NovelToon NovelToon
I Want You

I Want You

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Romantis / Office Romance / Cintapertama
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mapple_Aurora

Pengkhianatan yang dilakukan oleh tunangan dan kakak kandungnya membuat Rada mengambil keputusan untuk meninggalkan New York dan kembali ke Indonesia.

Pernikahan yang gagal membuat Rada menutup hati dan tidak ingin jatuh cinta lagi, tapi pertemuan dengan Gavin membuatnya belajar arti cinta sejati.

Saat Gavin menginginkan sesuatu, tidak ada yang bisa menolaknya termasuk keinginan untuk menikahi Rada. Ia tahu hati Rada sudah beku, tetapi Gavin punya segala cara untuk menarik wanita itu ke sisinya.



Cerita ini murni ide penulis, kesamaan nama tokoh dan tempat hanyalah karangan penulis dan tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 15

Di apartemennya, Rada duduk di tempat tidurnya sambil memegangi dada yang terasa berat. Ia baru saja tiba, masih mengenakan gaun tadi. Kepalanya penuh dengan pikiran tentang tatapan Gavin yang tenang saat menyetujui ide pernikahan di depan semua orang.

“Kenapa dia setuju begitu saja? Kita baru bertemu dan tidak tahu satu sama lain sebelumnya.” Monolog Rada masih bingung.

Gadis itu pindah ke dekat jendela, memperhatikan lampu neon yang tampak indah di kejauhan.

Rada duduk berlama-lama di depan jendela hingga langit Jakarta diselimuti hujan tipis yang menetes perlahan di luar jendela apartemen. Lampu kota berpendar samar, memantul di kaca bening yang sedikit berembun.

Beberapa hari lagi ia akan bertunangan dengan CEO tempatnya bekerja, kepalanya pusing memikirkannya.

Rada menatap ke luar jendela. Hujan makin deras, menimbulkan suara lembut yang menyatu dengan detak jantungnya yang tak menentu.

“Semua orang pasti kaget aku mengadakan pernikahan bahkan belum genap tiga bulan pernikahan sebelumnya batal.”

Ia mengingat kembali semua kejadian: mulai dari kebetulan mereka tinggal di apartemen sebelah, makanan yang dikirimkan, dan kini, pernikahan yang tiba-tiba jadi topik serius di meja makan keluarga.

Tangannya memijat pelipis. Pikiran Rada semakin semrawut. Bagaimana besok ia harus bekerja di bawah arahan pria itu?

Ia menghela napas panjang dan pindah ke tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang redup. Matanya perlahan terpejam, tapi pikirannya masih menolak tenang. Bagaimana kalau Naysa juga kembali ke Indonesia dan menggoda Gavin? Apakah Gavin akan tergoda seperti El? Atau yang lebih buruk, Gavin akan mempermalukannya? Segala pikiran buruk memenuhi kepala Rada karena ia tahu Naysa, kakaknya, mampu melakukan itu.

Di seberang dinding, di apartemen sebelah, Gavin duduk di ruang kerjanya, menatap layar tablet yang menampilkan laporan kinerja tim Apexion cabang New York dan salah satu nama di daftar itu: Nerada Athalia Argaya.

Senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Selamat datang di Jakarta, Rada,” katanya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan dalam gelap. “Mulai besok… aku pastikan kamu tidak akan bisa lari dariku lagi.”

... ⁠۝ ...

Pagi itu, matahari Jakarta baru menembus gedung-gedung tinggi ketika Rada melangkah keluar dari lift apartemen. Ia sudah rapi dalam balutan blazer krem muda dan celana panjang abu lembut, rambutnya digerai rapi, meski wajahnya masih menyimpan sedikit kantuk yang belum sepenuhnya hilang.

Setelah sarapan ringan, ia berniat berangkat lebih pagi, berharap bisa sampai di kantor sebelum Gavin datang. Ia ingin menghindari segala kemungkinan interaksi canggung, terutama setelah makan malam keluarga tadi malam yang terasa… terlalu intens.

Namun begitu langkahnya tiba di lobi apartemen, keberuntungannya langsung lenyap.

Di depan pintu kaca besar yang memantulkan cahaya pagi, berdiri sosok tinggi berjas hitam rapi dengan tangan diselipkan di saku celana.

Gavin.

Ia tampak tenang seperti biasa, dengan aura profesional yang membuat siapa pun di sekitarnya otomatis menjaga jarak. Beberapa penghuni apartemen yang lewat bahkan sempat melirik kagum, pria itu memang punya pesona yang sulit diabaikan.

Begitu matanya bertemu dengan Rada, Gavin menegakkan tubuhnya dan tersenyum tipis.

“Pagi, Rada.”

Rada berhenti melangkah, refleks menegakkan bahu. “Pagi…” jawabnya hati-hati.

