NovelToon NovelToon
TITIK NOL TAKDIR

TITIK NOL TAKDIR

Status: sedang berlangsung
Genre:Berbaikan / Spiritual / Penyesalan Suami / Duniahiburan / Matabatin / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:669
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."

Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.

Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24: INTUISI ARKA YANG MENDETEKSI KEHADIRAN WALI

Rina berdiri mematung di ambang pintu koridor, napasnya masih memburu setelah menyaksikan gundukan pasir putih yang mustahil di sudut kamar mandinya. Di telapak tangannya, potongan kertas lusuh dengan noda darah kering itu terasa membakar kulit. Gema frekuensi rendah yang baru saja mereda di gendang telinganya meninggalkan rasa sakit yang tumpul, sebuah sisa dari resonansi spiritual yang ia yakini sebagai sinyal dari Bara di suatu tempat yang sangat jauh.

Ia melangkah kembali ke ruang tamu dengan kaki yang terasa berat. Pandangannya langsung terkunci pada Arka. Putranya itu masih duduk bersila di atas karpet tipis, namun suasananya telah berubah total. Arka tidak lagi tampak gelisah atau menunjukkan tanda-tanda tantrum yang biasa terjadi saat ia merasakan ketidaknyamanan sensorik. Sebaliknya, ia sangat tenang—sebuah ketenangan yang hampir terasa tidak alami.

"Arka?" bisik Rina, nyaris tidak terdengar.

Arka tidak menoleh. Jemarinya mencengkeram erat sehelai daun jati kering yang telah ia bawa sejak sore tadi. Daun itu tampak rapuh, namun di tangan Arka, benda itu seolah menjadi jangkar yang menghubungkannya dengan sesuatu yang tak terlihat. Mata Arka terpaku pada satu titik di sudut ruang tamu, tepat di samping lemari kayu tua yang tampak sedikit bergetar meski tidak ada angin yang berembus.

Rina mendekat perlahan, menahan napas agar tidak merusak kesunyian yang sakral itu. Ia menyadari bahwa Arka bukan sekadar menatap kosong. Dada putranya itu naik-turun dengan irama yang sangat teratur, seolah-olah ia sedang menyelaraskan detak jantungnya dengan frekuensi kehadiran yang ada di sana. Gema yang tadi membuat Rina merinding dan ketakutan, bagi Arka, tampaknya adalah sebuah melodi yang sangat ia kenali.

"Ibu, kenapa Arka diam saja?" tanya Mala yang muncul dari balik sofa, matanya yang sembab menatap adiknya dengan cemas.

"Ssssh... Mala, jangan berisik. Adikmu sedang... sedang mendengarkan," Rina menarik Mala ke dalam rangkulannya.

"Mendengarkan apa, Bu? Mala cuma dengar suara jangkrik di luar," gumam Mala, menyembunyikan wajahnya di daster Rina.

"Ibu juga tidak mendengar suaranya dengan telinga, Mala. Tapi lihat Arka," Rina menunjuk dengan dagunya.

Arka mulai menggerakkan kepalanya secara lambat. Ia mengangguk kecil, lalu menggeleng pelan, seolah-olah sedang menjawab serangkaian pertanyaan dalam sebuah dialog sunyi yang hanya terjadi di frekuensi spiritual. Gerakannya sangat terorganisir, bukan gerakan repetitif tanpa makna yang sering dikaitkan dengan kondisinya. Rina merasa jantungnya berdenyut kencang. Ia yakin, di sudut ruangan itu, sosok penjaga yang sering Arka deteksi—sosok yang membawa aura kedamaian dari pulau tempat Bara berada—sedang berdiri di sana.

Pola Arus di Atas Debu

Tiba-tiba, Arka melepaskan daun jatinya ke pangkuannya. Ia menunduk, menatap lantai semen yang tertutup debu tipis di dekat kaki meja. Dengan gerakan yang sangat sengaja, ia mulai menggesekkan jari telunjuk kirinya di atas lantai tersebut.

"Apa yang kau buat, Arka?" bisik Rina, kini ia berlutut di dekat putranya.

