget." Julia berdecak kagum saat mereka melihat sosok pria berpakaian kemeja bervest rapi sedang bersandar di pilar yang menyangga kantor mereka.
"Sepertinya tidak asing." Henggar pun menyetujui.
"Apa kita punya klien yang tampangnya seganteng itu?" tanya Julia lagi. Dia tampak bersemangat untuk segera menemui siapapun itu.
Di sisi lainnya, Vanya bisa mengetahui siapa sosok itu hanya melihat dari bayangannya saja. Pria bertubuh tinggi, dengan kemeja yang selalu rapi dan melekat pas di tubuhnya, wajah yang cerah bersinar, tapi memiliki sorot mata yang tajam.
Ketiganya segera melangkah mendekat, mereka melihat pria itu tampak mengapit sebatang rokok yang tidak menyala di antara bibirnya. Saat ketiganya mendekat pria itu menoleh ke arah mereka. Vanya, terlihat tidak suka melihat keberadaan pria itu di sini dan berusaha untuk mengabaikannya—tak menatapnya sama sekali.
"Selamat siang, ada urusan apa, ya ....Tunggu! bukankah kamu!" Julia histeris seketika saat menyadari siapa sosok yang kini tengah mengambil rokok di bibirnya itu. "Kamu Rendra Adiatmaharaja!"
"Ya, itu nama saya."
"Oh Astaga, kamu terlihat lebih tampan kalau dilihat langsung begini." Pernyataan Henggar dan Vanya merasa ingin menghilang dari bumi ini.
"Ya, terima kasih. Banyak orang yang mengatakannya."
Vanya menatap Rendra tak percaya, bagaimana bisa seseorang begitu percaya diri seperti itu. Dia membuang mukanya, tak sudi melihat Rendra untuk saat ini, dia tidak ingin melihat seseorang yang telah merenggut kebebasannya. Saat ini dirinya hanya ingin bekerja dengan tenang.
"Hahaha ...." Julia dan Henggar tertawa sumbang. "Saya Julia, ini adalah partner kami Hangger—" ucapan Julia terpotong begitu saja.
"Saya kemari untuk bertemu dengan ...." Rendra sengaja menahan ucapannya, ia ingin melihat reaksi Vanya yang sedari tadi membuang muka darinya.
"Bertemu siapa?" Henggar bertanya dengan nada yang tegas saat memperhatikan pandangan Rendra tak lepas dari Vanya.
"Is—"
"Bertemu dengan saya 'kan, Pak Rendra?" Vanya langsung menyahut dengan kecepatan super sampai-sampai Rendra tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Vanya melotot ke arah Rendra, ia hanya bisa melihat Rendra menyeringai samar.
"Guys, kalian bisa masuk dulu ya. Saya ada urusan sama orang ini," lanjut Vanya kemudian ia melangkah mendekat ke arah Rendra, tingginya yang tak sampai ke bahu Rendra itu membuatnya harus mendongak ke atas. Menatap pria itu tajam untuk sesaat lalu menarik pergelangan Rendra dan pergi hadapan Julia dan Hangger yang memandang penuh tanya. Tapi Julia terlalu acuh tak acuh, ia berpikir mungkin urusan mereka tentang kasus kemarin belum sepenuhnya selesai, berbeda dengan Henggar yang menaruh curiga, meski begitu ia tetap mengikuti Julia masuk ke dalam kantor mereka dengan sesekali menoleh ke belakang, melihat ke arah Vanya yang menarik Rendra entah kemana.
"Bagaimana kamu bisa kemari?" tanya Vanya sembari menatap lekat pada mata Rendra. Anehnya, ia melihat pria itu tampak lelah, terlihat dari cekungan hitam di antara matanya. Seperti orang yang tidak tidur. Tapi Vanya enggan untuk bersimpati pada pria itu, ia lebih memilih untuk menyilangkan tangan di depan dadanya, menatap marah pada Rendra.
"Kamu tidak lupa ada yang namanya pesawat 'kan, Little Cat?" suara Rendra rendah dan serak.
"Aku tahu ... dan jangan panggil aku begitu, kamu pikir aku ini kucing?! Maksudku ... kenapa kamu kemari, ke kantorku? Apa kamu mau semua orang tahu kalau kita sudah menikah?" desis Vanya melontarkan semua kejengkelannya pada pria yang saat ini berstatus sebagai suaminya.
