Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.
Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.
"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"
"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
Sangakara menceritakan semua dugaannya kepada mang Dirman. Baik mengenai kematian keluarganya maupun keluarganya yang tiba-tiba pindah ke desa dan berganti identitas.
“Jadi begitu mang perkirakan aku,” ujar Sangkara. “Jika dilihat dari isi kotak ini, sudah sangat jelas alasan semuanya. Dan abah sama sekali tidak menjebak mamang. Beliau hanya mau minta tolong sama mamang untuk menjaga sawahnya. Maaf, jika selama ini mamang merasa terbebani oleh permintaan abah. Dan maaf jika mamang merasa terjebak. Makanya, mamang terima uang ini. Lalu mamang pergi berlibur,” sambung Sangkara.
Mang Dirman masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru dia terima. Dia benar-benar tidak menyangka, jika Dadang dan Lilis yang selalu berpenampilan sederhana merupakan anak orang kaya. Bahkan Dadang sendiri merupakan pewaris dari banyak perusahaan, hotel dan berbagai macam usaha lainnya. Dan sekarang pewaris itu secara langsung sudah berpindah tangan kepada anak pertama Dadang yang bernama Sangkara.
“Atau mamang umroh aja. Ajak semua keluarga mamang, untuk biayanya tenang saja. Aku yang akan bayar. Mamang tidak usah khawatir atau takut kekurangan uang. Kalau uang ini habis, mamang bisa minta sama aku,” tambah Sangkara tiba-tiba.
Mata mang Dirman menyipit, “ini halal atau haram, Kara? Kalau umroh gunakan uang haram, mamang gak mau!”
“Halal lah, mang. Ini uang hasil aku kerja ddi luar negeri!” jawab Sangkara. ‘Eh, ini halal gak ya? Tapi sepertinya halal deh. Walaupun jual beli senjata, tapi akadnya jelas. Hanya saja emang gak di ijinkan oleh pemerintah di sini saja. Kalau di sana sih di ijinkan untuk beberapa jenis saja!’ batin Sangkara sedikit merasa ragu dengan keabsahan uang yang dia miliki.
Laki-laki dewasa itu tampak berpikir sejenak. Dia menimbang semua yang dikatakan oleh Sangkara. Kalau tiba-tiba dia pergi atau pindah tanpa alasan jelas, tentu saja akan meninggalkan kecurigaan bagi tetangganya atau warga desa. Tetapi jika dia pergi umroh dan di lanjutkan berlibur atau tinggal di daerah lain, kemungkinan tidak ada curiga.
“Oke, Kara. Mamang setuju untuk umroh. Kalau bisa secepatnya ya Kara. Jujur saja mamang takut. Mamang belum siap mati! Dosa mamang masih banyak!”
“Siap, mang! Satu minggu, berikan aku waktu satu minggu. Walau berkasnya belum selesai, setidaknya mamang sudah meninggalkan desa ini.”
“Kamu yakin, Kara?”
“Aku tidak akan membohongi mamang, apalagi mamang sudah banyak bantu aku dan keluarga aku. Termasuk sudah menjaga sawah milik abah.”
Kepala mang Dirman, “mamang percaya sama kamu! Kalau begitu mamang pamit!”
“Hati-hati, mang!”
Sepeninggalan mang Dirman, Sangkara kembali meneliti isi kotak yang dia temukan di sawah. Dia ragu ingin langsung memberi tahu dokter Adit. Walau dari cerita dokter Adit jika dia adalah adek dari emaknya. Sangkara tidak boleh percaya begitu saja, selama pelaku yang telah menghabisi keluarganya belum di temukan. Dan bisa saja pelakunya adalah dokter Adit. Karena secara tidak sengaja laki-laki itu berdinas di puskesmas di desanya.
“Sepertinya aku harus cari tahu sendiri! Aku harus ke Jakarta!” gumam Sangkara.
Sedikit banyaknya dia tahu dan paham isi kotak tersebut. Selama tinggal dengan daddy, dia tidak biarkan menjadi bawahan saja. Tetapi dia di kuliahkan walau sambil berkerja.
Dengan segala banyak pertimbangan, akhirnya Sangkara memutuskan untuk ke Jakarta. Dia menyerahkan keadaan desa dengan orang itu. Dia meminta orang itu terus memberikan shock terapi kepala desa serta warga desa lainnya. Tidak hanya itu saja, Sangkara juga menginginkan desa itu menjadi tidak aman. Dan untuk orang yang sudah membully adeknya, dia tahan dulu. Dia akan melanjutkan kembali setelah pulang dari Jakarta.