Arka tidak menjawab secara lisan. Jari kecilnya bergerak lincah, membentuk sebuah pola yang berbeda dari gambar-gambar sebelumnya. Jika dulu ia sering menggambar pola garis-garis rumit yang menyerupai lipatan sorban, kali ini ia hanya menggambar sebuah titik tunggal yang sangat dalam di tengah. Kemudian, ia mulai membuat garis-garis melingkar di sekitar titik itu, membentuk pola spiral yang menyerupai pusaran air.

"Itu... seperti pusaran air di laut?" Mala ikut berjongkok, mengamati dengan rasa ingin tahu yang besar.

"Bukan sekadar pusaran, Mala," Rina merasa tenggorokannya tercekat. "Lihat titik di tengah itu. Itu sangat tenang, sementara sekelilingnya bergerak."

Rina teringat pada Buku Doa Musafir Bara yang ia pegang tadi. Ia merasa titik di tengah itu adalah manifestasi dari kepasrahan Bara. Suaminya telah mencapai titik nol, sebuah kedalaman iman di mana tidak ada lagi teriakan minta tolong, hanya ada penerimaan. Dan pola spiral itu, Rina sangat yakin, adalah Arus Kepulangan yang sudah mulai berputar, menggerakkan takdir untuk membawa Bara kembali ke koordinat rumah ini.

"Ayah ada di sana?" Arka mendongak tiba-tiba, menatap mata Rina.

Rina tertegun. Jarang sekali Arka memulai kontak mata seintens ini. "Iya, Arka. Ayah ada di titik itu. Ayah sedang bergerak menuju kita."

Arka kembali menatap polanya, lalu ia meraih segenggam pasir karang putih yang masih tersisa di lipatan daster Rina—pasir asing yang Rina bawa dari kamar mandi tadi. Arka mengambil pasir itu dengan hati-hati dan menjatuhkannya tepat di atas titik tunggal yang ia gambar di lantai.

"Putih... bersih..." gumam Arka.

"Pasir itu dari tempat Ayah, Arka. Kau merasakannya?" Rina mencoba memancing komunikasi lebih jauh.

Arka tidak menjawab. Alih-alih bicara, ia mengambil kembali daun jati keringnya yang tadi ia letakkan. Dengan gerakan yang sangat khidmat, ia menutupi gundukan pasir putih itu dengan daun jati kering tersebut. Bagi Rina, tindakan itu adalah sebuah konfirmasi simbolis yang luar biasa kuat. Pasir yang merupakan bukti fisik keberadaan Bara kini dipayungi oleh daun jati yang melambangkan kehadiran pelindung spiritual.

"Dia menjaganya, Bu," ucap Mala tiba-tiba, suaranya bergetar. "Orang tua yang Arka lihat itu... dia sedang memayungi Ayah dengan daun itu, kan?"

Rina hanya bisa mengangguk, air matanya mulai mengalir tanpa bisa dibendung. "Iya, Mala. Ayah tidak sendirian di sana. Ada yang menjaganya, dan Arka adalah jembatan kita untuk tahu bahwa Ayah aman."

Distorsi Frekuensi dan Penderitaan Mala

Ketenangan itu bertahan selama beberapa saat, hingga tiba-tiba suasana di ruangan itu berubah drastis. Cahaya lampu yang temaram tampak berkedip satu kali, dan suhu udara yang tadi dingin stabil mendadak terasa seperti tersengat listrik. Arka, yang semula tenang, tiba-tiba menarik tangannya dari atas daun jati itu dengan gerakan sentakan yang kasar.

Wajah Arka yang damai seketika berubah menjadi ekspresi kebingungan yang sangat dalam. Ia mulai bernapas dengan pendek-pendek, dan matanya bergerak gelisah ke arah langit-langit.

"Arka? Ada apa?" Rina panik, ia mencoba memegang tangan Arka namun putranya itu menghindar.

"Terlalu keras... berisik!" Arka menutup kedua telinganya dengan telapak tangan, menjatuhkan tubuhnya ke samping hingga berguling di karpet.

"Berisik? Ibu tidak dengar apa-apa, Arka!" Rina mencoba merangkulnya, namun tubuh Arka menegang seperti busur.

Rina menyadari bahwa sinyal spiritual yang dikirimkan Bara—setelah ia menulis doa dengan darahnya di pulau—mungkin telah mencapai intensitas yang terlalu kuat. Arka, sebagai penerima sinyal yang paling sensitif, kini mengalami beban berlebih. Kebisingan spiritual itu bukanlah suara yang bisa didengar secara fisik, melainkan tekanan energi yang menghantam kesadaran mereka.

