Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
(KILAS BALIK)
Suara mesin diesel dan gemuruh alat berat yang dipamerkan memenuhi Hall A Jakarta International Expo. Udara terasa dipenuhi oleh aroma logam, oli baru, dan ambisi bisnis yang terpalpable. Di antara lautan eksekutif dan engineer yang kebanyakan pria bertubuh tegap dengan kaus atau kemeja berlogo perusahaan, Karmel Agata hadir bagai mutiara di tengah lumpur.
Dia berdiri di samping Hartono Jayawardhana, Presdir JMG yang sedang mengamati sebuah ekskavator raksasa. Sementara Hartono berbicara dengan sales manager dari pabrikan Jerman, Karmel tidak hanya diam mendengarkan. Matanya yang cerdas mengamati setiap detail brosur spesifikasi teknis di tangannya, lalu membandingkannya dengan brosur pesaing yang ia pegang di tangan lainnya.
"Pak Hartono," sela Karmel dengan sopan, suaranya jernih menembus deru mesin. "Mesin ini memang punya kapasitas bucket lebih besar 5%, tapi konsumsi bahan bakarnya 15% lebih tinggi dari model Swedia ini. Dengan jam operasional kita di Kalimantan, perhitungan BBM dalam 5 tahun ke depan justru akan lebih boros sekitar..."
Dia kemudian mengeluarkan tabletnya, jari-jarinya yang lentik dengan cepat membuka spreadsheet yang sudah ia persiapkan. "Saya sudah running numbers-nya. Selisih harga beli yang lebih murah ini akan tertutup dalam 2 tahun pertama hanya dari penghematan BBM, belum termasuk biaya perawatan yang menurut data dari situs independen ini, 20% lebih rendah untuk merek Swedia."
Sales manager pria Jerman itu terlihat sedikit tersinggung, tetapi Hartono mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar. Ia bukan hanya melihat seorang sekretaris cantik, tapi seorang analis yang tajam.
"Dan, Pak," lanjut Karmel, menunjuk ke bagian undercarriage alat tersebut, "untuk kondisi tanah basah di site kita, track model ini memiliki ketahanan yang lebih baik berdasarkan laporan dari tambang di Filipina yang kondisi geologisnya mirip."
Hartono mengangguk pelan, lalu berpaling ke sales manager tersebut. "You heard my secretary. We need to reconsider the numbers." Saat itu juga, Tomi Atmaja, yang kebetulan sedang berjalan melintas dan menyaksikan seluruh interaksi itu, terpana. Dia melihat seorang wanita yang tidak hanya memahami bisnis, tetapi juga memiliki kemampuan analisis teknis dan finansial yang langka. Kecerdasan Karmel bersinar lebih terang daripada kilau alat berat baru mana pun di hall itu.
---
Pagi itu, Karmel melangkah percaya diri masuk ke gedung PT Bumi Atmaja Nickel. Udara di sini terasa berbeda—lebih berdebu secara metaforis, penuh dengan semangat entrepreneur yang masih bertumbuh.
Tomi Atmaja, pria 45 tahun dengan sorot mata tajam dan ambisi yang terpancar kuat, sudah menunggu di ruang kerjanya yang lebih sederhana dibandingkan kemewahan di JMG. Saat Karmel masuk, Tomi menyambutnya dengan jabat tangan yang erat.
"Selamat bergabung, Karmel," ujar Tomi, senyumnya lebar dan tulus. Dia masih mengingat jelas performa Karmel di pameran itu. Ketika lamaran Karmel—dengan permintaan gaji yang cukup tinggi—sampai di mejanya, dia hampir tidak percaya. Mendapatkan talenta secemerlang Karmel adalah sebuah keberuntungan.
"Terima kasih, Pak Tomi. Senang bisa bergabung dengan Anda," sahut Karmel, suaranya percaya diri dan penuh keyakinan. Di matanya, ada api baru. Ini adalah babak baru, sebuah medan di mana kecerdasannya akan dihargai, dan dirinya akan diakui bukan karena siapa yang dia tiduri, tetapi karena apa yang mampu dia pikirkan.
***
Denting jam dinding antik di ruang kerja Hartono seolah terdengar lebih keras dari biasanya, memecah kesunyian yang tegang. Hartono Jayawardhana, pria 65 tahun dengan postur tegap dan uban yang mempertegas wibawanya, berdiri di depan jendela panoramanya. Namun, ketenangan itu palsu. Pundaknya yang biasanya tegak, sedikit membungkuk, menahan amarah yang baru saja meledak.
"Bodoh! Ceroboh!" hardiknya, suaranya yang dalam dan berwibawa menggema di ruangan yang dipenuhi kayu mahoni dan buku-buku tua itu. Dia menatap Renzi yang berdiri di hadapannya dengan pandangan penuh kekecewaan. "kamu pikir ini main-main? Kehilangan Karmel bukan cuma kehilangan sekretaris! Dia adalah kehilangan aset terbaik yang kita punya!"