“Berangkat ke kantor?” tanyanya ringan, seolah tidak tahu jawabannya.

“Iya,” balas Rada singkat. Ia segera melangkah ke arah pintu, berharap bisa lewat tanpa percakapan lebih jauh. Tapi langkah Gavin lebih cepat.

Ia sudah berdiri di sisi pintu lebih dulu, memencet tombol kunci mobil di tangan, dan berkata datar. “Kalau begitu, kita berangkat bersama.”

Rada langsung menoleh, keningnya berkerut. “Tidak usah, Pak. Saya bisa sendiri.”

“Mobil kamu sudah siap?” tanyanya dengan nada halus tapi menekan.

Rada diam sesaat. Ia memang belum sempat memanggil taksi online pagi itu.

“Tapi saya—”

“Tidak perlu alasan. Aku juga ke kantor, dan kebetulan satu arah. Tidak efisien kalau kita berangkat terpisah.” Gavin memotong dengan nada tegas. Lalu seolah ingat sesuatu, ia menambahkan. “Satu lagi, jangan memanggilku dengan sebutan Pak. Panggil saja namaku, Gavin.”

Beberapa orang di lobi sudah mulai memperhatikan mereka, terutama resepsionis yang berusaha menahan senyum. Rada menggigit bibir, menahan rasa malu sekaligus jengkel.

“Baiklah, Gavin. Tapi ini tidak perlu—”

“Masuk saja,” potong Gavin lagi, kali ini lebih lembut namun tetap tak memberi ruang untuk menolak. “Kamu tidak ingin terlambat di hari kedua kerjamu, kan?”

Nada tenangnya membuat Rada tak bisa membalas. Ia tahu Gavin bisa sangat persuasif tanpa harus menaikkan suara. Dengan helaan napas panjang, ia akhirnya melangkah ke arah mobil hitam mengilap yang sudah menunggu di depan pintu.

Begitu pintu mobil tertutup, aroma khas parfum Gavin langsung memenuhi ruang sempit itu — maskulin, tajam, tapi entah kenapa menenangkan.

Selama beberapa menit pertama, tak ada yang bicara. Gavin fokus menyetir, matanya lurus ke depan, sementara Rada berusaha sibuk menatap pemandangan luar jendela, pura-pura sibuk dengan ponsel yang bahkan tidak ia buka.

Namun ketika mobil berhenti di lampu merah, Gavin melirik sekilas ke arahnya.

“Masih marah?” tanyanya datar.

Rada menoleh cepat. “Marah? Tidak. Aku hanya… tidak nyaman.”

“Karena kita satu kantor?”

Rada menghela napas. “Ya, bisa dibilang begitu. Aku tidak tahu perusahaan ini milik kamu, Gavin. Kalau tahu, mungkin aku tidak akan—”

“bekerja di Apexion?” potongnya pelan, senyumnya samar.

“Ya, aku tidak akan bekerja di perusahaan orang nyebelin kayak kamu.” Kata Rada setengah menggerutu.

Gavin justru tersenyum kecil, lalu berkata dengan suara khasnya—mungkin sebagian perempuan akan menganggap seksi, tapi tidak begi Rada. “Aku yakin kamu cukup nyaman bekerja di Apexion selama ini, kalau tidak kamu pasti sudah lama pindah.”

Rada ingin membantah, tapi sialnya tebakan Gavin selalu benar. Ia hanya mendengus dingin, lalu mengalihkan pandangannya keluar kaca mobil.

Suara mesin mobil kembali mendominasi, tidak ada lagi yang bersuara. Mobil hitam itu terus melaju menuju kantor Apexion, Rada merasa baru saja melangkah masuk ke dalam permainan yang lebih rumit dari yang ia bayangkan.

Mobil hitam Gavin melaju tenang melewati jalan-jalan utama menuju gedung kantor Apexion yang menjulang tinggi. Dari kaca jendela, Rada bisa melihat deretan mobil mewah mulai memenuhi area parkir dan karyawan berjas rapi berjalan masuk ke lobi. Ia menelan ludah pelan. Perutnya terasa mual karena gugup.

Sebelum mobil benar-benar mendekat ke area gedung, Rada bersuara pelan tapi tegas, “Gavin, bisa turunkan aku di sini saja?”

Gavin yang sedang memegang kemudi hanya melirik sekilas. “Di sini?”

“Iya,” jawab Rada cepat. “Aku tidak mau semua orang lihat aku datang bersama kamu. Itu... tidak enak.”

Ia berharap Gavin akan mengerti atau setidaknya menghargai sedikit privasinya. Namun Gavin justru menarik sudut bibirnya membentuk senyum kecil, senyum yang sudah cukup membuat jantung Rada berdetak lebih cepat bukan karena romantis, tapi karena ia tahu Gavin sedang merencanakan sesuatu.