^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Tiga hari setelah di temukan kotak itu, Sangkara benar-benar pergi ke Jakarta. Dia meminta mang Dirman menyusulnya satu hari setelah dia pergi. Selain agar mang Dirman cepat meninggalkan desa itu, Sangkara juga lebih mudah untuk mencari travel umroh yang bisa pergi cepat.
Selesai mengurus mang Dirman dan keluarganya, Sangkara pun mulai mencari tahu semua tentang keluarga emak dan abahnya. Hal yang pertama dia kunjungi adalah kantor kuasa hukum yang di percayai oleh abahnya untuk mengurus semuanya.
Sebuah gedung tinggi menjulang telah berada di depan Sangkara. Langkahnya terhenti sejenak, matanya terpejam sesaat dan dia pun mengatur napasnya sedemikian rupa. Merasa lebih baik, Sangkara melangkah masuk. Kali ini kakinya melangkah penuh percaya diri, matanya lurus menatap kedepan. Tidak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Dia terlihat sangat serius.
“Maaf, cari siapa ya pak?”
“Tomi. Saya mencari pak Tomi,” sahut Sangkara menatap dingin resepsionis gedung tersebut.
“Pak Tomi?” ulang resepsionis tersebut. “Apakah bapak sudah buat janji? Jika belum, mau saya buatkan janji terlebih dahulu. Karena pak Tomi sulit di temui kalau tidak membuat janji sebelumnya.”
Sangkara menarik sudut bibirnya, dia menyeringai sinis. “Bilang saja anak dari Adi Djoko Saputra datang dan akan ambil semua haknya!”
“Maaf, pak. Tetap tidak bisa. Bapak tetap harus buat janji terlebih dahulu.”
“Baik! Kalau anda tidak mau kasih tahu, maka saya sendiri yang kasih tahu beliau,” balas Sangkara. Dia mundur dua langkah kemudian berjalan menuju lift. Walau dia belum tahu ruangan pak Tomi, tapi dia bisa cari nanti.
“Pak, Pak tunggu! Tunggu sebentar, saya hubungi pak Tomi dulu!” seru resepsionis menghalangi langkah Sangkara. Dengan sopan dia meminta Sangkara untuk duduk terlebih dahulu di sofa yang berada di depan meja kerjanya.
“P-pak, silakan. Sa-saya antar ke ruangan pak Tomi.”
Sangkara melirik sekilas, lalu bangkit dari duduknya. Dia mengikuti langkah resepsionis yang menuntun dirinya ke ruang pak Tomi.
“Silakan, pak. Pak Tomi sudah menunggu bapak.”
Kepala Sangkara mengangguk pelan, “terimakasih,” ucapnya dingin.
Ketika pintu ruangan pak Tomi terbuka, tampak seseorang laki-laki paruh baya berdiri seperti menunggu dan menyambut kedatangannya.
“Pak Tomi?”
“Kamu anak Adi Djoko Saputra? Apakah benar? Tapi kalau di lihat wajah dan cara kamu berjalan, kamu memang sangat mirip dengan Adi. Hanya saja matamu lebih mirip dengan Naya,” tanya pak Tomi. Dia berjalan mendekati dan memeluk tubuh Sangkara. “Akhirnya keturunan Adi datang menemui saya! Kenapa baru sekarang datangnya? Adi dan Naya apa kabar? Mereka tidak ikut bersama kamu?”
Sangkara melepaskan pelukan laki-laki paruh baya yang bernama Tomi tersebut. Dahinya mengernyit bingung, “anda tidak tahu kalau orangtua dan adek saya sudah meninggal?”
“Meninggal? Kapan? Kenapa saya tidak dapat kabarnya?”
Sangkara tersenyum sinis, tanpa di persilahkan dia duduk terlebih dahulu di sofa yang ada di ruang pak Tomi.
“Anda tidak tahu atau benar-benar tidak tahu, pak? Atau malah anda terlibat?” pancing Sangkara.
“Maksudnya apa ini? Terlibat apa? Orangtua dan adek kamu meninggal karena apa? Kenapa kamu bisa mengatakan hal itu kepada saya?” sahut pak Tomi mencerca Sangkara banyak pertanyaan.
Bibir Sangkara kembali membentuk senyum sinis, matanya menilai sorot mata dan ekspresi pak Tomi. Lalu dia menarik napas panjang.
“Boleh saya minta minum? Sepertinya pembicaraan kita bakal panjang.”
Pak Tomi membalas tatapan Sangkara. Entah mengapa pemuda yang berada di depan memiliki aura yang melebihi Adi. ‘Semoga dia bisa meneruskan apa yang sudah Adi lakukan dulu.’
Semangat untuk authornya... 💪💪