NovelToon NovelToon
Darah Di Tanah Hujan

Darah Di Tanah Hujan

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Roh Supernatural
Popularitas:420
Nilai: 5
Nama Author: Siti Nuraida

Hujan tak pernah berhenti di Desa Waringin.
Sudah tiga puluh tahun, langit di atas desa itu selalu kelabu — dan setiap kali petir menyambar, satu orang akan lenyap begitu saja.

Penduduk hidup dalam ketakutan, tapi juga dalam penyangkalan. Mereka menanam bunga di kuburan kosong, berpura-pura tak tahu bahwa tanah di bawah mereka haus darah.

Suatu malam, Rendra, seorang fotografer urban legend, datang ke desa itu mencari adiknya yang terakhir kali mengirim pesan dari sana sebelum hilang.

Namun sejak langkah pertamanya, ia disambut aroma besi dari air hujan, wajah-wajah tanpa ekspresi, dan anak kecil yang berkata lirih:

“Kalau hujannya merah, jangan keluar, Kak.”

Semakin Rendra menggali, semakin ia sadar bahwa hujan di desa itu bukan anugerah — tapi kutukan dari darah ratusan korban ritual pengorbanan yang disembunyikan pemerintah desa dulu.

Dan di balik semua itu, “Yang Basah” menunggu…
Menunggu darah baru untuk menggantikan yang lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Nuraida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 15 — Dimas Mulai Berubah

Suara gerombolan penduduk desa di luar Balai Desa terdengar semakin keras, didorong oleh ketakutan dan keyakinan baru bahwa pengorbanan anak kecil adalah satu-satunya cara untuk menghentikan hujan merah. Mereka bergerak dengan tekad yang dingin, jauh berbeda dari kepasrahan mereka sebelumnya.

Rendra menarik Dimas kembali ke ruangan kantor kecil Kepala Desa. Ia menutup pintu ruangan itu dan menguncinya. Pintu kayu tua itu tidak akan bertahan lama melawan massa yang panik.

“Kita harus keluar dari sini, Dimas,” bisik Rendra, menyorotkan senternya ke pintu belakang yang mengarah ke hutan.

Dimas tidak menjawab. Ia hanya berdiri di tengah ruangan, tatapannya kosong, menatap ke arah pintu depan Balai Desa yang kini digedor dengan keras.

“Aku dengar dia manggil aku dari sumur, Kak,” kata Dimas lirih.

“Dia bilang… aku anaknya.”

Suara Dimas sangat pelan, tetapi kata-katanya menusuk. Rendra menoleh dan melihat ke arah Dimas. Cahaya senter menyorot wajah anak itu, dan Rendra melihat perubahan yang Nyai Melati dan Pak Darmo khawatirkan.

Wajah Dimas pucat pasi, namun tidak hanya karena ketakutan. Ada rona kebiruan samar yang menjalar di bawah kulitnya, seperti kehangatan tubuhnya telah digantikan oleh air dingin. Matanya, yang biasanya memancarkan kepolosan, kini tampak cekung dan berkaca-kaca, selalu terlihat basah, seolah-olah dia baru saja keluar dari air.

Perubahan yang paling mengganggu ada di tangannya. Kuku-kuku jari Dimas yang kecil dan kotor, kini menjadi hitam pekat, dan sedikit lebih panjang dari seharusnya, melengkung ke bawah seperti cakar burung hantu.

“Dimas, kita harus pergi,” ulang Rendra, meraih bahu anak itu.

Saat Rendra menyentuhnya, ia merasakan dingin yang mengerikan, jauh lebih dingin daripada udara lembap di desa itu. Dimas terasa seperti es yang baru saja dikeluarkan dari air.

“Aku nggak bisa, Kak,” bisik Dimas. “Mereka… mereka benar. Aku harus pergi. Aku harus bayar. Ayahku lari, dan aku harus bayar.”

“Tidak! Ayahmu bukan pelaku! Ayahmu adalah korban!” Rendra mengguncang bahu Dimas.

“Pelakunya adalah rekan Ayahku. Kita harus cari dia!”

Dimas menggelengkan kepala, air matanya mulai menggenang, namun anehnya, air mata itu tidak menetes. Air mata itu hanya berkumpul di kelopak matanya.

“Bukan cuma Ayahku, Kak. Aku adalah anaknya air. Dia bilang, darah keturunan yang menentang harus dicampur dengan lumpur, agar dia jadi kuat. Agar dia bisa keluar.”

Dimas tiba-tiba mengangkat tangannya yang berkuku hitam, menunjuk ke arah Sumur Tua, menembus dinding kayu.

“Dia mau aku datang, Kak. Dia mau aku jadi tumbal terakhir.”

Di luar, teriakan massa semakin keras, diselingi bunyi kayu yang patah. Mereka mulai merusak pintu Balai Desa.

“Mereka mau aku. Aku dengar dia manggil aku dari sana, Kak. Dia bilang… airnya dingin, tapi di sana aku nggak akan sendirian.”