"Mala, bantu Ibu pegang Arka!" teriak Rina.

Namun, saat Rina menoleh, ia melihat Mala tidak bergerak untuk membantu. Mala berdiri dengan tubuh gemetar, wajahnya pucat pasi, dan kedua tangannya mencengkeram dadanya sendiri. Mala tampak kesulitan bernapas, dan air matanya mengalir deras dalam diam.

"Mala? Kau kenapa, Sayang?" Rina melepaskan Arka sejenak dan beralih ke Mala.

"Sakit, Bu... di sini sakit sekali," Mala menunjuk dadanya, suaranya nyaris hilang. "Rasanya seperti ada yang menarik jantung Mala ke laut. Mala tidak mau Ayah pergi lagi!"

Rina terpaku. Ia menyadari konsekuensi mengerikan dari intensitas takdir ini. Sementara Arka mampu memproses energi itu sebagai informasi dan visualisasi, Mala—yang menyimpan luka tersembunyi karena merasa tidak diprioritaskan oleh Ayahnya—justru menerima energi itu sebagai rasa sakit emosional yang murni. Luka sunyi Mala bereaksi terhadap frekuensi kepulangan Bara, menciptakan distorsi yang menyiksa.

"Ayo, ke kamar. Kita semua ke kamar," Rina mencoba menarik kedua anaknya, namun Arka justru bangkit dan menunjuk dengan jari gemetar ke arah kamar Mala.

"Dia di sana... Dia sedih di sana," bisik Arka, menunjuk ke arah kamar yang gelap itu.

Rina melihat ke arah yang ditunjuk Arka. Di sana, di ambang pintu kamar Mala, ia merasakan gema yang membuat merinding itu kembali, namun kali ini dengan nuansa kesedihan yang mendalam. Seolah-olah kehadiran gaib itu kini sedang berpindah fokus, menunjukkan bahwa ada bagian dari keluarga ini yang belum selaras dengan arus kepulangan itu—sebuah bagian yang terluka dan membutuhkan penyembuhan segera.

Rina bergegas menyambar tubuh Arka yang masih menutupi telinganya, lalu menarik Mala yang lemas ke dalam dekapan. Ruang tamu itu kini terasa bukan lagi seperti bagian dari rumahnya, melainkan sebuah ruang hampa yang terombang-ambing di tengah samudra energi. Setiap embusan napas Arka terasa sinkron dengan denyut cahaya samar yang tadi ia lihat di sudut ruangan.

"Dengarkan Ibu, Mala. Tarik napas perlahan," ucap Rina dengan nada memaksa namun lembut, mencoba menjadi jangkar bagi putri kecilnya.

"Mala takut, Bu. Suara itu... suaranya seperti Ayah sedang menangis di bawah air," Mala terisak, jemarinya mencengkeram daster Rina hingga buku-buku jarinya memutih.

Rina membawa mereka masuk ke dalam kamar Mala. Di sana, suasana terasa jauh lebih menekan. Arka segera melepaskan diri dari pegangan Rina dan merangkak naik ke atas tempat tidur Mala. Ia tidak lagi menutupi telinganya, melainkan mulai mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke dinding kayu di atas bantal Mala—sebuah pola ketukan yang berulang dan sangat ritmis, seolah ia sedang mencoba mengirimkan sinyal balasan ke kegelapan.

"Apa yang kau lakukan, Arka? Berhenti, nanti dindingnya rusak," tegur Rina pelan.

Arka berhenti sejenak, lalu menatap bantal Mala. "Dia tidak tidur. Dia cuma bersembunyi di bawah bantal."

Rina mengernyitkan dahi. "Siapa yang bersembunyi? Mala ada di sini bersama Ibu."

"Bukan Mala," Arka menggelengkan kepala dengan cepat, matanya yang tajam menatap ke area kosong di atas bantal. "Anak yang satunya. Dia yang menangis. Kakek Tua itu bilang, dia harus bangun."