Renzi berdiri dengan wajah masam, tangan terkepal di saku celananya. Dia seperti anak kecil yang dihukum, tapi di matanya tetap ada bara pemberontakan.
"Dia gadis penurut, cerdas, dan punya integritas yang kamu sendiri nggak punya!" lanjut Hartono, jarinya menunjuk ke arah Renzi. "kamu? Kamu jenius, tapi kepalamu panas dan tindakanmu nggak bisa ditebak! Kamu pikir papa nggak tahu kelakuanmu? Papa cuma tutup mata karena kamu masih bisa mengontrol kerusakanmu. Tapi kali ini? Kamu keterlaluan!"
Renzi memalingkan muka, menatap lukisan kapal tua di dinding. Setiap kata ayahnya adalah pukulan telak baginya, bukan karena rasa bersalah, tapi karena itu semua benar. Karmel adalah aset. Dan dia yang telah menyia-nyiakannya.
"Keluar dari sini!" gerutu Hartono akhirnya, kehabisan napas. "Dan jangan kembali sebelum kamu bisa membawa Karmel kembali!"
---
Matahari siang menyinari interior industrial kafe mewah di Sudirman. Renzi menyeruput kopi hitamnya, wajahnya masih berawan. Asap rokoknya menari-nari di udara sebelum akhirnya menghilang. Herry duduk di seberangnya, mengamati sahabatnya dengan cemas.
"Jadi lo belum tau kenapa Karmel tiba-tiba resign?" tanya Herry, memecah kesunyian.
Renzi hanya menggeleng, matanya menerawang keluar jendela, melihat orang-orang lalu lalang dengan hidup mereka yang tampak sederhana. Jari-jarinya yang panjang mengetuk-ngetuk gelas kopinya dengan ritme gugup.
"Tapi dia tau lo selingkuh?" Herry mencoba menyelami lebih dalam.
Renzi mengangguk pelan, tatapannya masih kosong. "Baru ketauan kayaknya," gumamnya, suaranya serak.
Herry menghela napas. "Nggak mungkin baru ketauan sekali dia sampai kabur begini," katanya, mencoba merasionalisasi situasi. "Pasti ada yang lain."
"Goblok emang si Fano itu!" seru Renzi tiba-tiba, suaranya meninggi sehingga beberapa pengunjung menoleh. Amarah yang dipendamnya sejak dari kantor ayahnya akhirnya meledak. Baru dua hari lalu Fano mengaku dengan ketakutan bahwa Karmel mengancam akan membongkar perselingkuhannya jika tidak memberitahu keberadaan Renzi saat kencan dengan Mira.
"Rugi banget sih lo sampe kehilangan Karmel," ucap Herry sambil menggeleng-geleng. "Menurut gue, dia bukan sekadar sekretaris. Dia itu kayak sebuah 'machine learning' berjalan. Bisa belajar, beradaptasi, menganalisis... dia partner yang lo butuhkan."
Renzi terdiam. Dalam hatinya, ia mengakui kebenaran perkataan Herry. Karmel adalah satu-satunya wanita yang tidak hanya membuatnya tertarik secara fisik, tetapi juga secara intelektual. Di dekatnya, Renzi yang jenius itu merasa ada yang seimbang, ada yang bisa menantang pikirannya. Dia bukan sekadar wanita yang singgah, tapi sebuah kekuatan yang diam-diam telah menjadi bagian dari ekosistemnya.
"Lo udah cari dia?" tanya Herry lagi, mencoba mencari celah solusi.
"Nggak ketemu," jawab Renzi frustasi. Matanya yang biasanya tajam dan penuh perhitungan, kini tampak lesu. "Kayak ditelan bumi." Selama sebulan ini, segala sumber dayanya ia kerahkan. Penyedia jasa, kontak-kontak bawah tanah, bahkan melacak rekening bank—semuanya mentok. Karmel menghilang dengan sangat sempurna.
"Padahal lo sama Karmel itu ibarat pasangan sempurna," Herry melanjutkan, mencoba menghibur meski tahu itu sulit. "Lo jenius dan Karmel juga cerdas. Kalian bisa sampai di puncak dengan mudah."
Kalimat itu seakan menyulut sumbu terakhir dalam diri Renzi. Matanya yang tadi lesu, tiba-tiba menyala dengan tekad yang gelap dan berbahaya. Ia memandang Herry, dan untuk pertama kalinya sejak Karmel pergi, ada kepastian di wajahnya.
"Saat gue nemuin dia nanti," ucap Renzi, suaranya rendah namun penuh keyakinan dan amarah yang tersembunyi, "Gue nggak akan lepasin dia lagi." Ia menekan rokoknya di asbak hingga padam. "Bahkan sekedar untuk dia bernapas."
Ada sesuatu yang mengerikan dalam janji itu. Bukan janji cinta, tapi janji kepemilikan yang obsesif dari seorang pria jenius yang merasa hartanya yang paling berharga telah dicuri. Dan Renzi akan melakukan apa pun untuk merebutnya kembali.