Dimas mulai berjalan menuju pintu, langkahnya lambat dan kaku, seperti robot yang baru keluar dari air.

“Berhenti, Dimas!” Rendra menariknya dengan sekuat tenaga.

Saat Rendra menariknya, Dimas meronta. Bukan rontaan anak kecil. Itu adalah kekuatan yang dingin dan tidak wajar. Rendra tersentak mundur. Kekuatan itu bukan berasal dari Dimas. Itu berasal dari Yang Basah yang merasukinya.

“Biarkan aku pergi, Kak!” teriak Dimas, suaranya kini bercampur dengan gemericik air yang keras, memekakkan telinga Rendra.

Rendra melihat mata Dimas. Air di mata anak itu kini berputar-putar. Tubuh Dimas bergetar hebat.

“Nyai Melati bilang darahmu belum cukup kotor, Dimas! Jangan dengarkan mereka!”

Tiba-tiba, Dimas membungkuk, menundukkan kepalanya, dan mulai terbatuk. Bukan batuk biasa. Dimas batuk, dan dari mulutnya, keluar cairan.

Cairan yang dikeluarkan Dimas adalah air keruh berwarna merah pekat, sama persis dengan air di Kuburan Rahasia.

Anak itu memuntahkan air di atas lantai kayu yang kotor, air yang berbau lumpur dan besi, seolah-olah paru-parunya kini dipenuhi air.

“Dia… dia sudah ada di dalamku, Kak!” Dimas tersengal-sengal, teror memenuhi suaranya. “Dia menyentuhku di rawa itu! Dia menjadikanku… anaknya!”

Di luar, pintu Balai Desa hancur dengan suara keras. Penduduk desa, yang kini wajahnya kaku dan penuh lumpur, berteriak-teriak, memegang obor dan alat-alat pertanian. Mereka terlihat brutal, tidak manusiawi, didorong oleh kepanikan ritual.

“Tangkap anak itu! Bawa dia ke Sumur! Kita lakukan ritual sebelum hujan merah datang lagi!” teriak salah satu warga yang matanya merah.

Rendra harus membuat keputusan cepat. Melawan massa yang kerasukan adalah bunuh diri.

Ia melihat ke belakang, ke pintu kantor Kepala Desa. Pintu itu kecil, tetapi bisa menjadi jalan keluar darurat ke hutan di belakang Balai Desa.

Rendra meraih tas kameranya, tempat film Ayahnya dan foto Laras disimpan. Ia menarik Dimas, yang masih terhuyung-huyung dan memuntahkan air.

“Kita lari, Dimas! Ke hutan! Nyai Melati akan tahu cara menghentikan ini!”

Rendra menendang pintu belakang Balai Desa. Pintu itu terbuka ke arah kegelapan hutan yang dingin dan basah.

Mereka berlari. Di belakang mereka, gerombolan penduduk desa yang kerasukan berteriak, suara mereka bercampur dengan gemericik langkah-langkah mereka di lumpur.

“Dimas! Dimas adalah yang terakhir! Jangan biarkan dia pergi!”

Rendra dan Dimas masuk jauh ke dalam hutan. Hutan itu gelap, penuh dengan akar yang menjalar dan lumpur yang dalam. Rendra sering tersandung, tetapi ia terus menarik Dimas.

Dimas, meskipun lemah, mulai bergerak dengan kecepatan yang aneh. Ia bergerak dengan keheningan dan kecepatan seorang pemburu, meskipun kakinya tenggelam di lumpur. Ia bergerak menuju rumah Nyai Melati di perbatasan tebing, seolah-olah dipandu oleh insting air.

Saat mereka berlari, Dimas tiba-tiba berhenti.

Ia menoleh ke Rendra, wajahnya setengah diselimuti kegelapan hutan. Matanya yang basah menatap lurus ke kamera di leher Rendra.

“Kak… film itu.” Suara Dimas kembali menjadi bisikan lembut, suara aslinya. “Dia (Yang Basah) mau itu. Dia mau buktinya di Sumur Tua. Bukan di Balai Desa.”

Dimas kemudian merangkul Rendra, cengkeramannya dingin dan erat. Ia berbisik ke telinga Rendra, napasnya terasa seperti udara dingin yang basah.

“Jaga aku. Aku nggak mau jadi anak air. Aku mau jadi anak manusia. Tolong, Kak Rendra.”

Rendra memeluk erat Dimas. Ia merasakan tulang-tulang kecil anak itu, dingin dan rapuh. Di tengah semua horor ini, ia masih merasakan percikan kemanusiaan Dimas.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka ke rumah Nyai Melati. Di belakang mereka, suara teriakan penduduk desa semakin menjauh. Mereka berhasil lolos, untuk saat ini.

Rendra kini memiliki dua target: melindungi Dimas dari ritual, dan menggunakan film ayahnya sebagai negosiasi di Sumur Tua. Ia harus menemui Nyai Melati untuk mempersiapkan negosiasi itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!