Rina merasakan hawa dingin yang menusuk kembali merayap di punggungnya. Ia menyadari maksud Arka. 'Anak yang satunya' bukan berarti ada orang lain, melainkan sisi emosional Mala yang selama ini terisolasi dan terabaikan—luka sunyi yang selama ini Mala sembunyikan di bawah bantal setiap malam saat ia menangis tanpa suara karena merasa bukan prioritas. Kehadiran Wali Allah di rumah ini rupanya tidak hanya untuk menjaga sinyal kepulangan Bara, tetapi juga untuk membedah borok emosional di dalam keluarga tersebut.

Beban Spiritual yang Menyesakkan

Mala tiba-tiba merosot duduk di lantai karpet. Ia memandang bantalnya dengan tatapan kosong, seolah ia mulai bisa melihat apa yang dilihat Arka. Penderitaan emosional yang dipicu oleh energi spiritual dari pulau—energi yang dihasilkan dari ikhlas tertinggi Bara saat menulis doa dengan darah di atas kertas lusuh—kini memuncak.

"Mala, lihat Ibu. Apa yang kau rasakan sekarang?" Rina berlutut di depan Mala, memegang kedua pipi putrinya.

"Mala merasa... Mala merasa Ayah tidak mau pulang karena Mala nakal," suara Mala pecah. "Ayah mengirimkan pasir, Ayah mengirimkan suara dingin, tapi Ayah tidak pernah bicara langsung pada Mala di dalam mimpi. Ayah cuma bicara pada Arka."

"Itu tidak benar, Mala! Ayah sangat mencintaimu!" Rina mencoba meyakinkan, namun ia tahu kata-katanya terasa hambar di hadapan intensitas magis yang sedang mereka alami.

"Arka dengar Ayah, tapi Mala cuma dengar suara berisik yang sakit," Mala memukul-mukul dadanya sendiri. "Kenapa Mala tidak bisa dengar Ayah dengan tenang seperti Arka?"

Rina tersedak oleh rasa bersalahnya sendiri. Ia teringat bagaimana selama berbulan-bulan ini ia terlalu fokus pada kondisi autistik Arka dan sinyal-sinyal spiritual yang muncul melalui putranya itu, hingga ia tidak menyadari bahwa Mala juga memiliki "antena" emosional yang sama kuatnya, namun tidak memiliki penyaring. Kebisingan spiritual yang dirasakan Arka sebagai sinyal, bagi Mala adalah distorsi dari rasa tidak dicintai.

"Kakek Tua bilang... Ayah sedang tulis nama Mala," suara Arka terdengar datar namun penuh otoritas.

Rina dan Mala menoleh serentak. Arka sedang memegang sehelai daun jati kering yang tadi ia bawa dari ruang tamu. Ia meletakkan daun itu di atas bantal Mala, tepat di titik yang tadi ia ketuk-ketuk.

"Tulis nama Mala? Di mana, Arka?" tanya Rina dengan suara gemetar.

"Di buku merah yang basah. Di sana, di tengah laut," Arka menunjuk ke arah luar jendela, ke arah cakrawala yang tak terlihat. "Kakek itu bilang, Arus Kepulangan butuh nama Mala supaya jalannya tidak buntu."

Isyarat Luka Sunyi yang Menganga

Rina terdiam seribu bahasa. Ia menyadari bahwa doa Bara di pulau (yang ia yakini ditulis dengan pengorbanan darah) kini sedang bekerja sebagai kunci untuk membuka sumbat emosional di rumah ini. Sinyal Arus Takdir tidak akan pernah sempurna jika salah satu koordinatnya—yaitu hati Mala—masih tersumbat oleh luka dan rasa tidak dianggap.

"Mala, dengar adikmu. Ayah sedang menyebut namamu di sana," bisik Rina, menarik Mala ke dalam pelukannya lagi.

"Tapi sakit, Bu... sakit sekali," Mala merintih, tubuhnya mulai panas secara mendadak.

Rina menyentuh dahi Mala. Panasnya tidak wajar, seolah putrinya sedang mengalami demam spiritual. Paranoia Rina kembali muncul, namun kali ini lebih terarah. Ia takut bahwa jika ia tidak segera menyembuhkan luka Mala malam ini, Arus Kepulangan Bara akan terhambat atau bahkan terputus di tengah jalan.

"Arka, apa yang harus Ibu lakukan?" Rina bertanya pada putranya dalam keputusasaan total.