“Sayangnya,” ucap Gavin dengan nada datar, “aku tidak punya alasan untuk menurunkan kamu di tengah jalan. Kamu karyawanku. Aku CEO kamu. Aku hanya memberi tumpangan. Tidak ada yang salah dengan itu.”

“Gavi!” Karena kesal Rada tidak sadar memanggil Gavin dengan nama panggilan yang biasa digunakan dalam keluarganya, ia menatapnya lalu melanjutkan dengan setengah berbisik, “Ini bukan soal salah atau tidak salah! Aku tidak mau jadi bahan gosip!”

Namun Gavin tidak menjawab, tanpa sadar tersenyum mendengar Rada memanggilnya seperti itu. Apakah Rada sudah menganggapnya keluarga? Ah, benar, Ia kan calon suaminya.

Gavin memperlambat laju mobilnya dan beberapa detik kemudian, berhenti tepat di depan gerbang utama gedung Apexion, di mana puluhan karyawan sedang keluar-masuk dengan coffee cup di tangan.

Rada langsung menegakkan tubuh, wajahnya memucat. “Gavin… jangan di sini.”

Tapi pria itu hanya menatapnya sekilas, lalu membuka sabuk pengaman dan berkata santai,

“Sudah sampai.”

Pintu mobil di sisi Rada otomatis terbuka karena Gavin menekannya dari kursinya. Tatapan orang-orang di sekitar seketika tertuju pada mobil hitam mengilap yang mereka semua kenal. Mobil CEO mereka.

Beberapa karyawan yang baru datang berhenti berjalan. Dua resepsionis di depan pintu lobi bahkan saling melirik heran.

Dan ketika Rada keluar dari mobil dengan ekspresi kikuk, semua mata seolah membeku pada sosoknya.

Gavin turun di sisi lain, memasang kacamata hitamnya dengan gerakan tenang, lalu berjalan ke arah Rada. Ia sempat menunduk sedikit untuk berbicara, dengan suara cukup keras agar orang-orang di sekitar bisa mendengar,

“Jangan lupa rapat jam sembilan, Miss Rada.”

Nada formal itu seharusnya terdengar profesional. Tapi di mata para karyawan yang melihat, terutama karena Gavin jarang, bahkan tidak pernah, terlihat berbicara begitu akrab dengan karyawan wanita — adegan itu justru tampak sangat… pribadi.

Bisik-bisik mulai terdengar.

“Dia siapa?”

“Itu karyawan baru, kan?”

"Anak baru pindahan dari New York,"

“Serius? CEO turun bareng dia?”

“Gila… selama ini pak Gavin bahkan nggak pernah jalan bareng siapa pun. Bukannya dia… katanya gay, ya?”

“Berarti gosip itu salah dong. Lihat aja, dia bahkan bukain pintu buat dia.”

Tatapan iri dan sinis langsung menghujani Rada. Beberapa karyawan perempuan yang dikenal diam-diam mengagumi Gavin menatapnya dengan wajah dingin, sementara beberapa pria justru terlihat penasaran.

"Gavin sialan. Dia pasti sengaja, dia mau semua orang menggosipkanku." Gerutu Rada dalam hati.

“Terima kasih… atas tumpangannya,” katanya datar, berusaha menjaga ekspresi netral. Ia harus tetap berterimakasih agar tidak terlihat kurang ajar di depan karyawan lain.

Gavin hanya mengangguk tipis. “Sama-sama.”

Ia berjalan masuk lebih dulu, meninggalkan Rada dengan puluhan tatapan yang terus menancap di punggungnya. Saat langkahnya melewati lobi, bisik-bisik semakin menjadi.

Salah satu rekan baru Rada, Sania, berlari kecil menghampiri dengan wajah terkejut bercampur penasaran. “Rada! Kamu barusan… datang bareng Pak Gavin?”

Rada menarik napas panjang, berusaha tersenyum. “Kebetulan searah aja,” jawabnya singkat.

Sania menatapnya tidak percaya. “Kebetulan? Kamu tahu nggak, selama dua tahun aku kerja di sini, belum pernah ada karyawan perempuan yang sampai bisa satu mobil sama beliau. Kamu itu kayak... jadi headline gosip kantor hari ini!”

Rasa hanya menghela napas panjang. Dalam hati, kembali mengumpati Gavin. Benar-benar menyebalkan!

...۝۝۝...

1
Lunaire astrum
💯
Lunaire astrum
Bagus juga. Nanti baca lagi, mau ke warung dulu
Ega
Suka sama karakter Gavin🥰🥰🥰
Ega
cowok kyak El nih nyebelin banget deh😏
Adit monmon
cinta dlm diam ya vin🤭
Nda
luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!