"Kamu liar seperti kucing yang belum dijinakkan, dan saya suka itu." Rendra hanya menjawab asal mengabaikan pertanyaannya yang lain. Membuat Vanya semakin jengkel padanya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku, Mas!" tuntut Vanya kesal.
"Pertanyaan kamu banyak sekali, saya harus jawab yang mana dulu?"
Vanya menghela nafasnya dengan kesal, ia berusaha untuk melapangkan dadanya agar kesabarannya yang setipis tisu itu bisa menjadi lebih tebal. "Kenapa kamu kemari?
"Sepertinya kamu tidak paham, Anantari."
"Tidak paham apa? Aku bekerja di sini, tentu aku harus kembali kemari."
"Kamu istriku dan kamu mengabaikan perkataanku." Rendra menjawab dengan cepat, nafasnya tampak memburu. Matanya menyorot tajam ke arah Vanya.
"Kamu tidak melarangku untuk kemari, jadi bisa dikatakan aku tidak mengabaikan perkataanmu, Mas."
Ini dia, perempuan ini memang keras kepala dan sangat lihai untuk menjawab semua pertanyaannya. Hampir saja Rendra kalah dalam perdebatan ini, tapi dia adalah Rendra, tidak mudah untuk merobohkan pendirian pria itu.
"Kalau begitu pulang kamu sekarang dengan saya!"
"Apa alasannya? Kenapa saya harus tinggal di sana? Apa tidak cukup status saya sebagai istrimu? Apa kamu takut aku kabur? Atau kamu takut aku bersama Henggar?" Vanya sendiri tak mengerti mengapa dirinya harus membawa nama Henggar dalam cercaannya kepada Rendra yang jelas-jelas tak ada hubungan apapun dengan dirinya. Pria itu sampai dibuat terkejut pada amarah yang meluap-luap dari Vanya. "Saya tidak akan ikut dalam permainan kotormu, Rendra Adiatmaharaja! Jadi enyahlah!"
Vanya yang sudah kepalang marah itu berbalik dan melangkah pergi.
Itulah. Saat itulah perasaan aneh menyelimuti Rendra, debaran di dalam rongga dadanya semakin menjadi-jadi, ketenangan yang selama ini melekat pada dirinya mendadak luntur begitu saja saat menghadapi perempuan pendek dan keras kepala itu. Entah apa ini namanya, tapi Rendra sangat tidak suka merasakannya.
Rendra tidak suka merasakan kekalahan.
Mata mereka bertemu—api bertarung dengan api. Amarah, gairah, dan sesuatu yang lebih gelap berkecamuk di dalam sorot netra itu, seperti badai yang siap menghancurkan keduanya. Vanya mencoba melepaskan diri, namun genggaman Rendra semakin erat, seakan menegaskan bahwa ia tak akan membiarkan perempuan itu lari begitu saja.
"Jangan mempermainkan saya dalam permainan saya sendiri, Anantari," suaranya dalam, serak, penuh ancaman dan godaan yang membaur menjadi satu.
Vanya membuka mulutnya untuk membalas, mungkin sebuah ejekan sinis, atau justru peringatan, tetapi Rendra tak memberinya kesempatan. Ia menarik tubuh perempuan itu ke dalam dekapannya, hingga napas mereka menyatu, hingga jantung mereka berdetak dalam irama yang sama.
Lalu bibirnya menghantam bibir Vanya.
Bukan sekadar sentuhan ringan, bukan sekadar tuntutan, tapi sebuah klaim—panas, mendalam, dan menyesakkan. Jari-jarinya meluncur ke tengkuk perempuan itu, menahannya dalam kungkungan yang tak menyisakan jalan keluar. Lidahnya menyapu, menuntut jawaban, menggali lebih dalam ke dalam ketaklukan yang perlahan tumbuh dalam diri Vanya.
Ia meronta, namun bukan untuk pergi—melainkan untuk semakin tenggelam. Jemari Vanya mencengkeram bahu Rendra, meremas keras seolah pegangan itu satu-satunya yang bisa membuatnya tetap berdiri.
Saat mereka akhirnya terpisah, napas keduanya putus-putus, seakan habis direnggut oleh hasrat mereka. Mata Vanya menggelap, bibirnya basah berkilat. Lalu sedetik kemudian ia melangkah mundur, Vanya merasakan kegilaan yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ia sungguh merasa malu terhadap dirinya sendiri karena telah larut kembali dalam permainan Rendra.
"Saya tidak akan pernah melepaskan apa yang sudah jadi milik saya, Anantari."
...*bersambung*...
semangat nulisnyaa yaaaa