Arka tidak menjawab secara langsung. Ia hanya menunjuk ke arah bantal Mala lagi. "Cari di bawah bantal. Anak yang menangis itu menyimpan sesuatu."

Rina dengan ragu mengangkat bantal merah muda milik Mala. Di sana, terselip sebuah lipatan kertas putih yang sudah agak lecek. Rina mengambilnya dan membukanya. Itu adalah surat rahasia Mala untuk Ayahnya yang ditulis beberapa waktu lalu—surat yang berisi pertanyaan-pertanyaan menyakitkan tentang mengapa Ayah lebih sayang pada Arka dan mengapa Mala harus selalu mengalah.

"Mala... kau menyimpan ini?" Rina menatap putrinya dengan tatapan hancur.

Mala hanya bisa menunduk, air matanya membasahi karpet. Tepat saat surat itu terbuka, gema frekuensi rendah di rumah itu tiba-tiba berubah menjadi nada yang sangat halus dan merdu, mirip dengan suara senar gitar yang dipetik satu kali di kejauhan. Rasa dingin yang menyesakkan perlahan-lahan mencair, digantikan oleh kehangatan yang menjalar dari arah daun jati di atas bantal.

"Dia sudah bangun," gumam Arka, matanya kembali tenang. "Anak yang menangis itu sudah keluar."

Rina memeluk Mala erat-erat, menyadari bahwa intuisi Arka telah mendeteksi kehadiran Wali bukan hanya sebagai penjaga Bara, melainkan sebagai tabib bagi luka-luka di rumah ini. Konsekuensi spiritual dari doa Bara telah memaksa semua kebohongan emosional untuk naik ke permukaan. Namun, saat Rina merasa badai ini mereda, Arka tiba-tiba menegang kembali. Ia menunjuk ke arah pintu kamar yang terbuka lebar.

"Ibu... Kakek itu pergi ke arah laut. Dia bilang, seseorang akan menelepon," ucap Arka pelan.

Rina menatap pintu yang kosong, hatinya mencelos. Kabar fisik dari dunia luar akan segera datang untuk mengonfirmasi semua kengerian dan keajaiban malam ini.

1
Tulisan_nic
semangat Bara,kamu harus bangkit segera.Keluarga menunggumu
Tulisan_nic
setuju sih,di waktu yg mendesak begitu,apa lagi anaknya demam tinggi. Lebih masuk akal menjual perhiasan dr pada cari kerja
Kartika Candrabuwana
bab 26 keren
Kartika Candrabuwana
bsb 25 keten
Kartika Candrabuwana
bab 24 keren😍
Kartika Candrabuwana
bab 23 keren😍👍
Kartika Candrabuwana
bab 22 ok👍
Tulisan_nic
Belum baca keseluruhan isi novel ini,tapi dari awal baca sudah mendapat banyak pelajaran tentang tawakal sesungguhnya,semangat berkarya Author.Aku kasih rate 5 biar semakin bersemangat /Rose//Rose//Rose//Rose//Rose/
Kartika Candrabuwana: terima kasih. 😍👍
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
iya betul😍
Tulisan_nic
Definisi ikatan batin suami istri
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Tulisan_nic
Ketika ujian hidup terasa sangat sulit😭
Kartika Candrabuwana: anak autis sungguh ujian yang berat/Sob/
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
bab 21 luar biasa.
Kartika Candrabuwana
istri yang tegar😍👍
Kartika Candrabuwana
kasihan sekali. semangat bara💪
Tulisan_nic
semakin seru,semangat Thor🫶
Kartika Candrabuwana: ok..semangat👍
total 1 replies
Tulisan_nic
semoga mustajab Do'a seorang Bapak
Kartika Candrabuwana: amiin👍
total 1 replies
Tulisan_nic
Titik pencapaian paling sakral
Kartika Candrabuwana: tawakal total
total 1 replies
Tulisan_nic
Benar adanya,setiap orang yang merasa ajal di depan mata yang terfikirkan adalah bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang di cintainya. Semangat Bara...kau akan menemukan daratan!
Kartika Candrabuwana: saya coba menyentuh hati tiap pembaca🙏
total 1 replies
Kartika Candrabuwana
luar biasa teguh👍😍🤣
Kartika Candrabuwana
kalinat yang sangat menyenuh hati/Sob//Sob/😍👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!